Pengantar Sejarah Alquran (2): Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya Alquran

Pengantar Sejarah Alquran (2): Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya Alquran

Sumber Foto: globalvillagespace.com

Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.A

Di dalam studi Islam, pembahasan mengenai masyarakat Arab pra-Islam serta kawasannya merupakan hal yang sangat penting. Karena ia menjadi tempat awal munculnya Islam. Mengenai hal tersebut terdapat beragam buku yang membahas sejarah Arab pra-Islam, salah satu buku yang cukup komprehensif dalam topik ini adalah : al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam karya Jawad ‘Aly seorang sejarawan asal Irak.

Selain karya tersebut, ada Ahmad Amin, seorang pemikir Mesir yang juga menulis tentang aspek ilmu dan pemikiran Arab pra-Islam yang ia beri judul Fajr al-Islam. Sebagai informasi, buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam kesempatan ini, saya akan membatasi pembahasan pada tradisi masyarakat Arab dalam hafalan. Mengingat tema yang kita bahas adalah pengumpulan Alquran. Akan tetapi, bagi para pengkaji Alquran dan Tafsir perlu membaca tentang fase ini dari aspek-aspek lain, seperti ekonomi, budaya, kepercayaan, dan lainnya. Supaya mendapatkan penjabaran wawasan yang kompleks.

KULTUR BANGSA ARAB
Secara umum tanah Arab dihuni oleh dua kelompok bangsa Arab yaitu bangsa Arab badawi dan bangsa Arab kota. Bangsa Arab badawi adalah mereka yang tinggal di padang pasir atau di bagian tengah yang merupakan tanah pegunungan yang amat jarang turun hujan. Mereka adalah para penggembala yang nomaden, sering berpindah-pindah tempat.

Sedangkan bangsa Arab kota adalah orang-orang yang tinggal di kota-kota (bagian tepi). Penduduknya cukup banyak dan bersifat menetap. Para sejarawan menyebut juga wilayah ini dengan ahl al-hadhar yang aktif dengan pertanian dan perdagangan.

Di wilayah Hijaz, tepatnya kota Mekah, Nabi Muhammad dilahirkan kemudian diangkat menjadi Nabi dan masyarakatnya adalah masyarakat pertama yang mendengar lantunan ayat-ayat dalam Alquran. Sejak zaman Nabi Ibrahim, kabilah-kabilah Arab bekerja sama dalam menjaga kota Mekah karena terdapat Ka’bah dan sumur air zamzam. Melihat keistimewaan dan kelebihan sumber daya alam di sana, Hijaz kemudian menjadi wilayah yang mempunyai kedudukan penting dari aspek ekonomi, agama dan politik.

baca juga : Pengantar Ilmu Qiraat Bagian I”

KEILMUAN BANGSA ARAB
Ilmu-ilmu yang berkembang dan dimiliki oleh orang Arab antara lain adalah ilmu perbintangan (astronomi), ilmu tentang iklim, dan catatan keturunan (al-ansab). Menurut Ahmad Amin, kemampuan otak orang Arab di zaman jahiliyyah (al-hayah al-‘aqliyyah fi al-jahiliyyah) itu sangat terlihat dalam bahasa, syair-syair, dan kisah-kisah yang didukung oleh kuatnya potensi hafalan mereka. Sedangkan, bagi mereka, ilmu-ilmu lain seperti ilmu perbintangan tidak bisa disebut sebagai disiplin ilmu yang mempunyai teori dan kaidah, akan tetapi sekedar menjadi pengetahuan dasar belaka.

Seni sastra Arab dan ilmu sejarah mereka ditransmisikan secara lisan saja dan jarang ditulis. Hal ini disebabkan mayoritas orang Arab pra-Islam belum pandai dalam ilmu baca-tulis. Belum pandai di sini bukan berarti bahwa orang Arab belum kenal ilmu kitabah. Sebab mereka telah mencatat banyak hal yang berkaitan dengan urusan kehidupan sehari-hari, antara lain perjanjian (al-‘uhud wa al-mawasiq), surat tagihan penjualan (as-shukuk). Bangsa Arab mempunyai kelebihan dan keistimewaan dalam kekuatan menghafal. Mungkin hal ini berkaitan erat dengan kondisi alam dan atau karakter serta kepribadian mereka.

Puisi atau syair seringkali dijadikan salah satu objek paling penting untuk dihafal. Saking pentingnya syair bagi bangsa Arab, ia mendapat tempat teristimewa. Ia amat dihargai dan dimuliakan. Hal itu tergambar dari sikap mereka sangat gemar berkumpul mengelilingi para penyair untuk mendengar syair mereka.

Menurut Jurji Zaidan inti dari sebuah syair terdapat dalam bahasanya yang puitis dan indah sehingga menyentuh perasaan dan jiwa bukan di wazan-nya atau di-qafiah-nya. Istilah orang Arab bagi kegiatan pembacaan atau pengungkapan syair adalah ansyada syi‘ran.

Syair tidak ditulis—meskipun hal itu mungkin saja dilakukan—karena penulisan telah dikenal di jazirah Arab seperti telah disebut di atas. Hal ini dimungkinkan bahwa penulisan digunakan dalam perdagangan jarak jauh atau hal lain. Namun, puisi-puisi (asy‘ar) digubah untuk dibaca di muka umum, baik oleh sang penyair sendiri atau oleh seorang (rawi). Hal ini mempunyai maksud-maksud tertentu, yaitu makna harus disampaikan dalam suatu baris, sebuah unit kata-kata tunggal yang membantu para pendengar untuk mencerna makna tersebut.

[su_heading size=”20″]Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat Arab. Sebab penyair membela dan mempertahankan kabilahnya dengan syair-syairnya. Disamping itu penyair dapat juga mengabadikan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian dengan syairnya.[/su_heading]

baca juga : Pengantar Ilmu Qiraat Bagian II”

Para penyair Arab pada waktu–waktu tertentu berdatangan dari segala penjuru untuk mengadakan festival pembacaan puisi di muka khalayak ramai dengan menampilkan puisi-puisi yang bagus dan indah. Penyelenggaraan festival pembacaan puisi ini bertempat di pusat-pusat keramaian atau di pasar tempat kumpulan orang-orang Arab. Ada beberapa pasar yang terdapat di wilayah Hijaz di antaranya: pasar ‘Ukaz, pasar Majannah, dan pasar dzi al-Majaz.

Silsilah keturunan (al-ansab) juga dihafal oleh orang Arab, hal ini dianggap sangat penting. Mereka sangat mementingkan dalam soal memelihara asal-usul keturunan, karena silsilah keturunan digunakan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga atas kelompok lain. Orang Arab pada umumnya menghafal silsilah keturunannya sampai kepada nenek moyang, dan mungkin ini pulalah yang menyebabkan mereka mempunyai kecakapan khusus dalam memelihara sistem periwayatan hadis Nabi, baik dari segi sanad maupun matan.

Selain syair dan silsilah keturunan, orang Arab juga menghafal kisah-kisah peperangan yang terkenal dengan sebutan ayyam al-‘arab, dan semua ini tidak atau belum ditulis. Peristiwa–peristiwa sejarah disimpan oleh mereka dalam ingatan, bukan karena mereka buta aksara, tetapi menurut ‘Abdul Mun’im Majid mereka beranggapan bahwa kemampuan mengingat lebih terhormat.

Wallahu A’lam

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel