Almunawwir.com- Satu abad lebih, Nahdlatul Ulama (NU) memegang tonggak peradaban Islam dan mempertahankan warisan budaya Ulama, terhitung sejak 1926 Masehi sampai sekarang. Nilai dan tradisi yang digaungkan oleh NU tidak lepas dari cita-cita membangun peradaban baru yang dipimpin para ulama.
Peradaban yang diinginkan NU tidak hanya sebatas lingkup nasional, namun telah sampai pada kancah Internasional. Hal ini diupayakan dalam rangka menyebarkan nilai kemanusiaan dan moralitas di seluruh dunia sehingga tercipta kedamaian antar kelompok, etnis, bangsa, dan negara. Tujuan ini selaras dengan misi yang dibawa Islam, yakni rahmatan lil ‘alamin.
NU sebagai organisasi yang sering bergulat di kancah Internasional sekalipun memerlukan strategi yang tepat dalam mengatasi problematika umat di seluruh dunia. Guna menciptakan kehidupan yang damai dan persaudaraan yang kuat, NU turut andil dalam menyukseskan khittah NU dan cita-cita negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, serta berpartisipasi dalam membangun perdamaian dan peradaban dunia. Nahdlatul Ulama yang berlandaskan Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengedepankan nilai agama dan moral sebagai solusi setiap tantangan yang mungkin terjadi di dalam domestik maupun mancanegara.
Pada acara Halaqoh Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama yang bertempat di PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (Senin, 29/01), Chief Operating Officer Center for Shared Civilizational Values (COO CSCV) Amerika Serikat, H. Muhammad Cholil, mengungkapkan adanya tantangan yang harus dihadapi seiring lajunya peradaban.
Sebagai orang Barat, beliau membeberkan bahwa hilangnya rasa hormat terhadap tradisi dan kepercayaan agama serta degradasi moral dari bangsa Barat disebabkan peningkatan sekulerisasi yang masif dan sikap egosentris para pengambil kebijakan publik. Beliau mengutip sebuah pepatah,
“Jika rumput sudah kering, maka akan mudah dibakar, sebaliknya jika rumput hijau, maka akan sulit dibakar”
Artinya, jika sebuah negara telah kekeringan nilai moral dan kemanusiaan, bahkan nilai spiritual, maka bangsanya akan mudah terpecah-belah. Bahkan substansi masyarakatnya mudah diombang-ambingkan budaya yang jauh dari nilai toleransi dan kedamaian. Sehingga yang terjadi adalah normalisasi budaya yang menghiraukan perikemanusiaan.
Baca Juga:
Semarak Kegiatan Harlah NU ke-101: PBNU Gelar Halaqah Nasional di Pondok Krapyak
Kontribusi NU dan Tantangan Ke Depannya
H. Muhammad Cholil menceritakan bahwa adanya pertikaian agama antara protestan dan katolik pada zaman dulu telah mengubah pandangan orang barat menjadi anti terhadap agama. agama yang seharusnya menjadi solusi bagi masalah umat, malah membawa konflik yang menambah beban masalah. Pemahaman sempit inilah yang melatarbelakangi timbulnya sekulerisasi di Barat. Paham sekulerisme yang semakin masif dapat menanamkan pola pikir barat bahwa agama tidak memiliki peran penting dalam lini masa kehidupan.
Untuk itulah, adanya Nahdlatul Ulama berdiri sebagai teladan bagi umat seantero dunia. NU berupaya maksimal untuk meluruskan pemahaman yang sempit terhadap agama. NU memberi kontribusi yang nyata. Salah satunya adalah dibangunnya lembaga di Winston-Salem, Carolina Utara bernama Bayt al-Rahmah li al-Da’wah al-Islamiyah Rahmatan Li al-‘Alamin pada tahun 2014 oleh KH. Mustofa Bisri dan KH. Yahya Choli Staquf. Lembaga tersebut telah berhasil menarik perhatian pembentuk opini di Barat, baik di bidang pendidikan, agama, pemerintahan, maupun media massa.
Kemudian pada tahun 2018, NU berhasil memperkenalkan Islam Kemanusiaan atau Humanitarian Islam di jaringan politik terbesar Dunia, Centrist Democrat International (CDI). NU menegaskan bahwa Islam merupakan sumber rahmat, bukan kebencian. Sehingga setiap pola pikir yang menimbulkan kebencian terhadap suatu kelompok, hal tersebut bukanlah ajaran Islam. namun, bisa jadi oknum Islam yang kurang memahami makna Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin.
Tahun 2020, GP Ansor membuat forum dengan mengundang wakil dari luar negeri. Menteri Luar Negeri AS menyatakan dukungan secara eksplisit terhadap NU. Lalu tahun 2021, KH. Mustofa Bisri, KH, Yahya Cholil Staquf, dan KH. Yaqut Cholil Qoumas bersama-sama mendirikan Center for Shared Civilizational Values (CSCV) yang berfungsi sebagai kantor Sekretariat permanen Forum Agama G20 (R20). CSCV berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual ke dalam struktur kekuatan politik dan ekonomi dunia.
Baca Juga:
Mengenal Imam Malik: Sosok Mujtahid yang Nasionalis
Bagian yang tak kalah menarik yaitu apa yang disampaikan COO CSCV dalam halaqoh memperingati harlah NU ke 101,
“Kalangan non-muslim di negara Barat memahami secara intuitif bahwa Nahdlatul Ulama datang sebagai sumber rahmat”, ujarnya
Dimana intuisi setiap orang berasal dari kesatuan yang sama dan jiwa manusia memiliki kecenderungan merindukan Cahaya Tuhan (Nur Allah). Sehingga prinsip kemanusiaan, moral, dan spiritual yang diusung NU dapat merasuk ke dalam sanubari setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama memiliki potensi dan pengaruh yang signifikan di kancah Dunia. Dengan demikian, kita tidak perlu minder dan terus bergerak mantap melanjutkan perjuangan para pemimpin kita.