Nyi Ageng Serang, Sosok Pahlawan Nasional dan Wali Perempuan

Nyi Ageng Serang, Sosok Pahlawan Nasional dan Wali Perempuan
Sumber foto: facebook @pesonakulonprogo

Nyi Ageng Serang adalah pejuang wanita, pahlawan nasional wanita yang tidak banyak dikenal tidak juga diceritakan dalam buku-buku sejarah, kisahnya hanya didengar dari cerita lisan, cerita rakyat dari kalangan orang-orang tertentu yang sudah lanjut usianya. Lalu siapakah sebenarnya Nyi Ageng Serang?

Nyi Ageng Serang terlahir dengan nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi I, beliau merupakan putri dari Pangeran Natapraja yang menguasai daerah kerajaan Mataram persisnya di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah. Ayahnya juga dikenal sebagai Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I.

Beliau juga merupakan salah satu turunan dari Sunan Kalijaga sekaligus menjadi murid Sunan Kalijaga semasa hidupnya. Silsilah turunan ke bawah yang justru lebih dikenal masyarakat banyak, yakni cucu dari Nyi Ageng Serang yang bernama R.M. Soewardi Surjaningrat atau yang lebih dikenal Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh sampai detik ini di Indonesia.

Cerita-cerita rakyat yang turun temurun diceritakan secara lisan menggambarkan bahwa Nyi Ageng Serang adalah tokoh Wanita sakti yang mempunyai kekuatan ghaib. Beliau memiliki sifat pantang mundur dalam perjuangannya, memiliki dedikasi yang besar, tegas, teguh dan keras pendirian dalam melawan penjajah.

Nyi Ageng Serang merupakan pejuang wanita yang maju ke medan pertempuran melawan pasukan penjajah dalam perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 M. Dalam peperangan melawan penjajah beliau bersama pasukannya dikenal dengan taktik perang  kamuflase daun lumbu.

Sosok perempuan pemberani dan pemimpin pasukan perang yang anggotanya tidak hanya kaum perempuan dalam Perang Diponegoro ini juga dikenal sebagai sosok yang mahir menaiki kuda dan menggunakan senjata. Sehinga beliau diangkat sebagai penasihat perang oleh Pangeran Diponegoro. Saat diangkat sebagai penasihat perang, usia Nyi Ageng Serang sudah sangatlah sepuh. Namun, semangatnya dalam melawan penjajah untuk membela Tanah air dan bangsa tidaklah surut.

Landasan perjuangan Nyi Ageng Serang pada waktu itu adalah berjuang mati-matian melawan penjajahan, membela bangsa dan menjaga martabat bangsa dan tanah airnya. Nyi Ageng Serang melihat banyak rakyatnya yang dipaksa mengikuti perintah dari penjajah, kehilangan tanah bahkan rumah yang disayangi lalu dikuasai oleh penjajah.

Selain itu, hasil-hasil perkebunan yang diperjuangkan dengan jerih payah sendiri juga harus dimiliki para penjajah. Keadaan rakyat yang semakin hari kian memprihatinkan selalu menjadi fokus pemikirannya, Nyi Ageng Serang selalu mementingkan nasib rakyatnya di atas kepentingan pribadi.

Contoh sederhananya adalah ketika beliau diminta menjadi istri oleh R.M. Sundoro (Putera Mahkota Kraton Yogyakarta) dan diminta untuk menetap di Kraton. Nyi Ageng Serang dengan lembut dan hormat menjawab dengan pendiriannya “Apalah arti hidup kalau hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, lebih baik membicarakan nasib rakyat”. Jawaban Nyi Ageng Serang menjadikan Pangeran Sundoro merasa malu karena yang sering dipikirkan hanyalah soal cinta.

Jiwa patriotik dan semangat berjuang yang dimiliki Nyi Ageng Serang sudah tertanam sejak kecil dengan didikan orang tuanya. Bahkan sejak kecil beliau juga sudah ikut berlatih perang, bahkan beberapa kali terjun ke medan peperangan melawan penjajah. Seiring bertambahnya umur, hati beliau semakin bergejolak untuk terus memperjuangkan kemerdekaan rakyatnya.

Semangat patriotiknya yang menggelora dalam jiwa dicetuskan dalam semboyannya yakni “Biarkan aku mati dengan sukarela untuk kepentingan bangsaku seribu tahun nanti”. Hampir seluruh bagian dari hidupnya beliau abdikan kepada kepentingan rakyat banyak. Demi tercapainya tujuan masa depan untuk bangsa dan negara, untuk generasi mendatang.

Lantaran kegigihannya dalam perlawanan Nyi Ageng Serang penah ditangkap dan ditahan oleh pihak penjajah yakni kolonial Belanda. Tidak ada informasi mengenai seberapa lama beliau ditahan oleh pemerintah Belanda, namun Nyi Ageng Serang dibebaskan secara damai bertepatan dengan upacara Penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai sultan Yogyakarta.

Setelah pembebasan itu Nyi Ageng Serang kembali meneruskan perlawanan. Namun, sebagai pejuang yang cerdik dan pandai mengatur strategi, Nyi Ageng Serang tidak tergesa-gesa melakukan perlawanan. Beliau masih menunggu kapan saat yang tepat dan apa yang harus dilakukan.

Selama masa menunggu waktu dan momentum untuk menyerang, Nyi Ageng Serang pamit dari Yogyakarta untuk kembali ke Serang. Selama masa penantiannya beliau melakukan riyadhoh melalui berbagai amalan tasawuf untuk memperkuat kepekaan batinnya.

Setelah menunggu momentum yang tepat Nyi Ageng Serang bersama pasukannya pun melakukan gerilya dengan cerdik. Strategi yang digagas Nyi Ageng adalah kamuflase daun lumbu, yang beliau dapatkan dari riyadhoh-nya bersama para pasukan sebelum melakukan perang menghasilkan kamuflase yang sempurna.

Pasukan Nyi Ageng Serang tidak bisa terlihat oleh musuh dan tidak mendapati kekalahan. Kemudian ketika perang telah usai Nyi Ageng Serang kembali melakukan riyadhoh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sisa hidup Nyi Ageng Serang hampir seratus persen digunakan untuk mendo’akan kehadirat Allah, bersujud pada keharibaan-Nya, memohon ampun untuk arwah para pejuang pahlawan kemerdekaan yang telah mendahuluinya dan memohon keselamatan serta kesejahteraan bagi para pahlawan yang masih terus berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Seiring bertambah usia beliau, tanda-tanda kewalian mulai mucul pada diri Nyi Ageng Serang, akan tetapi beliau memilih menyembunyikan diri dari khalayak umum agar tidak lebih banyak yang mengetahui tentang kewaliannya.

Nyi Ageng Serang, sosok wali perempuan yang memilih untuk berpuasa panjang tidak muncul di depan umum. Beliau memilih tinggal di desa kecil dan terpencil di wilayah Kulon Progo untuk mengajarkan ilmu-ilmu dasar agama Islam pada masyarakat sekitar dan mengajari anak-anak kecil untuk membaca Al Qur’an. Oleh karena itu, patung beliau lengkap dengan tongkat dan kuda yang menemaninya berjuang, kini diabadikan  menjadi monument di simpang jalan Kulon Progo

_____

Sumber: Buku “Nyi Ageng Serang” karya Dra. Putu Lasminah SS (2007)

Oleh: Syarifah Zaidah (Santri Komplek Q)

Editor: Irfan Fauzi

Redaksi

Redaksi

admin

497

Artikel