Seni Mengelola Kesedihan Dalam Islam

Seni Mengelola Kesedihan Dalam Islam

Almunawwir.com-Sejak kecil, kita terbiasa untuk dilarang menangis. Mungkin kita tak ingat, tapi mengamati bahwa ketika bayi menangis, pengasuhnya berusaha menghentikannya. Saat kita jatuh dari sepeda dan menangis, orang tua akan menggendong kita dan menenangkan kita dari tangisan tersebut. Dalam konteks ini, menangis dilambangkan sebagai wujud kesedihan.

Sedikit lebih besar, kita mulai memiliki masalah yang lebih serius. Mulai dari takut dicabut gigi, khawatir gagal dalam ujian, dan berbagai hal lain yang menyebabkan diri kita tertunduk lesu. Namun, jawabannya hampir sama, tidak perlu sedih! Jadi, sebagian orang menghindari kesedihan dan lebih menyenangi untuk merasakan kegembiraan. Mereka berpikir bahwa kesedihan adalah hal yang buruk dan lemah. Hal itu bisa disebabkan oleh lingkungan, kepercayaan, atau budaya tertentu.

Sumber: Kat J/Unsplash

Kita pun tumbuh menjadi remaja yang mencari jati diri. Sebagai generasi Z, kita berkembang bersama teknologi yang semakin canggih. Informasi semakin mudah didapat, daya kritis dan analitis meningkat. Dalam menghadapi peristiwa yang mengundang kesedihan, kita dituntut untuk merasakannya dan memberikan validasi.

Muncullah paradoks kesedihan, gemar mendengarkan musik melankolis yang terhubung dengan keadaan diri. Terlebih lagi, dengan adanya media sosial, konten-konten berbau kesedihan sering ramai oleh komentar warganet. Film maupun buku bertema serupa juga tidak ketinggalan menjadi perbincangan.

Menurut Kamus American Psychological Association, kesedihan adalah keadaan ketidakbahagiaan emosional pada tingkatan ringan sampai berat yang dipicu oleh kehilangan hal yang berharga. Sementara itu, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesedihan merupakan perasaan sedih, duka cita, dan susah hati.

Kesedihan merupakan salah satu emosi dasar yang bisa dirasakan manusia di seluruh dunia. Kesedihan biasanya akan muncul ketika seseorang merespon suatu kejadian yang menyakitkan, kehilangan hal yang berharga, dan harapan yang tidak sesuai kenyataan.

Baca Juga:

Pandangan Al-Qur’an Perihal “Kesedihan”

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW merupakan kompas manusia untuk menjalani kehidupan di dunia. Al-Qur’an turut mengatur manusia dalam memandang kesedihan. Kesedihan dalam Al-Qur’an sendiri dikelompokkan menjadi tiga dengan konteks masing-masing.

Pertama, kesedihan yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah kesedihan mengenai hal-hal keduniaan yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Ayat kesedihan ini menggunakan la nahi yang menunjukkan arti sebagai permintaan untuk tidak melakukan sesuatu. Kesedihan yang dilarang adalah bersedih atas perlakuan, hinaan, ucapan, tipu daya, dan gangguan dari orang kafir maupun kesusahan yang menimpa.

Satu di antaranya adalah kisah Maryam pada Surah Maryam yang bersedih akibat beratnya melahirkan seorang anak tanpa sosok ayah yang menimbulkan tuduhan dari kaumnya. Lantas, Malaikat Jibri datang untuk melarang Maryam bersedih sekaligus membawa kabar gembira akan pertolongan Allah untuknya.

Kedua, ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa kesedihan yang telah dihilangkan, bukan dilarang lagi. Ayat-ayat kesedihan ini memakai la nafi yang bermakna tidak ada. Kesedihan yang dihilangkan ada pada orang-orang yang beriman, bertakwa, dan beristiqomah di jalan Allah.

Mereka percaya dan ridho bahwa semua yang terjadi adalah takdir Allah yang terbaik. Mereka bersabar menghadapi cobaan karena Allah tidak menguji hamba-Nya di luar porsi mampu. Mereka tidak merasa kehilangan karena yakin akan diganti Allah dengan yang lebih baik.

Ketiga, ayat-ayat yang tidak mengandung makna larangan maupun penafian. Hal ini menyatakan kesedihan yang manusiawi dan diperbolehkan. Beberapa peristiwa seperti itu adalah ketika kehilangan sesuatu yang dicintai dan ketika bersedih atas dosa-dosa yang dilakukan.

Salah satunya ada pada Surah Yusuf ayat 86 yang mengisahkan Nabi Ya’qub yang bersedih sebab kehilangan putra kesayangannya sehingga mengadukan segala kesedihan dan kesusahan kepada Allah SWT.

Kesedihan Yang Menimpa Nabi

Kesedihan juga dialami oleh Rasulullah SAW, manusia paling sempurna di muka bumi. Beliau menangis ketika putranya yakni Abdullah dan Ibrahim meninggal dunia. Tangis beliau adalah ungkapan kasih sayang kepada putranya. Beliau juga pernah menangis pada saat sahabatnya gugur dalam peperangan. Sahabat tersebut adalah Hamzah dalam perang Uhud dan tiga panglima perang Mu’tah yakni Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Nabi menangis saat mendengar maupun membaca ayat-ayat tertentu. Suatu ketika, Nabi Muhammad mendengar Abdullah bin Mas’ud sedang membaca Al-Qur’an. Ketika sampai di surah An-Nisa ayat 41, Nabi pun menyuruh Abdullah bin Mas’ud untuk menghentikan bacaannya. Nabi menangis mendengar ayat tersebut karena Nabi tidak rela melihat umatnya menderita meskipun sebenarnya itu akibat dari perbuatan mereka sendiri.

Dalam rentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, ada satu tahun yang sering disebut sebagai tahun kesedihan. Bisa dikatakan bahwa tahun tersebut merupakan salah satu momentum terendah hidup Rasulullah.

Di tengah gempuran kaum kafir Quraisy yang gencar menghalangi dakwah, beliau diuji dengan meninggalnya paman tercinta beliau, Abu Thalib dan istri tersayang beliau, Khadijah. Atas kesedihan tersebut, Allah pun menghadiahkan beliau dengan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga naik sampai menembus langit ke tujuh.

Begitulah, Islam mengajarkan manusia untuk mengelola emosi dan kesedihan dengan Al-Qur’an dan teladan kehidupan Rasulullah SAW. Adakalanya kita boleh bersedih sebagai tanda bahwa kita adalah makhluk yang lemah tanpa pertolongan Allah atau bersedih sebagai penyesalan atas dosa-dosa yang telah diperbuat di masa lalu. Namun, adakalanya pula kita tidak perlu bersedih sampai berlarut-larut atas hal yang terjadi di luar kendali kita seperti perkataan orang lain yang menyakitkan dan kemalangan yang menimpa.

Kesedihan membantu manusia untuk menanggapi kejadian tertentu. Kesedihan menyebabkan seseorang lebih memahami dan penuh perhatian terhadap masalah yang dialami. Kesedihan yang berlebihan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari. Mengelola emosi seperti kesedihan adalah pekerjaan seumur hidup dan butuh banyak latihan. 

Referensi

Amanah, Siti. (2016) Kesedihan dalam Perspektif Al-Qur’an (Telaah atas Sebab dan Solusi Kesedihan dalam Ayat-ayat Hazan).

Penulis: Muhamad Amri Faizal

(Santri Madrasah Huffadh 1)

Redaksi

Redaksi

admin

502

Artikel