Lupa Niat Puasa Ramadhan Pada Malam Hari, Tidak Sah?

Lupa Niat Puasa Ramadhan Pada Malam Hari, Tidak Sah?

Almunawwir.com – Menukil dari kitab syarah sittin mas’alah karangan Syekh Ahmad al-Ramli al-Syafi’iy, kata “ramadhan” diambil dari akar bahasa arab ارمض – يرمض yang bermakna yang artinya membakar احرق atau اذاب yang berarti menyerbu atau menyerang.

Yakni يرمض الذنوب membakar dan meyerang dosa-dosa dengan melakukan ibadah-ibadah di dalamnya. Ibadah-ibadah tersebut laksana hujan di akhir musim panas, airnya mengguyur bersih seluruh debu yang menghitamkan daun layaknya dosa.

Niat Ramadhan
Sumber Gambar: www.inverse.com

Salah satu ibadah, bahkan ibadah utama di bulan ini yang akan bekerja seperti hujan akhir musim panas tersebut adalah puasa.

Puasa secara bahasa artinya menahan. Sedangkan menurut syariat, ialah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dengan syarat syarat tertentu.

Supaya tujuan puasa sebagai ibadah yang dapat melunturkan dosa-dosa dapat terealisasikan, yang harus mendapat perhatian pertama sebelum melangkah ke hakikat adalah aspek syari’ah. Sebab ia menentukan sah tidaknya puasa tersebut.

Aspek inilah yang akan berbicara mengenai syarat, furudh, rukun, sunah, dsb. Syarat dan furudh adalah aspek ekstern yang mempengaruhi keabsahan ibadah puasa atau ketentuan permulaan kapan seseorang dikatakan sah dapat berpuasa.

Baca juga:

Seperti, seseorang wajib berpuasa jika ia Islam, berakal dan suci dari haid, nifas maupun wiladah, atau kewajiban puasa baru terjadi jika sudah masuk bulan Ramadhan, dalam hal ini puasa Ramadhan.

Adapun rukun merupakan aspek intern. Yang dengannya diatur bukan lagi pra, tapi pelaksanaan. Puasa dikatakan sah jika rukun-rukunnya dilaksanakan sebagai pelaksanaan puasa itu sendiri.

Rukun puasa terdiri dari niat dan menahan diri dari hal yang membatalkan puasa. Tulisan ini membatasi pembahasan pada masalah niat.

Mengingat perkara niat adalah yang paling penting dan menentukan, setiap ibadah pasti rukunnya diawali dengan niat.

Mungkin sudah berniat, tapi apakah sudah tepat? Apalagi niat ini menjadi penentu sah tidaknya suatu ibadah.

Karenanya, ada ketentuan (niat) di dalam ketentuan (puasa) yang harus kita pahami supaya ibadah puasa kita dapat dikatakan sah.

Letak Niat

Letak niat ialah di dalam hati. Sehingga tidak cukup jika hanya melafazkan niat secara lisan. Karena talaffudz niat hukumnya sunnah.

Bahkan jika seseorang sengaja sahur untuk menguatkan tubuh guna puasa atau dia menjauhi hal hal yang dapat membatalkan puasa karena khawatir sudah masuk waktu fajar, hal itu belum cukup, sampai hatinya sengaja meniatkannya untuk melakukan puasa wajib.

Syekh Ahmad al-Ramli dalam Kitab Syarh Sittin Mas’alah menguatkan dalam perkataannya:

ويعلم من كون محلها ما ذكر أنه لو نوى الصوم بقلبه فى أثناء الصلاة صحت نيته……… وتصح نية الصوم ايضا حال الجماع لأنه لا يتلبس بالصوم الا بعدها

Dalam Asybah wa al-Nadhoir disimpulkan bahwa niat: 1) tidak cukup talaffudz dengan lisan tanpa disertai niat dalam hati dan 2) niat dalam hati tidak disyaratkan untuk menyertainya dengan talaffudz.

Waktu mengucapkan niat

Dalam Asybah wa al-Nadzair dituturkan bahwa secara ashl waktu mengucapkan niat terletak di awal ibadah. Namun dikecualikan terhadap ibadah puasa.

Sehingga boleh mendahulukan niat puasa sebelum awal waktu puasa (saat terbit fajar) karena sukarnya mengepaskan awal waktu tersebut.

Bahkan hukum boleh ini upgrade menjadi wajib, sehingga jika seseorang berniat puasa bersamaan dengan terbit fajar, menurut pendapat yang paling shahih, niatnya tidak sah.

Masalah waktu dalam ibadah puasa terbagi menjadi dua. Pertama, niat puasa dilakukan dari mulai sehabis terbenamnya matahari sampai sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi Saw.:

 من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له

Barangsiapa tidak memalamkan puasa (niat) sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.

Baca juga:

Dalam Kitab Fathul Mu’in Karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari ditambahkan, hal itu juga berlaku pada puasanya mumayyiz.

Lantas apakah hukum ini diberlakukan secara mutlak atas puasa wajib dan puasa sunnah? Jawabannya tidak.

Terhadap puasa sunnah, tidak apa-apa melakukan niat di siang hari, batasnya sampai sebelum waktu dhuhur. Ada pendapat yang mengatakan tetap diperbolehkan niat puasa sunah meski setelah masuk waktu dhuhur, selama belum batal puasanya.

Ibnu Hajar al-Haitami yang dikutip oleh muridnya, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in menjelaskan, jika seseorang ragu apakah sudah berniat atau belum sebelum fajar. Maka niatnya tidak sah.

Karena asalnya (yang pasti) niat itu belum atau tidak ada. Tapi jika dia telah (yakin) berniat kemudian ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka sah niatnya. Karena asalnya fajar itu belum terbit.

Sederhanya, untuk menentukan sah tidaknya niat ditentukan dahulu dimana titik keraguannya itu, apakah di niatnya atau terbit fajarnya.

Sehingga, jika seseorang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, jimak, dll, setelah niat dan sebelum terbit fajar, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Lain hal jika ia telah memutus niat tersebut dengan cara menyengaja dalam hatinya tidak jadi berpuasa wajib, maka jika itu terjadi sebelum terbit fajar, ia harus memperbarui niatnya jika ingin berpuasa.

Namun jika telah terbit fajar tapi belum diperbarui atau tidak sempat memperbarui, maka niatnya tidak terhitung sehingga ibadahnya tidak sah.

Baca juga:

Kedua, niat puasa dilakukan setiap hari, bukan sekali untuk sebulan. Maka jika seseorang berniat puasa di awal bulan Ramadhan untuk satu bulan ke depan, niatnya tidak akan berlaku kecuali untuk hari itu.

Madzhab Syafi’i dan Hanbali selaras dalam perkara ini. Sedangkan mazhab Maliki membolehkan niat di awal Ramadhan untuk satu bulan ke depan dengan hasil niat tersebut dapat menutupi niat-niat yang lupa diucapkan pada puasa-puasa berikutnya dengan tidak menghilangkan niat puasa Ramadhan setiap malam.

Adapun mazhab Hanafi, menghukumi sunah (tidak hanya boleh) untuk berniat di siang hari bagi orang yang lupa niat di malam harinya. Beramal dengan lintas madzhab tersebut dapat berlaku bagi orang yang taqlid, jika tidak (taqlid) maka ia telah merusak ibadahnya dengan ibadah yang rusak menurut keyakinannya.

Komponen yang harus disertakan dalam niat

Harus menyebutkan رمضان dalam niatnya, hal ini merupakan syarat niat, sehingga tidak sah (niat) tanpa menyebutkan رمضان.

Sehingga tidak cukup jika dalam niat hanya mengatakan wajib/fardhu saja. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan kefardhuan mana yang hendak dikerjakan dan membedakannya dari puasa-puasa fardhu yang lain. Seperti qadha’, nadzar, dan kafarat.

Sebaliknya, niat puasa Ramadhan saja tanpa menyertakan fardhu sudah dianggap cukup. Karena bagi orang yang berakal dan baligh puasa di bulan Ramadhan pasti wajib.

Sebagaimana dinukil dalam Kitab Fathul Mu’in:

فأقل النية المجزئة : نويت صوم رمضان ولو بدون الفرض على المعتمد كما صححه فى المجموع تبعا للأكثرين لأن الصوم رمضان من البالغ لا يقع الا فرضا…..

Baca juga:

Menurut Syekh Ahmad al-Ramli dalam kitab Syarh Sittin Mas’alah menyertakan  أداء saja tidak cukup. Tapi harus disertai هذه السنة. Karena أداء berlaku mutlak.

Akan tetapi, Imam al-Adzra’i mengatakan, wajib menyertakan niat أداء untuk membedakan dengan puasa qadha’ Ramadhan, atau cukup dengan meyertakan هذه السنة yang bermakna sama dengan أداء.

Sebagaimana dinukil dari Kitab Fathul Mu’in:

(واكملها) اي النية (نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان) بالجر لإضافته لما بعده (هذه السنة لله تعالى) لصحة نيته حينئذ اتفاقا. وبحث الأذرعي أنه لو كان عليه مثل الأداء كقضاء رمضان قبله لزمه التعرض للأداء او تعيين السنة

Dapat disimpulkan bahwa niat memegang kunci sah tidaknya suatu ibadah, termasuk puasa. Namun, niat dalam puasa memiliki pengecualian sehingga memiliki ketentuan tersendiri yang harus diperhatikan.

Dipenuhinya ketentuan tersebut menentukan sah tidaknya niat ibadah yang akhirnya berdampak pada kesahan ibadah puasa itu sendiri.

 Sumber:

  • Kitab Syarh Sittin Mas’alah karya Sayyid asy-Syaikh Ahmad al-Ramli Asy Syafi’i
  • Kitab Fathul Mu’in bi syarh qurrotul ‘ain bi muhimmah al-din karya Al Allamah Asy- Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari Asy Syafi’i
  • Kitab Al Asybah wa al-Nadhoir fi Al-Furu’ karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi al-Syafi’i.

Baca juga:

Sayyidah Latifah

Sayyidah Latifah

SayyidahLatifah

1

Artikel