Selain kemuliaan dan predikat terbaik yang didapat, seorang hamilul Quran mau tidak mau harus mengambil ”resiko” besar untuk memposisikan Al-Quran di atas segalanya. Menghafal Al-Quran merupakan keputusan besar yang menjadikan pribadinya wajib bertanggung jawab menjaga hafalannya sampai kapanpun, berapapun yang dihafal. Selain itu, perjuangan untuk merampungkan hafalan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses tahsin (memperbaiki bacaan), tahfidz (proses menghafal), semaan (disimak) dan murojaah (mengulang-ulang) tanpa batas.
Kang Haiat, begitulah sapaan akrabnya. Dia memulai menghafal Al-Quran sejak duduk di bangku Tsanawiyah. Pada saat itu pihak sekolah membuat kebijakan kepada muridnya untuk menghafal juz Amma dan surat-surat pilihan. Hingga pada akhirnya dia berhasil menghafal total tiga juz. Pernah suatu ketika guru sekaligus pembimbing di asramanya mengatakan bahwa bagi penghafal Al-Quran, berapapun yang ia dapat dan dihafal, maka dia memiliki konsekuensi untuk menjaganya sampai kapanpun. Bahkan, orang yang tidak tuntas dalam proses menghafalnya, akan cenderung lebih sulit merealisasikan menjaga hafalannya ketimbang orang yang berhasil merampungkan hafalan tiga puluh juz.
Barangkali, itu motivasi awal Kang Haiat untuk merampungkan hafalannya sampai genap tiga puluh juz. Keputusan untuk melanjutkan hafalan membuatnya menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan mondok di Kudus, tepatnya di Yanbu’ Remaja, sembari sekolah di TBS. Dengan tekad dan usaha yang kuat, dibarengi riyadhoh tirakatan, dia berhasil merampungkan setoran dan hafalannya sampai menjelang kelulusannya. Namun, di tahun ketiga menjelang ujian semaan, Kang Haiat dipaksa harus melewati masa-masa sulit sehingga menunda proses ujian hafalannya. Sakit mengharuskannya pulang dan menyebabkan kondisi hafalannya kurang maksimal.
Hijrah ke Krapyak dan melanjutkan kuliah merupakan keputusan selanjutnya setelah tiga tahun di Kudus dan setahun mengabdi di Pati. Sempat terjadi pergulatan dalam dirinya untuk tidak mengambil keputusan tersebut karena sebenarnya dia berkeinginan mondok salaf untuk memperdalam kitab. Sama sekali tidak terbesit sedikitpun dalam benaknya untuk lanjut kuliah. Namun, titah orang tuanya tidak bisa ia tolak. Dia merupakan pribadi yang pantang berselisih dengan orang tua. Lagi pula orang tuanya juga khawatir akan kondisi hafalannya jika justru malah lanjut nyalaf. Kang Haiat juga menyadari bahwa dia seharusnya lebih memprioritaskan kondisi hafalannya di atas segalanya. Akhirnya dia memastikan kepada orang tuanya, jika tujuan utama ke Yogya ialah ingin melanjutkan dan memutqinkan hafalannya. Sedangkan berkuliah sifatnya hanya sambilan.
Hari demi hari begitu terasa berat. Kesibukan kuliah yang mungkin dirasa hal baru harus diadaptasi sesegera mungkin oleh Kang Haiat. Belum lagi tugas yang menumpuk sempat menguras tenaga dan pikirannya sehingga ngaji dan nderesnya sedikit terganggu. Berangkat dari situ, dia berpikir jika memang tujuan utamanya adalah mondok, maka dia harus konsekuen dengan langkah yang telah ia ambil.
Mindset seperti ini menumbuhkan semangat baru dalam dirinya sehingga hampir setiap waktu yang ada tidak boleh terbuang sia-sia. Sore hari selepas pulang kuliah, dia rehat sebentar dan langsung ngantri ke ndalem. Setelah magrib dia harus menyiapkan setoran aula kemudian siap-siap ngantri ke ndalem lagi. Karena Mbah Yai memulai majlis agak larut malam, maka dapat dipastikan selesainya bisa hampir tengah malam, sekitar pukul 23.30 WIB. Begitulah jadwal keseharian kang Haiat terus berulang-ulang dan dilakukan secara istiqomah. Tidak hanya itu, ikhtiar batin berupa tirakatan puasa dalail juga selalu menyertai hari-harinya. Meskipun tujuan utamanya ngaji, namun kondisi kuliahnya juga tidak sampai terbengkalai.
Perjuangan ini akhirnya terbayar sudah setelah namanya ikut masuk dalam jajaran wisudawan khotimin tahun ini. Dia mampu menyelesaikan setoran hafalannya dalam waktu singkat dan membuktikannya dengan merampungkan semaan ngglondong (penuh) 30 juz bil ghoib. Prosesi semaannya bisa dikatakan relatif singkat sebab Kang Haiat termasuk santri yang hafalannya begitu mutqin.
“sampeyan ngapalke qur’an sing tenanan, sing ikhlas, kudu istiqomah. Yen lagi males ning pondok kudu eling wong tuwo ning omah sing ngarep-ngarep anak.e iso sukses, iso ngangkat derajate wong tuwo” (Kamu kalau menghafalkan Quran yang sungguh-sungguh, yang ikhlas, dan harus istiqomah. Kalau pas lagi malas di pondok, harus ingat orang tua yang selalu mengharapkan anaknya sukses, bisa mengangkat derajat orang tua).
Barang kali Itulah dawuh yang selalu diugemi Kang Haiat selama mondok dan menghafalakan Al-Quran. Dia memikili tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan harapan orang tua dan cita-citanya. Oleh karenanya, dia merupakan pribadi yang pantang untuk bersantai-santai jika tugas yang diemban belum selesai.
Selain namanya yang unik, Haiat Haffaf the Great Heart, santri asal Pati ini punya hobi yang berbeda dengan santri pada umumnya. Ia punya hoby touring dan pecinta otomotif. Hal itu tampak dari desain motor bebeknya yang begitu elegan dan menarik. Dia menyebutnya bebek jinjit. Kang Haiat lebih gemar bepergian baik rihlah, maupun pulang ke rumah, dengan motornya ketimbang naik angkutan.
Namun, hobi semacam ini tidak serta merta membuatnya lalai. Dia hanya melakukannya sesekali saja ketika sedang jenuh dan suntuk. Tujuannya pun untuk self healing agar lebih semangat lagi ngajinya.