Almunawwir.com – Lajnah Bahtsul Masail (LBM) dalam rangka Haul ke-84 KH. Muhammad Munawwir di Pondok Pesantren Al-Munawwir akhirnya selesai. Meski ada pertanyaan yang belum terjawab, itu sama sekali tak mengurangi betapa BM tahun ini berjalan sukses dan mengesankan.
Penyelenggaraan tersebut tampak berbeda dari tahun sebelumnya. Tidak saja melihat cakupan pesertanya yang semakin luas, melainkan juga pelabelan “Qur’aniyyah” dalam identitas BM. Hypnotic Yoga menulis tentang pertemuan ini.
Memang bukan barang baru ketika tahun ini BM di Krapyak mengulas permasalahan Al-Quran, namun pelabelan “Qur’aniyyah” jelas menjadi sesuatu yang unik. Selain semakin menegaskan orientasi BM di Krapyak pada masa-masa berikutnya.
Baca juga: [Press Release] Semarak Haul KH. Muhammad Munawwir Ke-84
Ia membawa konsekuensi bahwa permasalahan-permasalahan yang hendak didiskusikan tak akan jauh dari persoalan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas Pesantren Krapyak. Dengan demikian, permasalahan yang didiskusikan LBM, sedikit-banyak, ialah permasalahan yang muncul dari dan di pesantren Krapyak itu sendiri.
Mempermasalahkan apa yang terjadi di Krapyak yang telah berdiri dan berkembang sejak 1910 tentu menjadi hal yang riskan jika kita gegabah menyikapinya. Soal bagaimana BM yang muncul belakangan tiba-tiba mempertanyakan sesuatu yang telah mapan sejak masa silam.
Memang, satu sisi hal itu tak menjadi masalah ketika dilihat dalam kerangka pembaruan atau cukup penegasan, tetapi di sisi lain itu membentuk. Bahkan bisa mempeyorasi cara pandang kita terhadap kiai-kiai selaku pembuat kebijakan pesantren (Krapyak).
Di sinilah, saya kira, perlunya perumus atau mushohhih, terutama jika merupakan alumni pesantren Krapyak.
Baca juga: Majelis Sima’an Haul : Hadiah Sang Ahlul Qur’an
Cukup menarik mengetahui bahwa paling tidak dalam dua edisi belakangan (karena hanya dua itu yang pernah saya ikuti) mushohhih saat menanggapi persoalan BM kerap menghadirkan cerita kiai-kiai Krapyak sendiri.
Alih-alih selalu menawarkan sudut pandang berbeda atau literatur yang lebih luas, mushohhih kerap mencukupkan konsepsi pada pengalaman yang mereka alami dengan masyayikh Krapyak di masa lampau.
Sebagai penggembira, memang kadang saya tercengang mengamati mubahitsin bertungkus lumus beradu argumentasi dengan bersandar referensi kitab-kitab turats, tetapi hal yang menentramkan bagi saya adalah ketika mendengar mushohhih menjadikan masyayikh Krapyak sebagai “kitab turats” itu sendiri.
Saat BM tahun lalu, misalnya, ada permasalahan terkait “santri yang ikut haflah khatmil qur’an tetapi hafalan masih kurang”. Di situ, mubahitsin berdiskusi panjang dari tentang esensi haflah, definisi syahadah yang diberikan dalam haflah, sanad Al-Qur’an. Sampai apa saja yang mesti diperlukan santri agar sah ikut haflah, dengan referensi-referensi kitab kuning tentunya.
Tetapi kemudian Ust. M. Yunan Roniardian, sebagai perumus, menekankan bahwa hal yang prinsipil dalam kasus tersebut adalah idznu as-Syaikh (perkenan guru). Lalu Ust. Abdul Jalil, sebagai perumus yang lain, menunjukkan kasus riilnya di Krapyak saat kepemimpinan KHR. Najib Abdul Qodir.
Bagi Mbah Najib, penentuan santri yang ikut haflah bukan melulu tentang siapa yang khatam di Krapyak, bukan pula siapa yang paling lama, tetapi dari kepribadian santri dan kompetensi Al-Qur’an-nya yang itu tentu lebih diketahui oleh Mbah Najib sendiri.
Baca juga: Mengetahui Ragam Standar Tartil Dalam Al-Qur’an
Selain itu, dalam pandangan Mbah Najib, haflah, syahadah, dan sanad adalah tiga hal yang berbeda.
Santri yang khatam (hafalannya) belum tentu ambil sanad juga.
Demikian kurang lebih tutur Ust. Jalil menceritakan Mbah Najib saat itu.
Jika kita sudah lupa dengan BM setahun lalu itu, tentu kita masih ingat saat beberapa hari lalu (31/12) Prof. Abdul Mustaqim, sebagai mushohhih, mengetengahkan kisah KH. Zainal Abidin untuk menanggapi kasus label khataman Al-Qur’an dalam produk air mineral.
Menurutnya, Mbah Zainal pernah ditanya tentang upah yang diberikan pada pengajar Al-Qur’an. Kemudian Mbah Zainal menjawab bahwa tukang pijat saja yang kemanfaatannya jelas-jelas duniawi boleh mengambil upah, apalagi mengajarkan Al-Qur’an yang bermanfaat untuk dunia dan akhrat.
Meskipun kasusnya tidak spesifik persis, tetapi cerita itu memiliki pola yang sama dengan pelabelan khataman Al-Qur’an.
Menghadirkan cerita-cerita tersebut di tengah BM, bagi beberapa orang, mungkin bisa dibaca sebagai pembatasan pemikiran. Tetapi bagi saya, ia lebih sebagai kontekstualisasi jawaban sekaligus penegasan akan pentingnya genealogi (sanad) keilmuan.
Cerita Mbah Zainal tersebut, sebagaimana cerita Mbah Najib di atas, sangat membantu dan tampak cukup telak dalam menjawab persoalan. Meskipun itu tidak menafikan signifikansi diskusi BM dan referensi-referensi yang dihadirkan mubahitsin.
Dan di luar itu semua, kenyataan demikian ketika BM jelas membantu kita untuk tetap yaqin dan ber-husnudzan terhadap guru-guru kita, bukan?
Penulis: Ahmad Zamzama NH