Manusia dan lupa adalah dua kata yang sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan ada sebuah ungkapan, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Lalu, bagaimana jika kita lupa niat dalam berpuasa? Artikel ini akan memberikan beberapa referensi jawaban terkait persoalan tersebut.
Sebelum membahas itu, kita akan sedikit belajar tentang definisi sebuah niat. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi dalam Al-Mawahib As-Saniyah (h. 110) mengatakan bahwa pengertian niat secara etimologi merupakan kesengajaan atau tujuan. Sedangkan dalam pengertian syariat, niat merupakan ketetapan hati seseorang untuk melaksanakan sesuatu.
Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani, seorang pakar fikih, dalam karyanya Al-Fawaid Al-Janiyah (h. 112), memaparkan bahwa niat adalah kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan bersamaan dengan pelaksanaannya. Pengertian ini dikemukakan pula oleh Al-Mawardi dan Ibnu Hajar. Definisi ini memunculkan asumsi bahwa niat harus dilakukan bersamaan pada awal ibadah, tidak boleh dilaksanakan pada pertengahan atau sesudah ibadah tertentu.
Definisi tersebut ditentang oleh Syekh Ibrohim Al-Kurdi. Menurutnya, definisi yang dikemukanan belum bisa mencakup niat dalam ibadah puasa yang tidak bersamaan dengan puasa itu sendiri. Sedangkan menurut Imam Al-Baidhowi, beliau memberikan definisi bahwa niat itu sebagai kehendak yang mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan motif hanya mencari ridho Allah saja. Definisi inilah yang mungkin dapat mencakup semua hukum-hukum cabang (furu’) fikih, walaupun belum menyentuh pada tataran hukum formal yang sangat berkaitan dengan keabsahan satu bentuk ibadah.
Selanjutnya adalah tentang tempatnya sebuah niat. Menurut Imam Abdul Malik Al-Juaini yang juga dikenal dengan nama sebutan Imam Haromain dalam karyanya Nihayatul Matlab fii Diroyatil Mazhab (Juz 2, h. 120) memaparkan bahwa tempat niat adalah hati. Adapun lisan tidak memiliki pengaruh terhadap suatu niat.
Jika kita kaitkan dengan status niat dalam berpuasa, Imam Asy-Syuyuthi dalam karyanya Asybah wan Nadhair (h. 102) memaparkan bahwa status dalam niat berpuasa terjadi perbedaan di kalangan ulama. Seperti halnya Imam Ar-Rofii’ dan Imam An-Nawawi yang mengatakan bahwa niat dalam berpuasa termasuk sebuah syarat puasa. Pendapat lainnya yakni dari Imam Al-Ghozali yang mengatakan bahwa niat dalam berpuasa itu termasuk ke dalam rukun.
Terkait perbedaan tersebut, Imam Al-Hisni melalui karyanya Al-Qowaid (h. 213) berpendapat bahwa jika dalam ibadah yang keabsahannya mengharuskan niat maka status niatnya adalah rukun, sedangkan dalam perkerjaan yang bisa sah tanpa niat, tetapi dalam mendapatkan pahala masih harus niat maka status niatnya adalah syarat. Maka dari itu disimpulkan bawa niat dalam berpuasa termasuk ke dalam rukun puasa. Tidak akan sah puasa seseorang jika tanpa adanya niat.
Kini timbul pertanyaan, Lalu bagaimana dengan problematika sebelumnya jika kita lupa dalam niat berpuasa ?
Dalam mazhab mayoritas muslim Indonesia yakni Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa niat puasa harus setiap malam pada bulan ramadhan. Berbeda dengan Mazhab Maliki yang keabsahannya cukup satu kali di awal malam ramadhan untuk satu bulan. Dalam kaca mata Mazhab Syafi’i, ketika seseorang lupa melakukan niat dalam berpuasa pada malam hari maka puasanya tidak sah dan wajib diganti (mengqadha’) ketika selesai ramadhan. Seseorang tersebut terkena kewajiban layaknya seseorang yang berpuasa yakni menahan lapar, haus dan hal-hal yang membatalkan puasa hingga adzan magrib berkumandang.
Syekh Nawawi dalam karyanya Kasyifatu Sajaa Syarah Safinatunnaja (h. 117) berpendapat apabila seseorang melakukan niat pada awal bulan ramadhan untuk melakukan puasa keseluruhannya (sebulan penuh) maka menurut pendapat Mazhab Syafi’i tidak cukup kecuali untuk hari pertama pelaksanaan puasa.
Namun niat tersebut sunnah dilakukan agar dapat tetap sah puasa untuk seseorang yang lupa melakukan niat pada malam harinya menurut pendapat Imam Malik. Seperti halnya disunahkan untuk niat pada siang hari bagi yang lupa niat pada malam hari menurut Imam Abu Hanifah. Kesunahan itu bisa terlaksana jika niat taqlid kepada dua imam di atas. Jika tidak, maka ia justru melakukan ibadah yang rusak dan hal itu diharamkan.
Adapun niat yang diajarkan oleh almagfurlah KH Ahmad Idris Marzuki (Lirboyo) dalam sabil al-huda adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْاِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
“Nawaitu shauma jamii syahri ramadhan hadzihi sanati taqliidan lil Imam Malik fardhon lillahi ta’ala”
(Aku niat berpuasa seluruh bulan ramadhan tahun ini mengikuti Imam Malik fardhu karena Allah ta’ala.)
Dengan adanya cara tersebut bukan berarti tidak perlu lagi niat setiap harinya, tapi cukup hanya sebagai antisipasi bila terjadi keluputan dalam niat. Adapun wanita yang di awal ramadhan sedang haid, maka niatnya pada saat dimana malam ramadhan ia dalam keadaan suci.
*Penulis: Jauhari Ramadhani, Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek IJ (Al Masyhuriyyah) Krapyak Yogyakarta.
Editor: M. ‘Ainun Na’iim