Kolam Ikan Koi *
Ikan-ikan koi,
Bagaimana cara kalian bermimpi
Jika setiap malam
matamu masih saja terjaga, menemui keabadian.
Kalian tak kan pernah mengerti arti lelap,
saat mata mulai letih
menyaksikan lentik prasangka.
Ikan-ikan koi,
Di dunia manakah kalian berada?
Adakah langit berlapis di sana?
Seberapa banyak kisah
yang telah usai kalian perankan?
Kulihat, kalian tak pernah sedikitpun gelisah
saat menyusuri kedalaman kolam
yang dipenuhi lumpur, lumut, bebatuan,
dan sampah-sampah karam.
Ikan-ikan koi,
Sebenarnya bagaimana caramu menekuni hari-hari?
Sesekali, ajarkanlah kepada kami
cara menyelami kehidupan keruh ini.
Krapyak, 2022
*) Puisi ini terinspirasi dari Kolam yang berada di depan Komplek Ribathul Qur’an wal Qira’at PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Ritus Sepasang Tangan
Seperti halnya kedua mata
dengan sedu dan darah, membahasakan kesedihan
orang-orang menitipkan rupa
pada markah bisu untuk bisa dituliskan
menjadi sepotong risalah.
Sepasang tangan itu menangkup ritual sesaji
bertutur dalam diam
memendam sepikat kata, di antara ruas terali
merapal mimpi dalam sahaja
termangu melangitkan harap
perihal permohonan dan rapal asa
menanti wujud cita-cita dan doa.
meski kau senyapkan doa dalam rahim sunyi
Tuhan akan tetap mendengar suaramu.
Yogyakarta, 2019
Suatu Pagi di Bulan Juli
Usai ketabahan, kebijaksanaan,
dan kearifan hujan bulan juni di mata Sapardi
akan terbit suatu pagi
secerah cahaya yang terselip
pada surat-surat Kartini
di sisi bulan Juli, seakur waktu.
Hari-hari telah selesai dihimpun
habis sejarah dibaca
di taman, kata-kata tumbuh berbuku-buku
matahari dikibarkan dari tubuh sunyi
dan napas malam mulai terbata
sepanjang enam jari
dari lumut Januari hingga lingkap Juni
serupa perahu dilayarkan Fansuri.
Di antara sepasang musim dan rentang matamu
tibalah pagi sebagai penanda
berulang, seperti kelahiran kata-kata
yang dituliskan kembali menjadi puisi.
Yogyakarta, 2020
Kembang Wijaya Kusuma**
Barangkali pertemuan adalah barang langka
hingga kuncup daun enggan mekar menjadi puisi.
Pada awalnya sebuah mimpi
terbangun di tepi pantai malam.
Ada nelayan tanpa perahu, resah ingin berlayar
jiwanya lenyap sebab mendamba kapal
demi hasrat raja, penguasa pulau ambang.
Sebelum angin menjemputnya layu
sebelum matahari mengantarkan kepergian.
Tanpa menyertakan tangan sang nelayan
kembang wijaya kusuma sampai di tubuh istana.
Wijaya kusuma, aku masih ingin meraba jantungmu
menemui lidah wisnu yang tertanam di dadamu
Kali ini, aku menolak tawaranmu
untuk menunggu kedatangan puisi
biarkan aku pulang dari penantian
menikmati kenyataan malam yang sesak kesunyian.
Wijaya kusuma, urailah wewangian tubuhmu
saat waktu berhasil menguasai malam
lalu tunggulah aku menemuimu.
Yogyakarta, 2018
**) Puisi ini telah terbit dalam Antologi Puisi, Cerpen, dan Esai: Alumni Munsi Menulis tahun 2020.
Biodata Penulis:
Aniq Fahmi, kadang juga menggunakan nama pena A. Fahmi Muslih. Kelahiran Pati Jawa Tengah. Saat ini ia tinggal di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.