Saya bilang, orang kayak saya kok punya murid doktor. Apa dia bilang; ‘doktor itu di kampus, Bu, kalau di sini saya kayak anak TK’. Dia menempatkan diri betul-betul sebagai orang yang sedang tholabah. Coba lihat, lha wong muallaf saja giat pengen ngaji, lha kita yang santri masa enggak.”
Film dokumenter Al-Ghoriib, merupakan sebuah film besutan Vedy Santoso, sineas muda yang masih nyantri di Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Film ini berhasil menyabet juara ketiga dalam Kompetisi Film Pendek Dokumenter Muktamar ke-33 NU di Jombang awal Agustus lalu.
Pada Ahad (20/10) lalu digelar bedah film dan diskusi bersama tim kreator film ini di Aula Pusat Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Acara dimulai pukul 10.00 WIB dengan pemutaran film, kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama para narasumber.
Hadir dalam acara ini, Dr. Katrin Bandel yang menjadi obyek film, Vedy Santoso selaku sutradara, Syarwani Rahab sebagai pengupas dari kacamata budaya pesantren, dan Agus Qusyairi sebagai pengupas dari sisi psikologi.
Dimoderatori Nashiruddin, sangat nampak antusiasme santri terhadap film Al-Ghorib produksi Kancingbaju Pictures ini. Film dengan subjudul ‘Sebuah Kisah tentang Kemungkinan yang Asing’ berdurasi 28’:56” ini mengisahkan tentang keseharian sosok Dr. Katrin Bandel, muallaf asal Jerman yang nyantri di Komplek R (putri) Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak.
“Awalnya saya sudah punya konsep lain. Namun ketika melihat foto Miss Katrin dan quote-nya di Majalah Al-Munawwir saya jadi berubah pikiran seketika. Saya pikir, ini harus difilmkan!” ungkap Vedy, “Total pembuatan film ini makan waktu dua bulan. Mulai dari riset, eksekusi shooting, hingga editing dan finishing. Kalau proses ambil gambar kami lakukan dalam dua minggu.”
Menanggapi tawaran film dokumenter ini, Dr. Katrin Bandel yang lebih sering disapa ‘Mbak Katrin’ oleh kawan-kawan santriwati tidak begitu saja menerimanya. Banyak hal yang ia pertimbangkan.
“Sebenarnya saya tak begitu suka dengan eksploitasi muallaf untuk berkisah tentang pengalaman spiritual pribadinya, menurut saya itu hal yang intim, apalagi kalau sampai menjelek-jelekkan keyakinan sebelumnya. Tapi karena film dokumenter ini lebih mengulas kehidupan saya di pesantren, saya juga paham kreator dan orientasinya, maka saya oke saja, barangkali bisa menginspirasi teman-teman santri lain,” jelas Katrin.
Bedah Film Dokumenter Al-Ghorib di Pesantren Al-Munawwir |
Di dalam film ini, Katrin mengisahkan pengalamannya menjai muallaf hingga mondok di Krapyak. Ia mengakui bahwa keputusannya menjadi muallaf adalah sebab dorongan kebutuhan terhadap spiritualitas, ada semacam kerinduan terhadap kemesraan dengan Tuhan. Ia menemukan semua itu di dalam Islam.
“Dulu saya memang tidak mengakui adanya Tuhan, tapi saat itu saya merasa sejuk mendengar murottal Al-Qur’an. Melihat orang shalat bersujud, anehnya saya merasa rindu, ya, rindu untuk bersujud. Tapi bersujud kepada siapa? Sekarang memang saya tidak bisa menunjukkan dimana Tuhan, tidak dimana-mana. Tapi bagi saya, keberadaan-Nya sangat jelas, sangat jelas! Saya tidak punya penjelasan lain tentang perjalanan ini, saya tidak melalui riset atau semacamnya, memang semata-mata hidayah,” tutur Katrin.
Di dalam film ini juga ditampilkan komentar orang-orang di sekeliling Katrin. Ada kawan-kawan sesama santri, mahasiswi bimbingan thesis, pengasuh pesantren, hingga sahabat-sahabatnya asal Jerman. Keislaman Katrin memang sudah lama, jauh sebelum kedatangannya di Krapyak. Setelah dua tahun, baru dia memutuskan untuk mengaji kepada Ibu Nyai Hj. Ida Fatimah Z.A. di Pesantren Al-Munawwir.
Dr. Katrin Bandel |
Awalnya, Mbak Katrin bersyahadat tanpa seorangpun menjadi saksi. Beberapa teman sempat mempertanyakan hal ini, akhirnya ia pun bertanya kepada Ibu Ida –sapaan akrab Ny. Hj. Ida Fatimah Z.A.- tentang keabsahan bersyahadat tanpa saksi. Lalu Ibu Ida mengantarkan Katrin sowan kepada almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir atau Mbah Zainal, pengasuh Pesantren Al-Munawwir untuk menanyakan hal tersebut.
Menurut Mbah Zainal, syahadat semacam itu sudah sah, cukup Allah sebagai saksi. Adapun tambahan saksi berupa manusia hanya tambahan saja, tidak harus. Jawaban ini melegakan hati Katrin, meskipun ia sudah bersiap-siap jika memang diharuskan untuk mengulangi syahadatnya di hadapan khalayak ramai. Sejak saat itu, Katrin mulai intens mengaji tentang dasar-dasar agama dalam bimbingan Ibu Ida.
“Kata Bapak (Mbah Zainal –red), nomor satu yang terpenting adalah akidah,” terang Ibu Nyai Hj. Ida Fatimah Z.A.,
“Maka untuk ngaji awal ya pakai Durusu Aqoidid Diniyyah, begitu juga dengan fikih, kita pakai Durusul Fiqhiyyah.
Katrin bawa kitab, dia nulis dengan telaten, tidak hanya mendengarkan. Kemarin juga dia ikut khotimat Juz ‘Amma, meskipun nggak hapal tapi sudah khatam Juz ‘Amma. Sekarang sudah mulai ngaji Qur’an binnadhri.
Saya bilang, orang kayak saya kok punya murid doktor. Apa dia bilang; ‘doktor itu di kampus, Bu, kalau di sini saya kayak anak TK’. Dia menempatkan diri betul-betul sebagai orang yang sedang tholabah. Coba lihat, lha wong muallaf saja giat pengen ngaji, lha kita yang santri masa enggak.”
Ny. Hj. Ida Fatimah Z.A. |
Katrin merasakan kesulitan penyesuaian pada masa awal hidup di pesantren. Selama ini, ibadah baginya adalah hal yang sangat pribadi. Maka ia merasa canggung ketika harus beribadah secara berjamaah bersama para santri di lingkungan pesantren. Namun akhirnya ia terbiasa dan menikmati. Kehidupan sebagai muslimah dan kesehariannya di pesantren kemudian mempengaruhi cara pandangnya teradap Islam.
“Dulu, imaji Islam di Eropa memang buruk sebagai ajaran dogmatis yang mengekang, sekarang tambah buruk lagi dengan berbagai kasus kekerasan. Jadi ya dulu saya nggak kepikiran sama sekali dengan Islam, sama sekali agama yang nggak menarik buat dimasuki, kalau yang lain-lain saya pernah masuki,” katanya.
Agaknya spiritualitas memang hal yang sangat disyukuri Katrin. Dalam bedah film, ia menyampaikan bahwa selama dua tahun menjadi muallaf, ia menutup diri dan tidak mau diekspos. Menurutnya, spiritualitas yang baru muncul adalah seperti tunas yang baru tumbuh, sangat rawan rusak dan mati jika dikerubungi keramaian, apalagi bila sampai terinjak-injak. Ketika ditanya; apa hal yang khas dimilik pesantren dan tidak ada di luar menurut Katrin sebagai sosok yang memiliki keragaman latar belakang, ia menjawab,
“Suatu hal yang khas ada di pesantren dan tidak ada di luar, saya rasa adalah lingkungannya yang sangat mendukung spiritualitas. Memang pesantren tidak menyediakan pengalaman spiritual, tapi lingkungannya sangat mendukung untuk mencapai hal itu. Di pesantren tak sekedar pendalaman pemahaman terhadap agama secara akademis, tapi juga ada disiplin ritual yang mengasah keintiman kita secara pribadi dengan Allah. Apa gunanya sih kita menguasai berbagai kitab-kitab literatur tapi tidak merasakan keintiman spiritual dengan Allah?”
Melihat perubahan ini, Inga dan Michel Henke, pasangan suami istri yang merupakan sahabat karib Katrin, awalnya merasa kaget. Mereka melihat Katrin shalat di mobil, berpuasa, dan penampilan dengan jilbab, merasa aneh. Namun lama kelamaan hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar. Pasangan ini sempat mampir di Pesantren Al-Munawwir ketika berkunjung ke Yogyakarta bersama dua putra mereka.
“Saya turut bahagia melihat dia bahagia dengan keyakinnnya saat ini,” kata Inga dalam salah satu scene film dokumenter ini.
Katrin bersama sahabat-sahabatnya. |
Di akhir scene film, Katrin mengutarakan harapan utamanya, “Harapan utama biar makin dekat aja sama Allah. Mau dibawa kemana hidup ini untuk menuju itu ‘kan kita nggak tahu, itu ‘kan terserah Dia.”
Sudah ada dua film santri karya Vedy Santoso yang dibedah di Pesantren Al-Munawwir. Film pertama bertajuk ‘Amin’ yang mengisahkan tentang upaya anak muda untuk menggantungkan cita-citanya setinggi layang-layang yang diterbangkan ke langit. Film yang dibuat di lingkungan Komplek L Pesantren Al-Munawwir Krapyak ini ditayangkan pula pada event tahunan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2015.
Film kedua adalah Al-Ghorib yang baru saja dibedah pada Ahad lalu. Di dalam film ini, Vedy berhasil menyajikan suasana khas pesantren yang syahdu. Beberapa instrumen vokal, sajak, dan musik di film ini semakin menegaskan garis-garis cerita tentang perjalanan cahaya Katrin.
“Saya tidak tahu. Saya membuat film bukan karena saya harus membuatnya sebab rencana-rencana. Saya mengalir saja. Kalau ternyata nanti ketemu ide, ya saya buat. Kalau nggak, ya nggak,” tutur Vedy saat ditanya apa rencana selanjutnya dalam kreasi film-film santri.