Almunawwir.com – Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak (03/01) menyelenggarakan Haflah Khotmil Qur’an dan Haul KH Muhammad Munawwir. Diselenggarakan secara semarak di halaman PP Al-Munawwir Krapyak dengan penuh takdzim. Terdiri dari ratusan santriwati putri delegasi setiap komplek pada acara Khotmil Qur’an. Kemudian Mauidhoh dan doa oleh KH Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan sapaan Gus Mus.
Dalam mauidhoh Gus Mus pada haul KH Muhammad Munawwir yang ke-84 beliau sempat memaparkan seputar defenisi takwa. Menurut beliau defenisi takwa sangat sederhana yaitu meninggalkan seluruh larangan dan melaksanakan seluruh perintah Allah SWT, meninggalkan “larangan” mungkin cukup mudah tetapi saat meninggalkan “seluruh larangan” hal itu yang cenderung sulit.
Begitupun dengan perintah-Nya, saat melaksanakan “perintah” semua orang bisa tetapi saat melasanakan “seluruh perintah” hal itu tentu cenderung sulit. Mungkin, seseorang tidak berzina, mencuri, membunuh, tetapi bagaimana dengan bergosip, memfitnah, dan terlebih syirik yang jika lebih rinci lagi ada syirik yang kasar dan halus. Syirik kasar itu menyembah batu atau berhala, sedangkan syirik halus salah satu contohnya menyembah bos (atasan).
Baca juga: [Potret Panitia] Kesuksesan Dibalik Layar Acara Haul KH. Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad ke-84
Akan ada saatnya, Allah SWT tampil dengan asmanya Al-Muntaqim (Maha Membalas) dan Al-‘Adl (Maha Adil). Saat ini, Allah SWT masih tampil dengan asmanya Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang).
Wong petakilan di jar no, ora’ di apa – apa no, wong sugi korupsi yo seger buger ora’ kebendo-bendo endase mergo gusti Allah Ar-Rahman, Ar Rahim. (Orang jahat saja dibiarkan [oleh Allah] tidak dihukum, orang kaya korupsi tetap sehat bugar tidak terjadi apa-apa karena Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim).
Tutur Gus Mus
Jadi, saat ini zaman sudah melewati kiamat, bukan lagi mendekati kiamat. Beliau menceritakan bahwasanya, dulu sempat beredar kabar kiamat tahun 2012 tapi sekarang sudah 2023. Sudah lewat sangat jauh, maka maklum ketika ada orang yang berprilaku seaneh–anehnya.
Sampean wes bejo tenan nisbate di titahno gusti Allah nenggone akhir zaman bahkan wes bar kiamat kok iseh melu Mbah Munawwir. (Kalian beruntung sekali di tempatkan oleh Allah pada akhir zaman, bahkan sudah kiamat pun masih ikut kepada Mbah Munawwir).
Gurau Gus Mus, yang diiringi gemuruh tawa para hadirin.
Baca juga: Mengenal “KH. Muhammad Munawwir” melalui cerita “Gus Mus”
Gus Mus juga sempat berkhayal seandainya kita ditakdirkan oleh Allah SWT hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka tidak perlu menghafal Al-Qur’an, karena sudah ada Al-Qur’an berjalan, tinggal menatap Nabi Muhammad SAW.
Nabi berbuat baik kepada orang lain maka kita juga baik pada orang lain, memuliakan pasangan maka kita juga memuliakan pasangan, menyayangi yang muda maka kita juga menyayangi yang muda. Cukup seperti itu karena ada Al-Qur’an berjalan. Seolah-olah hidup satu zaman dengan kanjeng Nabi itu terdengar mudah sekali.
Tetapi pemikiran itu ditepis kembali oleh Gus Mus. Bagaimana bila sebaliknya? Kita hidup di zaman Nabi Muhammad SAW, bisa saja kita tidak mengikuti Nabi Muhammad SAW, justru mengikuti jejak Abu Jahal.
Bila melihat orang-orang sekarang, lalu ditakdirkan lahir di zaman kanjeng Nabi. Kemungkinan kita tidak mampu mengimbanginya, bisa jadi akan mengikuti kaum Abu Jahal. Wa’iyadzu billah.
Kira-kira pada zaman Nabi itu ada dua panutan, yaitu orang yang rajin tersenyum, seperti kanjeng Nabi dan orang yang penampakannya sangar, seperti Abu Jahal. Kita tinggal memilih pada kaum yang mana?
Oleh sebab itu, sepatutnya kita semua harus bersyukur bisa ditakdirkan hidup di zaman akhir ini, sehingga bisa mengenal kepada santri-santri Mbah Munawwir yang dapat diambil tauladannya layaknya KH. M. Munawwir.