Oleh: Ust. Abdul Jalil Muhammad, S.Th.i., M.Si.
Su’ud al-Funaysan menyebutkan dalam disertasinya “ikhtilaf al-mufassirin” bahawa ada empat faktor umum dan lima faktor khusus yang menyebabkan perbedaan dalam penafsiran Alquran. Di antara faktor-faktor umum adalah perbedaan dalam qiraat Alquran. Begtiu pula Jalal al-Din al-Suyuthi menjelaskan bahwa salah satu syarat mufasir adalah pengetahuan tentang ilmu qiraat.
Tidak semua qiraat mempunyai pengaruh pada tafsir. Perbedaan qiraat yang berkaitan dengan lahjah misalnya, tidak berpengaruh pada makna. Contoh, cara baca imalah, mad, idgam, tashil, tafkhim, tarqiq dan lainnya.
Perbedaan qiraat yang berpengaruh pada tafsir atau makna suatu ayat lebih banyak yang tergolong pada farsy al-huruf. Contoh Qs. al-Baqarah: 10 (yakzibun-yukazzibun). Jika dibaca yakzibun maka artinya bahwa orang kafir berbohong ketika mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu tukang sihir atau orang gila, sedangkan pembacaan yukazzibun lebih terarah kepada ketidakpercayaan orang kafir kepada Nabi Muhammad dan agama yang dibawa olehnya.
Tidak hanya qiraat shahihah yang digunakan seabagai istimdad ‘alat bantu’ dalam tafsir, tetapi qiraat syadzah juga banyak digunakan dalam Salah satu contoh awal dari generasi tabi’in diriwayatkan dari Mujahid b. Jabr (w. 104H) salah satu mufasir sekaligus qari’ dari generasi tabi’in, beliau berkata: pada awalnya saya tidak tahu apa makna (bait min zukhruf) sampai saya mendengar qiraat Ibn Mas’ud (aw yakun laka bait min dzahab). Dapat dilihat bagaimana mufasir generasi awal menggunakan qiraat dalam tafsir, misal al-Dhahhak bin Muzahim (w. 105H), Muqatil bin Sulaiman (w. 150H), dan Abd al-Razaq al-Shan’ani (w. 211H).
Dengan ini dapat dikatakan bahwa interaksi tafsir dengan qiraat sudah muncul sejak tafsir klasik, qiraat-qiraat yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi’in sering dijadikan sebagai istimdad dalam memahami ayat-ayat Alquran. wa Allahu a’lam.