Almunawwir.com-Aku percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan, bagiku kebetulan adalah takdir yang menyamar menjelma kejadian-kejadian yang terkadang tidak kita sangka-sangka. Kita saja yang belum mampu menerjemahkan muasal dari suatu peristiwa yang kita sebut sebagai “kebetulan” itu.
Seperti halnya aku yang secara kebetulan mengenyam asam-garam hidup di perantauan ini; jauh dari peluk ramah orang-orang rumah. Dengan segala kesederhanaan aku tinggal di asrama bersama para perantau yang menempuh perjalanan menghafalkan kitab suci Tuhan; Al-Qur’an.
Perkenalkan namaku adalah Nadira, orang-orang banyak memanggilku Dira (tolong jangan kalian tambahkan mpok nanti jadinya dirampok haha) meskipun hanya ada beberapa orang yang lebih suka memanggilku Nadir, saking langkanya dirimu nduk, ujar Ummiku.
Iya Ummi memang selalu begitu, melihat suatu hal dari sudut pandang lain. Yaa karena jelas-jelas beliau juga yang memberiku nama ini kan. Kalau kata Ummi, Nadir berasal dari kosakata Arab yang artinya langka, ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku memang selangka itu; hanya ada aku tak ada duanya.
Kisah ini aku mulai dari kebetulan yang tak benar-benar bisa dijelaskan. Aku adalah termasuk dari sebagian orang yang sangat ingin melancong ke negeri orang, siapa sih yang gak kepingin, meskipun berkedok belajar, tholabul ilmi, atau terserah apa kalian menyebutnya. Potret-potret indahnya negeri piramid menjadi penghias malam-malam tidurku bahkan hingga detik ini.
Kerinduan menggebu semakin tidak bisa dijelaskan ketika mencuat foto kawan-kawan di laman beranda, berpose-ria di bawah patung Sphinx yang gagah itu. Perihal suasana ta’allum Jami’ Al-Azhar sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, itu jadi mimpi yang jawabannya tak pernah usai.
“Sudahlah nduk, kamu ikut ngaji sama Ibuknyai saja di pondok Yogja sana.” ucap Ummi membuyarkan lamunanku.
“Impianku kuliah ke Mesir pripun mik? Kan sampun diterima.” Jawabku pelan sesopan mungkin.
“Mesir jauh nduk, Ummi belum tentu sanggup melepasmu kesana.” Ujar Ummi kepadaku.
Bukankah jauh-dekat hanyalah perihal jarak, sedangkan kerinduan terhadap orang tersayang tidak mengenal itu. Itu yang selalu diajarkan Ummi dalam ritual dongeng sebelum tidurku ketika umurku belum genap hitungan jari, lalu kenapa sekarang engkau menahan kepergian jauhku mik?. Toh juga aku pergi untuk tholabul ilmi, bukan untuk menjadi orang asing yang tak ingat jalan pulang ke rumah.
“Ummi-Abah sudah sepuh nduk, pengennya tidak jauh-jauh dari putri satu-satunya. Beda dengan kakak laki-lakimu yang sedikit-banyak sudah merasakan kerasnya hidup di perantauan.” Abah akhirnya menjawab pertanyaanku dengan lugas.
Iya memang, umur hanyalah angka. Tapi seberapa lama angka yang kita perlukan untuk usia kita tak ada yang tahu. Boleh jadi hari ini, besok, atau masih bertahun-tahun lagi. Meski dengan setengah hati, akhirnya aku mengangguk mengamini apa kata Abah-Ummi.
Itu praktis menjadi penutup percakapan hangat keluarga kecil kami selepas makan malam, harusnya sebagaimana percakapan kami yang telah usai tapi pikiranku perihal itu belum juga selesai, maklum tidak semudah itu merelakan harapan yang terlanjur tumbuh kan.
Hari-hari berjalan normal seperti biasanya, aku dengan kesibukanku mulai terlatih menjadi ibu rumah tangga; menyapu kotoran di lantai, mengepel daki yang menempel, mencuci piring bekas makan, dan mencuci baju orang rumah sehabis digunakan bertempur seharian, sudah cocok belum aku untuk jadi idamanmu, haha. Kalian tak perlu kaget aku pandai melakukan itu semua darimana, aku selalu belajar dari ayah-ibu perihal pekerjaan-pekerjaan itu.
Kalau kata mereka, menyapu lantai adalah cara bagaimana menyapu dosa-dosa kecil kita, kemudian mengepelnya adalah wujud kita tidak ingin mengulangi dosa-dosa itu, agar terlihat kinclong seperti tidak pernah ada kotoran, toh kalaupun nanti kotor lagi ya dibersihkan lagi, taubat lagi. Mencuci piring dan mencuci baju-baju kotor juga hal yang tidak jauh berbeda, yaa seperti itulah aku diberi wejangan yang tentunya hanya bisa manggut-manggut saja.
Babak Baru Kehidupanku
Berselang beberapa purnama berlalu, tiba saatnya aku mesti menjemput janji pergi ke kota yang kata orang-orang istimewa itu; Yogyakarta. Dari sini babak baru dari perjalanan hidupku telah dimulai. Tempat para santri berduyun-duyun kesana-kemari sembari membawa kitab kuning, tempat riuh ramai lantunan Al-Qur’an dikumandangkan sahut-sahutan.
Desa ini bernama Krapyak, nama yang benar-benar tidak asing di dunia kepesantrenan, coba saja kalian tanyakan dari penjuru pesantren di Sabang sampai Merauke sana hampir mustahil tidak tahu-menahu perihal Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta. Karena hampir seluruh sanad hifdz Al-Qur’an di Nusantara muaranya adalah tempat ini.
Pertama kali kuinjakkan kaki di sini tiada lain-tiada bukan hanyalah rasa takjub yang muncul, seperti masuk dalam gerbang dunia lain gemetar hati tak bisa dijelaskan telah menguasai tubuh mungilku. Eitss, sebelum masuk ke dalam asrama dan mulai ikut membaur bersama para santri yang lain. Ummi-Abah mengingatkanku untuk melaksanakan ritual nuwun sewu bersimpuh di makam mu’assis pesantren Krapyak yang hendak aku tempati ini.
KH. Munawwir, iya beliaulah sang pendekar Al-Qur’an yang sedari lama digandrungi ulama’-ulama’ Nusantara lantaran kealiman, kewibawaan, kebijaksanaan dan sangarnya beliau khususnya di bidang Al-Qur’an. Kami sekeluargapun sejenak minta izin kehadirat beliau sembari memohon do’a terbaik yang mampu kami utarakan. Kalau kata Abah, ibarat hendak bertamu ke rumah beliau maka sudah barang tentu kita mesti amit sewu assalamu’alaikum dengan penuh sopan di hadapan makam beliau.
Kurang lebih begitulah awal mula kebetulan demi kebetulan ini dimulai, dan jadilah aku yang sekarang sibuk bergelut dengan hafalan Al-Qur’an. Adakala satu waktu jenuh bukan main, saat sudah berusaha merajut ayat demi ayat tapi tak benar-benar melekat dalam ingatan. Adakala juga waktu hafalan terasa mudah sekali seakan otak, hati, dan bibir sehabis diberi pelumas, licin sekali wuss-wuss-wuss siap melahap ayat manapun, serumit apapun.
Dalam pertempuran menghafalkan Al-Qur’an, perasaan ragu dan gelisah senantiasa timbul-tenggelam. Seperti permasalahan anak baru pada umumnya, beradaptasi dengan segala keadaan baru tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Aku terlanjur terjun ke dalam asrama yang kalau kata orang asrama “istimewa”, bagaimana tiap penjuru arah dibatasi sana-sini.
Aku tidak diperkenankan keluar asrama selain hari Jum’at saja atau apabila ada keperluan yang benar-benar mendesak. Tidak sampai disitu, aku juga mesti melepaskan dunia per-sosmed-an karena membawa handphone atau alat elektronik semacamnya sangat dilarang. Tapi lambat-laun tidaklah apa, toh dulunya sewaktu masih duduk di bangku SMA aku terbiasa enjoy melalui itu semua, dan sekarang masih hidup nyaman-nyaman saja haha.
Rupanya kebetulan demi kebetulan tak berhenti di situ, dalam perjalanan menghafal Al-Qur’an aku menemukan sosok role model yang banyak menginspirasi langkah-langkahku hidup di perantauan. Beliaulah sang murobbiy ruh wujud Al-Qur’an berjalan. KH. R. Muhammad Najib Abdul Qodir, cucu dari pendiri sang pendekar Al-Qur’an KH. Munawwir yang tindak-tanduk beliau tak henti-hentinya membuatku kagum.
Baca Juga:
Beliau dikenal sebagai sang hamilul Qur’an yang senantiasa menunduk dan rendah hati di hadapan Tuhan, mungkin sosoknya menjadi representasi paling tepat dengan pepatah bahwa “Padi semakin berisi semakin merunduk” karena memang begitulah beliau, ibarat duplikat sempurna dari sosok sang kakek. Beliau menjadi sosok yang membuatku mampu bertahan sampai detik ini dalam perjalananku menempuh Al-Qur’an. Dawuh-dawuh beliau senantiasa menyejukkan hati, tak jarang melelehkan air mata tanpa sadar mengalir membasahi pipi.
Dawuh yang masih terpatri sampai detik ini adalah “Bagi para penghafal Al-Qur’an, tidak ada cara agar hafalan tetap langgeng selain dengan nderes. Maka nderes adalah sebuah prioritas”. Iya memang benar tidak ada cara lain selain nderes untuk menambah hafalan ataupun menguatkan hafalan yang sudah ada.
Maka dari itu, nderes juga merupakan harga mati bagi para penghafal Al-Qur’an. Jargon yang sering sekali kudengar di asrama adalah “Nderes dulu, nderes lagi, nderes terus” itu sudah sangat relevan dengan sabda baginda Nabi Muhammad Saw خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ bahwa sebaik-baik dari kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.
Untuk itu, tiada lain dan tiada bukan menurut simbah KH. R. Najib obat dari segala kegelisahan adalah nderes Al-Qur’an. Aku selalu berharap bahwa tiap kali turun hujan deras, semoga nderesku juga sederas hujan yang jatuh tanpa perlu alasan. Ikhlas.
Bahwa rangkaian kebetulan-kebetulan yang kurajut dalam tulisan ini harus terpaksa aku akhiri. Sebetulnya lebih banyak lagi kebetulan-kebetulan yang belum sempat aku tuangkan dalam kata-kata. Sekian rangkaian kisah kebetulan yang mampu aku ceritakan, siapa tahu bermanfaat bagi kalian para pembaca. Sudahi sedih kalian, seduhlah secangkir kopi mari nderes Al-Qur’an bersamaku. Sekian.
Tabik, Ha Nahnu Dza.
Penulis: Hadziq Ghiyats Rahman
(Santri Komplek Madrasah Huffadh 1)