Biografi KH Masyhuri Ali Umar: Santri Sejati dan Pembaharu
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, didirikan oleh KH. M. Moenawwir pada tanggal 15 November 1911 M. Pada awal berdirinya, semula pesantren ini bernama Pondok Pesantren Krapyak, yang dinisbahkan pada letak daerahnya, yaitu di Dusun Krapyak. Sesudah wafatnya KH Munawwir pada tahun 1967, nama pondok pesantren tersebut ditambah “Al-Munawwir” dengan tujuan untuk mengenang pendirinya.
Sepeninggal romo KH. M. Munawwir estafet kepemimpinan pondok pesantren Al-Munawwir dilanjutkan oleh kedua putra beliau yaitu KHR. Abdul Qodir Munawwir dan KH Abdullah Affandi Munawwir sekitar tahun ( 1941-1968 M). Pada masa kepemimpinan beliau, setiap keluarga ndalem yang memiliki rumah sendiri, memiliki wewenang untuk menampung para santri, baru sepeninggalan KHR. Abdul Qodir Munawwir ( 2-2-1961) dan KH. Abdullah Affandi (1-1-1968) kepemimpinan ponpes Al-Munawwir di pegang oleh KH. Ali Maksum (1968-1989 M).
KH. Masyhuri Ali Umar merupakan salah satu santri lama Pondok Pesantren Krapyak yang kemudian diambil menantu oleh KHR. Abdul Qodir Munaawir. Beliau adalah putra dari pasangan KH. Ali Umar dan Ibu Nyai Hj. Mas’atin –keduanya merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Langkapan- yang lahir di Kabupaten Blitar –kabupaten yang masyhur dengan sebutan Bumi Bung Karno-, tepatnya di dusun Langkapan[2], Maron, Srengat Blitar pada tanggal 19 Mei 1943. Beliau putra ke-5 dari 7 bersaudara, yaitu 1. Abdul Rohman 2. Nafisatun 3. Amsahil Huda 4. Masruroh 5. Masyhuri 6. Marhamah 7. Alfiyah.
Dari kecil memang memiliki cita-cita untuk nyantri di pondok pesantren. Namun, keinginan tersebut baru tercapai setelah Masyhuri kecil menyelesaikan belajarnya di Sekolah Rakyat (SR)[3]. Meskipun pada waktu sekolah beliau juga nyantri di Mangunsari, tepatnya di Pondok Pesantren Menara Al-Fatah di bawah asuhan KHR. Abdul Fatah –Salah satu ulama yang masyhur di daerah Tulungagung- mengikuti ayahnya yang pada saat itu sedang pasanan.[4]
Setelah tamat SR, beliau mengikuti kakaknya (KH. Abdul Rohman) nyantri ke Pondok Pesantren Tertek, Pare, Kediri, hingga tahun 1958. Pada tahun 1959, KH. Masyhuri melanjutkan perjalanan nyantrinya di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Beliau masuk di tingkatan ibtidaiyah, lalu tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah. Saat itu yang mengasuh adalah KH. Abdullah Affandi, KH. Ali Maksum, KH. Abdul Qadir. Selain itu juga dibantu oleh KH. Zainal Abidin dan KH. Warson.
Dalam diri KH. Masyhuri memang sudah kelihatan bahwa passion yang beliau miliki adalah belajar dan mengajar. Beliau mencurahkan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengabdi menjadi santri. Selama di Krapyak, beliau juga diberi amanah untuk mengajar Tsanawiyah dan Aliyah. Setelah sekian lama menimba ilmu agama di Krapyak, KH. Masyhuri memiliki keinginan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga mengambil program studi Bahasa & Sastra Arab (BSA).
Dengan kesibukan KH. Masyhuri, justru menjadikan beliau semakin dekat dengan keluarga (ahlain) Pondok Pesantren Krapyak, hingga pada tahun 1965 sesuai dengan musyawarah ahlain KH. Masyhuri dijodohkan dengan Ibu Nyai. Hj. Umi Salamah binti KHR. Abdul Qodir Munawwir[5]. Beliau dipilih sebagai menantu dengan pertimbangan mampu membantu meneruskan perjuangan KHR. Abdul Qodir. Tidak hanya itu, dengan sikapnya yang mampu mengayomi, ngemong, KH. Masyhuri diamanahi untuk merawat 4 putra putri KHR. Abdul Qodir yang masih yatim. Sosok beliau di mata ke empat adiknya sudah seperti ayahnya sendiri. Saat itu, KHR. Najib Abdul Qodir masih di tingkat Tsanawiyah, KHR. Abdul Hamid, Ibu Nyai Munawworah dan KHR. Abdul Hafidz masih ditingkat Sekolah Dasar.
Pernikahannya dengan Ibu Nyai Umi Salamah (pada saat itu KH Masyhuri Ali Umar berumur 21 thn dan Nyai Hj Umi Salamah berumur 15 thn) dari dikaruniai 6 orang putra-putri, yaitu:
- Ibu Nyai Atiq Alifah, menikah dengan Sujandi dan berdomisili di Demak, memiliki 2 putra.
- Ibu Nyai Hj Azahil Fana, menikah dengan KH. Muhtarom Ahmad dan berdomisili di Krapyak, Yogyakarta. Beliau memiliki 3 putra.
- Agus M. Nabih menikah dengan Maziyah (lulusan komplek R2) dan berdomisili di Blitar, meneruskan estafet kepemimpinan pondok pesantren milik kakeknya. Hasil pernikahannya, dikarunia 4 putra
- Ibu Nyai Hj Aniq Nadhirah menikah dengan KH. Su’ad dan berdomisili di Magelang, memiliki 2 putra
- Agus Abdul Qodir (alm). Beliau meninggal sebelum berumah tangga
- Agus H Ahmad Shidqi Mashyuri menikah dengan Ibu Eni Kartika Sari dan berdomisili di Krapyak, Yogyakarta menggantikan posisi KH. Masyhuri, mengasuh komplek IJ. Beliau dikaruniai seorang putra.
Sebelum mendapat SK PNS dari Departemen Agama (Depag) Bantul pada tahun 1967, KH. Ali Masyhuri juga menjabat sebagai asisten dosen di jurusannya. Setelah resmi menjadi pegawai negeri, beliau ditempatkan untuk mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Gondowulung dan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Sabdodadi.
Perjalanan menjadi guru di 2 MTsN tersebut tidak berlangsung lama, karena KH. Ali Maksum menghendaki KH. Ali Masyhuri untuk mengajar di MTs Krapyak[6] dengan alasan agar yayasan MTs dan MA[7] bisa dipegang dan dipantau oleh keluarga. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh KH. Ali Masyhuri selain mengajar sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah MTs, beliau juga membantu KH. Zainal Abidin mengajar di Madrasah Salafiyyah[8] dan Ma’had Aly[9].
KH. Masyhuri juga merupakan salah satu ahlain yang mengikuti perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir. Bahkan tidak jarang beliau mengutarakan ide-ide terkait kemajuan pondok pesantren. Pada mulanya, Pondok Pesantren Krapyak hanya memfokuskan pada Al-Qur’an (Madrasah Huffadz)[10] dan Salafiyyah (Kajian Kitab)[11]. Semua yang nyantri tidak diperolehkan untuk nyambi beraktivitas di luar, seperti kuliah. Namun, setelah KH. Masyhuri melanjutkan perjalanan ilmiahnya dengan mengambil jalur pendidikan formal (IAIN Sunan Kalijaga), tidak sedikit teman-teman seperjuangan beliau ketika nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir, mengikut jejaknya.
Dengan berbagai pertimbangan, KH. Masyhuri memberanikan diri untuk matur kepada KH. Zainal Abidin, mengutarakan kegelisahannya, bahwa para alumni yang akan kuliah masih menginginkan nyantri di Krapyak. Namun, KH. Zainal Abidin tetap menolak.
Pada akhirnya, teman-teman KH. Masyhuri yang notabennya merupakan alumni Krapyak meminta ijin untuk tinggal di ndalemnya KHR. Abdul Qodir (alm). Bermula dari satu orang, dua orang akhirnya ndalem KHR. Abdul Qodir (alm) masyhur menjadi komplek tertua.[12] Akhirnya, ndalem dikembangkan menjadi gotakan[13]yang diisi oleh beberapa santri, pengembangan kamar tersebut merupakan ide dari seorang santri yang bernama Edi dari Pati Jawa Tengah. Adapun penamaan komplek-komplek muncul setelah KH. Ali Maksum wafat dan MTs & MA diatasnamakan Yayasan Ali Maksum. Meskipun begitu, KH. Masyhuri tetap mengajar di sana.
Komplek-komplek tersebut diantaranya:
- Gedung Komplek A
- Gedung Komplek B
- Gedung Komplek C
- Gedung Komplek D
- Gedung Komplek E
- Gedung Komplek F
- Gedung Komplek H
- Gedung Komplek I
- Gedung Komplek J
- Gedung Komplek L
- Gedung Komplek M
Saat ini, komplek I & J digabung menjadi satu.
Pada dasarnya KH. Masyhuri lebih mumpuni dalam beberapa bidang, yaitu Bahasa Arab, Balaghah, dan Nahwu. Namun, pengetahuan beliau yang lain juga dianggap cukup dan mampu untuk dibagikan pada umat. Keseharian beliau juga disibukkan dengan mengisi pengajian di kampun-kampung saat hari biasa, selapanan maupun saat Ramadhan. Sebagai santri sekaligus pengajar senior, beliau tidak berlebihan dalam menyikapi keadaan. Peringainya yang pendiam, sabar namun tegas terkenal di hadapan santri-santri.
KH. Masyhuri aktif di organisasi Nahdlatul Ulama.[14] Pada saat Rais Syuriah PWNU DIY dijabat oleh KH. Asyhari Marzuqi,[15] KH. Masyhuri diamanahi untuk menjadi Khatib Syuriah nya. Pada tahun 2001 KH Masyhuri Ali Umar berpulang ke Rahmatullah dan dimakamkan di Dongkelan, bersebelahan dengan makam KH. Abdul Qodir, KH. Ali Maksum, KH. Munawwir dan ahlain-ahlain lain yang telah mendahului beliau.
_________________________
End Note
[1] Makna judul tersebut adalah KH. Masyhuri Ali merupakan salah satu cucu menantu yang sedari kecil memiliki cita-cita menjadi santri. Hal tersebut terkabulkan hingga beliau menjadi menantu Kyai Besar di Pondok Pesantren Yogyakarta, bahkan sampai meninggal dunia status beliau tetap menjadi santri. Konribusi beliau diantaranya mampu mengubah dan meyakinkan mindset kyai-kyai sepuh bahwa ilmu-ilmu tidak hanya didapatkan dalam pondok pesantren saja. Sehingga pada waktu itu, beliau bisa membuka jalan bagi teman-teman alumni Pondok Pesantren Krapyak yang belajar (red: kuliah) diluar, namun masih mengingnikan menimba ilmu dalam pesantren. Tentunya, dengan berpegang teguh pada maqolah المحافظة على قديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
[2] Merupakan kampung kecil di tepi Sungai Brantas
[3] Sekolah Rakyat (SR) merupakan program yang diberikan oleh colonial pada rakyat, meliputi membaca, menulis dan berhitung. SR lebih terkenal dengan sebutan Sekolah Kelas Dua. Lihat M. Fadlan, Sejarah Pendidikan Indonesia Masa Kolonialisme, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, 2015.
[4] Pasanan merupakan Istilah yang berasal dari Bahasa Jawa yang berarti menginap di pesantren (mondok) selama Bulan Ramadhan. Saat ini masyhur dengan sebutan Program Ramadhan atau pesantren Ramadhan.
[5] Ibu Nyai Umi Salamah merupakan putri KHR. Abdul Qodir dengan Nyai Hj. Salimah Nawawi. Gelar raden didapatkan oleh beliau karena beliau merupakan putra KH. M. Munawwir dengan istri pertamanya, R.A. Mursyidah. yang masih memiliki ikatan saudara dengan Kraton Yogyakarta.
[6] Sekarang menjadi MTs Ali Maksum
[7] Saat itu yang memegang sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah adalah KH. Hasbullah
[8] Madrasah Salafiyyah merupakan sebutan untuk masrasah yang pembelajarannya mengacu pada kitab kuning dengan sistem klasikal. Pada mulanya, di Krapyak hanya ada satu Madrasah Salafiyyah yang terletak di pusat. Saat ini, Pondok Pesantren Krapyak memiliki 5 Madrasah Salafiyyah (MS), yaitu; MS 1 (Komplek Nurussalam), MS II (Komplek Ab & R1), MS III (Komplek Q), MS IV (Komplek ) dan MS V (Komplek R2).
[9] Ma’had Aly merupakan salah satu lembaga kelanjutan dari pondok pesantren yang setara Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Prof. Dr. Muzammil Qomar dalam “dimensi manajemen pendidikan islam” menyebutkan pesanten secara intitusional juga memiliki kelanjutan berupa Ma’had Aly yang merupakan pesanten tingkat tinggi. Dengan kata lain, Ma’had Aly bisa disebut sebagai jenis perguruan tinggi pesantren, sehingga puncak kelembagaan pesantren ada Ma’had Aly ini. Ma’had Aly merupakan bentuk transformasi murni kelembagaan pesantren pada tahap terakhir –setidaknya untuk kurun saat ini-. Lihat selengkapnya, Muzammil Qomar, Dimensi Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: rlangga, 2015), hlm. 156-157.
[10] Saat itu sering disebut dengan komplek A
[11] Saat itu sering disebut dengan komplek B
[12] Dahulu hanya ada huffadz dan salafiyyah. Setelah itu baru bermunculan komplek-komplek lian, setelah KH. Masyhuri berinisiatif menjadikan ndalem KHR. Abdul Qodir sebagai tempat tinggal santri. Komplek tersebut (red: Komplek IJ) merupakan salah satu komplek yang memperbolehkan santrinya untuk sambal kuliah di luar.
[13] Gotakan berasal dari kata kotak-an karena berbentuk kotak. Istilah tersebut biasa digunakan di pondok-pndok pesantren untuk menyebut kamar (kamar kecil).
[14] Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M. Organisasi tersebut dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Beliau merumuskan Kitab Qonun Asasi (Prinsip Dasar), Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah yang kemudian diejawentahkan dalam khittah Nu dan dijadikan dasar, rujukan warga NU dalam berpikir, bertindak di bidang sosial, keagmaan dan politik. Lihat http://nu.or.id. Diakses 2 Oktober 2019, pukul 22.57
[15] Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummah yang masih dzurriyah Krapyak melalui jalur KH. Nawawi Ngrukem. Dulunya merupakan satu kamar dengan KH. Masyhuri ketuka sama-sama nyantri di Krapyak.