Oleh : KH Ali Maksum
Kejayaan NU adalah hal yang sangat mungkin kita capai kalau kita mau cermati sejarah perjalanan NU dan pasang surut pamornya.
Kita tahu, sejak NU berdiri tahun 1926 adalah masa perkembangan NU, yang klimaks kejayaan pamornya sekitar tahun 1967-1969. Kemudian pada tahun 1970-1982, NU hidup dalam keadaan afounturir dan tidak menentu. Jika kenyataan itu kita teliti maka kejayaan NU terjadi disaat NU berhubungan erat dan berkoalisi dengan pemerintah. Adapun periode di mana NU hidup tak menentu, adalah di saat-saat NU renggang dengan pemerintah karena alasan tertentu.
Sekarang, kami dan kawan-kawan PBNU merintis keeratan kembali hubungan kita dengan pemerintah, dan insyaallah sebentar lagi dapat kita lihat hasilnya. Berbagai kesalahpahaman telah kami usahakan jalan keluarnya, sehingga kita akan mengalami situasi dimana tidak lagi saling mengintai satu sama lain. masalah yang menyangkut tatanan nasional telah kami konsultasikan dengan pemerintah sehingga dimungkinkan perumusan jalan keluar yang menguntungkan semua pihak. Demikian di antara ikhtiar kami, sekedar suatu usaha agar hubungan kita dengan pemerintah seperti sediakala dan bahkan lebih erat dan bermanfaat. Oleh karena itu, jika ikhtiar PBNU berhasil mulus tanpa rintangan, maka kembalinya kejayaan NU merupakan keharusan sejarah, yang bagaimana pun pasca terjadi. Setelah itu kita baru melihat NU sebagai kebanggaan bangsa, NU sebagai pemuka, dan NU adalah segalanya.
Sesungguhnya secara orientasi program, usaha-usaha yang dimaksud sudah kita canangkan sejak Muktamar NU di Semarang tahun 1979. Di sini kita melihat, berbagai program-program NU sejalan dan mendukung program-program pembangunan nasional. Hal ini dapat kita lihat pada program dasar NU dari keputusan Muktamar tersebut. Na’asnya, program yang telah dirumuskan dengan cermat tersebut tidak pernah kita lihat bukti nyatanya, sehingga NU tampil seolah-olah tidak peduli dengan kegiatan pembangunan bangsa ini.
baca juga : Ngaji Jalalain : Meragukan Risalah Kenabian dan Risalah Kenabian yang Tak Perlu Diragukan”
Sesungguhnya Muktamar Semarang itu secara keseluruhan merupakan titik tolak perjalanan NU menuju kemajuan sebagai jamiyah yang terpimpin rapi dan berwibawa. AD/ART yang dihasilakannya secara tegas memberikan dominasi kepemimpinan bagi kalangan ulama (syuriah), yaitu suatu hal yang menjadi ciri khas manajerial dalam Nahdlatul Ulama.
Dalam situasi di mana kegiatan pembangunan telah digalakkan seperti ini, biasanya terjadi berbagai hal baru dan kejutan yang timbul dari celah-celah kultur kemasyarakatan yang sedang berkembang. Karena itu, hidup berorganisasi di saat ini memerlukan ketabahan dan kebesaran jiwa yang lebih tinggi lagi. Di lain pihak, juga kedewasaan penuh dalam menatap situasi, bahkan kesanggupan berkorban demi kelestarian organisasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, bagi mereka—maaf—yang kurang cermat dalam membaca situasi mungkin sekali hanyut dalam badai ketidakjelasan, dan hilang harga diri serta kepribadiannya. Jika tragedi seperti ini menimpa NU—wal iyadzadu billah—maka disaat ini pula NU telah hilang maknanya. Tapi kami melihat sendiri, Alhamdulillah, justru para ulama benar-benar mencurahkan kemampuan dan wibawanya demi kelangsungan hidup jamiyah NU dan bahkan kejayaan di masa mendatang.
Berbagai keputusan juga kami lihat menjadi sumber potensi kemanfaatan bagi umat yang sedang membangun ini. Tinggal kita semua nanti yang harus melaksanakan dan melanjutkannya, adakah sumber itu benar-benar kita dapat menggalinya sehingga melahirkan berbagai kemanfaatan. Sebab faktor kemanfaatan inilah yang secara fisik menjadi faktor paling dominan dalam melestarikan suatu organisasi. Allah berfirman dalam Surah ar-Ra’d (13):17 :
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ
“adapun buih itu maka ia akan musnah tak berbekas, sedang sesuatu yang bermanfaat bagi manusia maka ia akan tetap eksis di bumi ini.”
baca juga : Ngaji Jalalain : Upaya Mengenali Dosa beserta Dampak-Dampaknya”
Di samping itu, pencantuman Pancasila dan UUD ’45 dalam pasal 3 Anggaran Dasar, yaitu sebagai landasan perjuangan NU, juga merupakan keberanian yang amat maju di dalam tubuh ulama, dalam unjuk perasaan nasionalisme mereka. Hal ini timbul dari kesadaran akan betapa pentingnya mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa secara utuh, karena ulama juga menyadari bahwa kesatuan potensi nasional merupakan modal yang paling mendasar dalam gerak langkah pembangunan. Sebab jamiyah NU yang berhaluan ahlussunnah waljamaah, bahkan akidah ini merupakan “qimah yang qoimah bidzatiha”, selalu merasa sangat berkompeten memagari Pancasila agar tetap lestari secara murni dan konsekuen sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Berdasarkan gagasan ini, maka pencantuman Pancasila dalam anggaran dasar tersebut adalah sebagai langsan idiil.
Pancasila adalah falsafah bangsa, bukan agama. Pancasila adalah falsafah sedang agama adalah wahyu. Sila demi sila dalam Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam, kecuali diisi dengan tafsiran-tafsiran dan atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Mengingat hal yang demikian itu, maka pemahaman Pancasila lebih lanjut perlu adanya pola pikir yang filosofis. Kemudian oleh karena di kalangan ulama masih kurang berpikir secara agamis, maka kita pun menyadari jika masih perlu adanya usaha meratakan keseragaman pengetian Pancasila di kalangan para ulama khususnya dan warga NU umumnya.
Akidah Islam berhaluan Ahlussunnah waljamaah ini pulalah yang merupakan filter atau saringan terhadap paham-paham lain yang ekstrim.
*Tulisan bersumber dari buku “Ajakan Suci” karya KH Ali Maksum terbitan LTN NU DIY