Khataman Al Qur’an Ramadhan 1437 H

Khataman Al Qur’an Ramadhan 1437 H

TIDAK terasa kita sudah berada di penghujung bulan Ramadhan, satu bulan yang istimewa telah kita lalui bersama dengan berbagi akifitas dan berbagai pengajian Ramadhan, di mana pada fase akhir ini Allah SWT menjanjikan: ‘itqun minannar (merdeka dari siksa neraka) bagi mereka yang mampu menembus garis finish dalam menjalankan ibadah puasa terutama di sepuluh malam terakhir dibulan Ramadhan. Sehingga akan segera memasuki kondisi yang dinanti-nantikan, yaitu kembali kepada fitrah (kesucian).

Menjalankan ibadah puasa ibarat orang yang berada di tengah medan pertempuran, yaitu berperang melawan hawa nafsu. Dengan berakhirnya puasa secara sempurna, berarti telah mendapatkan kemenangan dalam berperang. Dalam hal ini, Nabi telah bersabda bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan jihad yang paling besar (jihad akbar), karena yang kita lawan adalah musuh yang tak tampak, sangat kuat dan berada di dalam diri kita sendiri. Banyak sekali orang yang tak mampu melawan hawa nafsu, apalagi sampai memperoleh kemenangan dikarenakan lemahnya iman.

Bagi mereka yang telah berhasil menjalankan puasa secara sempurna, Allah akan memberikan pahala yang sangat besar dengan melipatgandakan pahala ibadah serta mengampuni dosa-dosanya. Sehingga saat memasuki Hari Raya Idul Fitri benar-benar dalam kondisi fitrah seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu dan belum ada sedikitpun salah dan dosa.

Yang dimaksud dosa yang diampuni adalah dosa antara makhluk dengan Sang Kholiq (Allah SWT), sementara dosa dengan sesama makhluk masih tetap ada. Karena itu, ketika memasuki Hari Raya Idul Fitri perlu saling silaturahmi untuk memohon maaf antarsesama.

Di balik kemenangan menjalankan ibadah puasa, berakhirnya Ramadhan justru merupakan musibah yang sangat besar bagi umat Islam sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir RA, yang artinya:

“Apabila telah tiba akhir Ramadan, maka langit, bumi dan para malaikat menangis karena adanya musibah bagi umat Muhammad SAW. Lalu sahabat bertanya, Musibah yang manakah? Nabi menjawab, berakhirnya bulan Ramadhan, karena dalam bulan tersebut doa dikabulkan, sodaqoh diterima, kebaikan dilipatgandakan, dan siksa dihentikan.

Berdasar Hadis tersebut maka musibah manakah yang lebih besar dari berakhirnya bulan Ramadhan? Jelas tidak ada yang bisa membandingkan musibah yang lebih besar daripada berakhirnya bulan Ramadan. Hal ini karena keistimewaan bulan Ramadhan. Nabi bersabda yang artinya, “Apabila umatku tahu akan keistimewaan Ramadan niscaya mereka mengharap sepanjang tahun menjadi bulan Ramadan semuanya”.

Di bulan Ramadhan secara jelas kita rasakan peningkatan kualitas dan kualitas amal ibadah kita secara luar biasa. Terbukti baik di masjid maupun musala mengalami peningkatan jumlah jamaahnya. Namun sungguh sangat tragis memasuki bulan Syawal di mana keadaan justru berbalik. Masjid dan musala berkurang jamaahnya, gema tadarus Alquran berkurang kumandangnya.

Padahal seharusnya lebih ditingkatkan karena kondisi fisik kita lebih kuat dibanding saat bulan Ramadhan. Dengan berkurangnya amal ibadah ini berarti menurunkan pula pahala yang diperoleh sebelumnya. Semakin sedikit pahala yang diperoleh, maka menjadikan ketenteraman, kedamaian dan kesejukan hati semakin berkurang. Hal inilah yang mungkin dimaksud dan diingatkan oleh Nabi sebagai suatu musibah.

Begitu besarnya keutamaan bulan Ramadhan, sehingga wajar apabila kepergiannya pun menjadi musibah besar yang diratapi dan ditangisi oleh para makhluk. Namun demikian, bukan berarti kita harus bersedih dengan musibah. Kebahagiaan akan menyambut seandainya dalam selain bulan Ramadhan kita betul-betul menjalankan amal ibadah sesuai dengan tuntunan dan istiqomah seperti bulan Ramadhan. Dengan demikian kita berharap semoga memperoleh derajat muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) di sisi Allah SWT.

Redaksi

Redaksi

admin

535

Artikel