أنا العاشق السيء الحظ، لا أستطيع الذهاب إليكِ، و لا أستطيع الرجوع الىَّ
“Aku adalah perindu yang sial. Sudah tidak bisa merengkuhmu, tak pula aku mampu kembali ke diriku”.
Jika ada perjuangan hari ini yang terasa heroik, penuh darah dan tangis serta pengorbanan, agaknya rakyat Palestina layak menjadi pemain utamanya. Pengusiran terstruktur yang dialami lintas generasi Palestina, berawal dari tragedi Nakba dan kekerasan yang berlangsung puluhan tahun tidak lantas membuat mereka menyerah.
Perlawanan yang diteriakkan di atas bangkai-bangkai tank Israel, maupun yang dibisikkan di semak-belukar persembunyian selalu mengalun bak puisi yang tiada habisnya. Salah satu tokoh yang lantang menyerukan keadilan dan pembebasan Palestina adalah penyair ternama, Mahmoud Darwish.

Beliau dilahirkan di Birwa pada tahun 1941. Masa kecilnya direnggut oleh tragedi Nakba Israel yang mengusir ratusan ribu orang Palestina dari rumahnya. Setahun mengungsi bersama keluarganya di Jordania, mereka kembali ke desanya setelah keadaan mulai tampak normal.Naasnya, rumah tempat Darwish tumbuh besar berikut desanya telah diratakan dengan tanah dan berganti dengan pemukiman Israel.
Tragis, tapi bagi jutaan rakyat Palestina hal semacam ini terbilang “normal” sejak negara Israel dideklarasikan sampai sekarang. Sejak saat itu, Darwish dan rakyat Palestina lain yang terdampak menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri.
Dengan situasi yang serba sulit, Darwish muda menjalani masa kecilnya dengan penuh ketidakpastian. Namun seorang seniman nomaden yang tidak sengaja dikenalnya mengajari Darwish berpuisi, sesuatu yang asing baginya saat itu.
Lantaran seniman yang ternyata sedang melarikan diri dari tentara Israel itu, Darwish lambat laun mempelajari cara menyuarakan gagasan dan perasaannya lewat puisi. Jalan hidup seorang Mahmoud Darwish pun dimulai dari sini.
Baca Juga:
Seperti namanya yang bisa diartikan sebagai pengembara, perjalanan Darwish dihiasi oleh pengalaman berkelananya ke berbagai negeri. Mulai dari Haifa, kuliah di Moskow, Mesir, pengasingan di Beirut dan Paris sampai ia masuk ke lingkaran tertinggi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).
Meskipun ia dibenci setengah mati oleh Israel, namun interaksi Darwish dengan Israel cukup unik. Ia pernah terlibat di Partai Rakha, yakni partai berhaluan kiri di Israel. Partai inilah yang mengirimnya belajar ke Moskow. Di perkumpulan partai ini pula Darwish bertemu cinta pertamanya, seorang gadis kecil Yahudi bernama Tamar Ben-Ami alias Rita.
Darwish mengarang puluhan buku puisi dan prosa. Kebanyakan puisinya bernafaskan tanah air, penderitaan, perampasan dan pengasingan. Tak heran jika pejuang Palestina mengusung puisi-puisinya sebagai martir perjuangan mereka. Setiap syair Mahmoud Darwish bagi mereka adalah tentang tanah air.
Selain merefleksikan penderitaan dan kepedihan yang dialami Palestina bertahun lamanya, puisi Darwish juga menyalakan api semangat akan harapan yang tak pernah padam. Walaupun seiring berjalannya dekade harapan itu kerap menjadi panggang yang jauh dari api. Kegigihan bangsa Palestina dalam menghadapi penindasan bisa dilihat dalam cuplikan salah satu puisi Mahmoud Darwish ini:
و حياتنا هي أن نكون كما نريد
نريدأن نحياقليلاً، لا لشيء، بل لنحترم القيامة بعد هذا الموت
واقتبسوا بلا قصد كلام الفيلسوف: الموت لا يعني لنا شيئا، نكون فلا يكون. الموت لا يعني لنا شيئا، يكون فلا نكون.
“Hidup kami adalah ketika bisa hidup seperti yang kami inginkan. Kami ingin hidup sebentar saja, bukan karena apa, tetapi karena ingin memuliakan kebangkitan setelah kematian ini. Dan mereka tanpa sengaja mengutip perkataan filsuf: Kematian tak berarti apa-apa bagi kita. Kita ada, maka kematian tiada. Kematian tak berarti apa-apa bagi kita. Kematian datang, dan kita pun tiada.”
Bahkan puisi cinta Darwish yang berjudul “Kepada Ibuku” (Ila Ummi) ditafsirkan sebagai kecintaan kepada tanah air. Puisinya mengandung nilai politik, budaya dan perlawanan bagi orang-orang Palestina. Ekspektasi publik yang tertuju kepada Darwish mengharuskannya terus menghembuskan gairah kegandrungan terhadap Palestina dan menyuarakan kesedihan karena dipisahkan dari tanah air. Tak ayal beberapa kritik menyembul ketika ia menulis puisi cinta yang dianggap tak sejalur.
Darwish memposisikan dirinya dengan cermat; di satu sisi ia harus tetap menyuarakan perlawanan dan di sisi yang lain tetap mempertahankan idealismenya dengan tidak melulu mengikuti selera publik. Oleh karena itu dalam puisinya tentang wanita yahudi yang ia cintai Darwish menyamarkannya dengan panggilan “Rita”.
Seperti yang telah penulis singgung di atas, kritisisme publik Palestina terhadap puisi cinta Darwish menjadi tolak ukur tanggapan publik yang akan mengalir deras semisal ia menulis kecintaannya kepada seorang yahudi. Perasaan ini juga menjadi tembok batu yang tak tertembus oleh Darwish. Apalagi setelah “Rita” alias Tamir Ben-amar menjalani wajib militernya di Israel yang jelas merupakan pengkhianatan bagi Darwish dan ia menjalani pengasingan di luar negeri.
Idealismenya yang tajam dan kisah cintanya yang misterius menjadi hal menarik yang dapat dikaji khususnya dalam hubungan Palestina-Israel. Sampai pada akhir hayatnya Darwish lantang menyerukan pembabasan dan perlawanan Palestina, sampai ia wafat dan dikebumikan secara terhormat di Ramallah pada 2008 silam.
و نحن نحب الحياة إذا ما استطعنا اليها سبيلا
“Kami mencintai kehidupan, seandainya kami bisa”.
Referensi
Dalya Cohen-Mor. Mahmoud Darwish, Penyair Palestina dan Kekasih Yahudinya. (Yogyakarta: Diva Press). 2022
Editor: Redaksi