“Kita tidak pernah meragukan bahwa pesantren sudah selesai dalam urusan moderasi beragama.” Begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari bapak Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam berbagai webminar pengarusutamaan moderasi beragama. Memang, terma moderasi beragama saat ini masih menjadi perbincangan hangat oleh para petinggi negara, terutama di Kemenag sendiri.
Belakangan juga diketahui telah muncul pedoman yang mengatur konsep moderasi beragama dan semakin santernya disuntikkan ke dalam ruang-ruang strategis negara, pada ruang pendidikan misalnya.
Kemenag menyebut bahwa pesantren telah purna dalam moderasi beragama, apakah pesantren yang dikatakan sebagai pendidikan tradisional yang diembel-embeli dengan stigma kolot ini dijadikan role model bagi sekolah modern saat ini? Nah, berangkat dari hal tersebut kita akan melihat bagaimana sejarah pesantren hingga secara tidak langsung diadopsi oleh Kemenag dalam merumuskan konsep moderasi beragama.
Kilas balik mengenai sejarah pesantren, yakni keterlibatan para Kiai, Santri, pun pula tak terlepas dari tirakat para Bu Nyai dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa. Pesantren seperti kata Zamakhsyari Dhofier, mampu menjadi kekuatan alternatif, sekaligus sebagai counter-culture terhadap budaya hegemonik yang mengancam eksistensi budaya dan tradisi masyarakat Indonesia.
Pesantren menciptakan budaya kultur-sosial sendiri ala pesantren, termasuk di dalamnya kiai sebagai pengasuh, santri sebagai orang yang diasuh, diasah dan diasih. Oleh karena itu, santri disebut sebagai agen pembelajar yang sedang ditempa dalam membangun diri.
Dalam berbagai referensi catatan sejarah tanah air, pesantren memiliki porsi pengaruh yang sangat besar bagi tiap linimasa kehidupan. Misalnya resolusi jihad yang merupakan tonggak pertempuran 10 November di Surabaya, kita peringati sebagai hari Pahlawan.
Selain itu juga, sejarah penerimaan asas tunggal Pancasila yang menjadi Dasar Negara. Pesantren tampaknya akan terus mengawal perdamaian dan menjaga eksistensi NKRI, sebab pesantren lahir, tumbuh, dan selalu kembali ke akarnya yakni NKRI.
Pesantren disebut-sebut sebagai aktor perdamaian. Pesantren menjadi salah satu deskripsi yang mengusung pola implementasi nilai-nilai kemoderatan dalam beragama. Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
Karakter moderat ini menghindarkan dari sikap ekstremisme dalam beragama, juga memberikan motivasi dan dorongan untuk bersikap bijak, menerima, dan menempatkan diri sesuai kodratnya dalam menyikapi keberagaman. Ini semua, ada dalam praktik kehidupan pesantren baik dalam internal pesantren maupun hubungannya dengan masyarakat luar yang bersinggungan langsung dengan pesantren.
Dari waktu ke waktu pesantren sangat menjunjung tinggi dan mengawal pemahaman masyarakat yang memegang teguh nilai moderasi (tawasuth). Laku moderasi masyarakat pesantren barangkali sangat dipengaruhi atas sikap dan doktrin para kiai.
Jauh sebelum moderasi mulai digencarkan oleh Kemenag dan lembaga terkait, pondok pesantren justru telah mempraktikkan esensi sikap tersebut. Praktik moderasi beragama dipahami masyarakat pesantren sebagai suatu respon terhadap perbedaan dan selalu mengutamakan nilai-nilai perdamaian dalam memandang setiap persoalan.
K.H. Ali Maksum misalnya, dari berbagai cerita saya menemukan bahwa Pak Ali (sebutan akrab santri pada waktu itu untuk beliau) dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan para santrinya. Beliau membangun interaksi secara intens dan mampu memberikan kesan yang akrab kepada para santri.
Bahkan tak hanya berlaku di lingkup pesantren saja, tetapi juga kepada masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa tidak ada jarak status sosial yang tampak. Sikap tersebut yang sampai sekarang masih dipertahankan dan ditanamkan kepada para santri melalui dzuriyah beliau.
Selain itu, kita dapat melihat pendidikan berbasis multikultural yang merupakan salah satu ciri penyelenggaraan pendidikan pada lembaga pesantren. Pendidikan pesantren berprinsip pada tiga konsep persaudaraan yakni persaudaraan beragama atau satu akidah (ukhuwah Islamiyyah), persaudaraan berbangsa (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan atas dasar kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah/insaniyyah).
Ketiga konsep tersebut merupakan pondasi utama santri dalam memandang keberagaman sekaligus puncak atas narasi-narasi intoleransi dalam budaya multikultur Indonesia, juga menjadi konsep dasar yang ditanamkan kepada semua masyarakat pesantren.
Di pondok Krapyak, potret pendidikan multikultural dapat dideskripsikan melalui Madrasah Salafiyyah. Model moderasi beragama dalam program pendidikan Madrasah Salafiyyah ini secara umum telah menunjukkan sikap moderat, santun, mudah dipahami dan tidak menggunakan gaya islami yang memaksa, disesuaikan dengan rencana pendidikan salaf yang diinstruksikan sebagai model pembelajaran.
Hal ini memicu semangat para santri, meskipun dari latar belakang yang berbeda, semua santri disamakan, menyatu dalam ruang belajar dan tujuan yang sama, untuk ngaji.
Oleh karena itu, tidak heran jika pesantren adalah lembaga terbuka yang membuka diri kepada siapa saja yang ingin memperdalam ilmu agama tanpa memandang perbedaan suku, budaya, dan daerah yang beragam.
Salah satu bentuk perilaku moderat di pesantren diterapkan santri dengan menanamkan sikap sosial yang tinggi, yaitu sama-sama peduli dengan teman dan orang lain dalam bingkai ketersalingan. Santri harus mau dan mampu beradaptasi di lingkungan yang serba terbatas, beradaptasi secara sosio-kultural di pesantren, dan berbaur dengan komunitas dari berbagai daerah.
Cara pandang moderat ini menjadi pijakan oleh santri dalam merespon berbagai persoalan baik ketika masih menuntut ilmu (nyantri) maupun saat telah menyandang gelar sebagai alumni. Mungkin, sebagian rentetan sejarah ini menjadi salah satu alasan mengapa pesantren dapat dijadikan arah model dalam merumuskan konsep moderasi beragama oleh Kemenag.
Oleh: Jauharotun Nafisah (Santri Komplek R2)
Editor: Irfan Fauzi