Inovasi Tradisi Pesantren Berbasis Maqashid Syari`Ah

Inovasi Tradisi Pesantren Berbasis Maqashid Syari`Ah

Oleh: Muhamad Abdul Faqih*

Pendahuluan

Indonesia dan pesantren ibarat satu keping mata uang yang tak terpisahkan. Hal ini dibuktikan melalui fakta, bahwa apabila muslim Indonesia diperbincangkan, maka kesan pertama yang muncul adalah pesantren. Tak aneh memang, karena jumlah pesantren di Indonesia adalah yang paling banyak di dunia. Berdasarkan Data Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2012 saja sudah mencapai jumlah yang fantastis, yakni sebanyak 27.230.

Menjamurnya pesantren di Indonesia disebabkan oleh ikatan sejarah yang kuat antara keduanya. Para sejarawan mengemukakan bahwa pesantren telah ada di Indonesia sejak tahun 1200. Pada masa itu, pesantren menjadi motor perkembangan Islam serta terbangunnya kesultanan-kesultanan Islam di nusantara.[1] Bahkan, pada periode tahun 1200–1600, pesantren menjadi ujung tombak pembangunan peradaban melayu nusantara.[2]

Ikatan sejarah yang kuat ini menjadikan pesantren tetap kental dengan nilai-nilai tradisional, padahal zaman telah berkembang menjadi zaman modern dan global. Oleh karena itu, perkembangan ini harus direspon oleh pesantren dengan melakukan inovasi terhadap sebagian tradisinya yang sudah tidak relevan lagi.

Sebagaimana bunyi kaidah fiqh, “al-muhafadzotu `ala al-qodimi ash-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah”, yang pada tema Harlah Nahdlatu Ulama` 2017 yang lalu dimaknai dengan “merawat tradisi dan mengupayakan inovasi”. Pengambilan tradisi baru ini bisa didasarkan pada beberapa nilai-nilai Islam, yang salah satunya adalah konsep maqashid syari`ah yang telah dirumuskan oleh para ulama` terdahulu.

Tentang Maqashid Syari`ah

Secara etimologis, maqashid asy-syari`ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syari`ah. Maqashid merupakan bentuk plural (jamak), yang diartikan dengan tujuan atau kesengajaan.[3] Sedangkan syari`ah diartikan dengan jalan menuju sumber air.[4] Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Jadi, maqashid syari`ah secara etimologis berarti sesuatu perbuatan yang dimaksudkan untuk datang menuju sumber air yang menjadi kebutuhan pokok manusia.[5]

Secara terminologis, asy-Syatibi mengartikan maqashid syari`ah sebagai aturan hukum yang disyariatkan oleh Allah dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-Nya (manusia) di dunia dan akhirat kelak. Dalam rumusan asy-Syatibi, maqashid asy-syari`ah dirinci dalam tiga varian yang disebut kulliyat al-syar`iyyah, yaitu dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.[6] Dharuriyyat adalah kebutuhan primer, hajiyyat adalah hal yang bersifat sekunder, sedangkan tahsiniyyat adalah kebutuhan pelengkap.[7]

Dalam dharuriyyat, dirumuskan bahwa tujuan syari`ah adalah untuk menjaga lima aspek (dharuriyyat al-khams), yaitu din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan `aql (akal).[8] Dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, maka ketiga tingkat maqashid di atas tidak dapat dipisahkan. Tingkat tahsiniyyat merupakan penyempurna bagi tingkat hajiyyat, sedangkan dharuriyyat menjadi pokok bagi hajiyyat dan tahsiniyyat.[9]

Tradisi Pesantren Berbasis Maqashid Syari`ah

Berdasarkan kerangka maqashid syari`ah dan dharuriyyat al-khamsat di atas, maka pembangunan tradisi pesantren di era global diarahkan untuk mengakomodir kebutuhan santri dalam lima aspek tersebut.

  1. Ad-Din (Agama)

Kata ad-din (dalam bahasa al-Qur`an) sering kali dipersamakan dengan kata agama, yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Dalam hubungan dengan Allah, tentu saja Dia-lah Yang Maha Tinggi dan manusia berada di tempat yang rendah.[10] Dengan demikian, makna ad-din ini menuntut pesantren untuk mendidik santri agar memiliki hubungan baik dengan Allah swt.

Pesantren memang dikenal sebagai kawah candradimuka religi. Ia menjadi tempat santri untuk mendalami ilmu-ilmu agama secara komprehensif, baik akidah, syariat, maupun tasawuf. Pembelajaran ini menjadi bekal utama santri dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Namun, pembelajaran keilmuan agama saja belum cukup. Pesantren perlu menciptakan atmosfer yang mendukung pengamalan ilmu tersebut. Hal ini perlu dilakukan supaya santri tidak termasuk golongan yang dikecam oleh al-Qur`an, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?”[11]

  1. An-Nafs (Jiwa)

Kata nafs dalam al-Qur`an mempunyai aneka makna, salah satunya adalah totalitas manusia.[12] Manusia sendiri merupakan makhluk dwi-dimensi yang diciptakan dari debu tanah dan ruh Ilahi, sehingga ia memiliki dimensi jasmani dan rohani. Ini artinya, pendidikan manusia pun harus diarahkan pada dua dimensi tersebut. Ketimpangan pada salah satunya menyebabkan salah satu dimensi menjadi pincang.

Tradisi pendidikan di pesantren pun demikian. Pesantren harus mampu mengakomodir pendidikan jasmani dan rohani. Bila pesantren telah membekali para santri dengan ilmu dan amaliyah agama yang kuat melalui riyadloh/olah jiwa (seperti puasa, wirid, dan tirakat), maka pesantren juga perlu menggalakkan tradisi perawatan dan pengobatan kesehatan jasmani untuk santri, seperti olahraga rutin, pusat kesehatan pesantren, fasilitas-fasilitas kesehatan (seperti ketersediaan kamar mandi dan lingkungan bersih), serta penyuluhan-penyuluhan kesehatan jasmani untuk santri. Untuk mengaktifkan tradisi ini, pesantren dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.

  1. An-Nasl (Keturunan)

An-Nasl bermakna anak cucu atau keturunan. Dalam konteksnya dengan tradisi pendidikan di pesantren, maka aspek ini menitikberatkan pada pendidikan santri yang berkaitan dengan rumah tangga. Oleh karena itu, dalam dunia pesantren dikenal berbagai kitab yang mengkaji permasalahan ini, seperti Risalat an-Nikah, Uqudu al-Lujain, Qurratu al-`Uyun, dan Fathu al-`Izzar. Kajian ini dimaksudkan agar santri mempersiapkan diri sedini mungkin untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah, dan amanah, sehingga keturunan santri pun menjadi pribadi yang kuat secara dzahir dan batin. Dengan demikian, tongkat estafet kekhalifahan manusia di muka bumi pun dapat berjalan sesuai porsinya.

  1. Al-Maal (Harta)

Al-Maal bermakna harta benda. Kata ini sering dikaitkan erat dengan kata ekonomi. Orang yang kecukupan harta bendanya, sering dikatakan sebagai orang yang sehat secara ekonomi. Dalam konteksnya dengan tradisi pendidikan di pesantren, aspek al-maal ini mengarahkan para santri agar memiliki skill/keahlian yang menunjang perekonomiannya. Oleh karena itu, pesantren pun harus membekali para santri dengan skill ini, diantaranya adalah skill kewirausahaan (misalnya menjahit, otomotif, elektonik, pertanian, dan keuangan syariah).

  1. Al-`Aql (Akal)

Al-Qur`an menggunakan kata `aql untuk menggambarkan sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang untuk terjerumus dalam kesalahan atau dosa.[13] Dengan demikian, `aql juga bisa dimaknai dengan sesuatu yang mampu menghalangi manusia untuk terjerumus ke dalam madharat yang berpotensi menimpa dirinya.

Ada dua macam madharat, yaitu madharat di dunia dan akhirat. Madharat di dunia dapat berupa kebodohan, kemiskinan, dan kelaparan, sedangkan madharat di akhirat adalah siksa yang pedih di neraka. Dua macam madharat inilah yang harus dijauhkan oleh pesantren dari para santri. Oleh karena itu, selain dibekali dengan ilmu agama yang kuat (sebagai penangkal madharat ukhrawi), santri juga perlu dibekali dengan ilmu-ilmu yang relevan untuk menangkal madharat duniawi, seperti pelatihan kewirausahaan (sebagai bentuk upaya pencegahan kemiskinan), pelatihan kepemimpinan (sebagai bentuk upaya pencegahan kebodohan leadership), dan pelatihan sosial-kemasyarakatan (upaya pencegahan kebodohan sosial sehingga santri aktif dalam kegiatan sosial masyarakat).

Penutup

Santri, sebagai manusia sekaligus output pesantren, memiliki lima kebutuhan mendasar yang telah dirumuskan dalam maqashid syari`ah, yaitu ad-din (agama), an-nafs (jiwa raga), an-nasl (keturunan), al-maal (harta benda) dan al-`aql (akal).

Oleh karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah ada di Indonesia sejak abad 12, harus melakukan beberapa inovasi tradisi pembelajarannya. Hal ini perlu dilakukan agar santri, di abad millenium ini tidak hanya menjadi manusia yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga memiliki hubungan vertikal dengan Allah secara baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki keluarga harmonis dunia-akhirat, mandiri dan sehat ekonomi, serta memiliki keahlian sosial-kemasyarakatan yang mumpuni.

* Penulis adalah Santri komplek Ribathul Qur’an Wal Qiro’at. Esai ini merupakan Juara Pertama dalam rangka Kompetisi Esai Haul 78 Al Maghfurlah KH. Munawwir bin Abdullah Rosyad dengan tema “Revitalisasi Tradisi Pesantren”

 

End Note :

[1]

[2] Soebardi, S. 1976. “The Place of Islam: Studies in Indonesian History. Pitman. Australia.

[3] Wehr. A. H. 1980. “A Dictionary of Modern Written Arabic”. Nac Donald and Evan Ltd. London.

[4] Al-Afriqi. “Lisan al-`Arab”. Juz 8. Dar as-Shadr. Beirut.

[5] Rahman, F. 1984. “Islam”. Penerjemah: Ahsin Muhammad. Penerbit Pustaka: Bandung.

[6] Asy-Syatibi, Abu Ishaq. 2003. “Al Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah”. Juz II Cet. 3 hlm. 10. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah.

[7] Khalaf, A. W. 1986. “`Ilmu Ushul Fiqh”. h. 197. Dakwah Islamiyah Syabab al-Azhar. Kairo.

[8] Kamali, M. H. 1989. “Principles of Islamic Yurisprudence”. h. 334. Pelanduk Publication. Selangor.

[9] Bakri, A. J. 1996. “Konsep Maqashid Syari`ah Menurut asy-Syatibi”. h. 199. Raja Grafindo. Jakarta

[10] Shihab, M. Q. 2006. “Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur`an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat”. Cet. II hlm. 21. Penerbit Lentera Hati. Jakarta.

[11] QS. Ash-Shaff: 2.

[12] Shihab, M. Q. 2007. “Wawasan Al-Qur`an”. Cet. I hlm. 376. Penerbit Mizan. Bandung.

[13] Ibid. hlm. 388

Redaksi

Redaksi

admin

497

Artikel