Kiai Najib, Kiai Rendah Hati, Tawadhu’ dan Ringan Silaturahmi
Oleh: KH. Henry Sutopo*
Faslun 1
Menjelang Tahun 1965 eksistensi sebuah partai politik akan terlihat dari pasukan drumbandnya.
Pasukan Drumband PKI dan NU saat itu bersaing ketat tetapi tetap levelnya di bawah Pasukan Drumband Angkatan Udara yang dari dulu sampai sekarang belum tertandingi.
Tontonan hiburan favorit masa itu bagi saya adalah melihat pawai karnaval dan fokusnya di pasukan drumband.
Saya akan bersorak kegirangan jika yang lewat adalah Pasukan Drumband NU dengan seragam hijaunya dan biasanya barisan berikutnya adalah Drumband PKI dengan seragam serba hitam serta gambar Palu Arit yang menyolok.
Begitu Barisan Drumband NU lewat fokus pandangan saya adalah ke Sang Mayoret yang berada paling depan, apalagi ketika Sang Mayoret yang gagah dan lincah memainkan tongkat sambil melempar ke udara kemudian ditangkap lagi dengan sigap dan tidak pernah meleset. Wuih. Gembira luar biasa.
Siapakah Mayoret Drumband NU idola saya pada saat itu? Beliau adalah Mbah Kiai Najib Abdul Qodir.
Faslun 2
Mbah Kiai Najib adalah kiai yang luar biasa. testimoni saya puluhan tahun yang saya lihat Beliau kiai yang sangat rendah hati. Tawadhu’nya di atas rata-rata. Beliau tidak pernah membedakan orang, ringan silaturahmi bahkan saya sering kaget saat mendatangi undangan ngaji di pelosok gunung ternyata Mbah Najib sudah lenggah di situ untuk membaca do’a khataman.
Sering saya pringas–pringis nggak enak. Beliau yang mestinya sudah kundur duluan tetapi masih tetap lenggah di situ mendengarkan saya ngaji nggedebus yang tidak ilmiah.
Paling celaka adalah saat saya harus pegang mic duduk di kursi yang disediakan panitia. Mbah Kiai Najib duduk lenggah di bawah. Biasanya kursi langsung saya singkirkan dan saya ikut duduk lesehan sambil nggedebus ngaji. Betul-betul takut kuwalat.
Kenangan tahun-tahun terakhir yang membuat saya gembira luar biasa yaitu saat Beliau kersa saya aturi dan saya ndherekke jajan Bakmi atau Sate Klathak bersama adik Beliau Almarhum KH Abdul Hafidz Abdul Qodir yang mendahului Beliau ditimbali Gusti Allah SWT.
Baca Juga: Ada yang Unik dan Khas dari Ngaji bersama Kiai Najib
Faslun 3
Nama Mbah Kiai Najib saya monumenkan dalam “Buku Catatan Seorang Santri” yang saya tulis dengan judul “Menghafal Al-Qur’an” dan saya sudah matur Beliau sebelum buku itu naik cetak.
Kealiman dan kesalehan Mbah Kiai Najib tidak ada yang menyangsikan bahkan banyak orang berlomba kepingin jika saatnya mati pingin dikubur dekat dengan Makam Mbah Kiai Najib.
Suatu saat saya ngobrol satu Majlis dengan KH Saiful Mujab dan adiknya KH Sofwan Helmi berbincang tentang membuat Makam khusus para Kiai yang terealisasi di Kampung Sorowajan makam Mbah Kiai Zaenal Abidin Munawwir saat ini.
Sempat kami guyon pesen kapling kalau bisa besok saatnya dikubur bisa berdekatan syukur jejer dengan Makam Mbah Kiai Najib. Tapi keinginan KH Sofwan Helmi tidak kesampaian sebab Beliau sudah dimakamkan di Sorowajan sedang Mbah Kiai Najib di Dongkelan…
Saya yang masih ada kesempatan…. Allohu a’lam…
Faslun 4
Alhamdulillah lebih dari 50 Tahun saya bisa mendampingi Mbah Kiai Najib Abdul Qodir karena sama-sama pribumi Krapyak dan rumah saya hanya berjarak kurang lebih 100 m dengan Ndalem Beliau.
Dalam bahasa guyon saya dengan Mbah Kiai Warsun, Mbah Kiai Atabik dan Mbah Kiai Jirjis Ali Maksum kami menyebut Mbah Kiai Najib dari kecil adalah “manusia yang tidak sempat nakal”.
Kalau saya insyaa Allah dari kecil termasuk golongan manusia yang full nakal. Karena saat kecil yang namanya mencuri tebu, kacang, ngembat pisang tetangga sampai nyolong ayamnya Kiai bahkan gelut berantem sudah tercatat dalam rekor, dan itu semua Mbah Kiai Najib tidak pernah lakukan.
Saya ngaji al-Qur’an kepada Mbah Kiai Ahmad Munawwir dan Mbah Kiai Najib jika Mbah Kiai Ahmad berhalangan. Dengan Mbah Kiai Najib sempat pula saya Ngaji Kitab Irsyadul Ibad.
Sekitar setahun yang lalu Kiai Fairuzi Dalhar dan Kiai Muhtarom Busyro tindak ke rumah saya sebagai delegasi Takmir Masjid Almunawwir bermaksud meminta saya untuk menjadi Imam Khotib Jumat.
Langsung saya jawab: Kalau itu usulan atau inisiatif Beliau berdua saya tidak bersedia. Tapi kalau yang dawuh Mbah Kiai Najib saya tidak berani menolak. Kiai Fairuzi dan Kiai Muhtarom Busyro lantas ngendhiko bahwa itu Mbah Kiai Najib yang dawuh saya pun sam’an wa tho’atan spontan. Saya tidak berani membantah apalagi melukai hati Guru Kiai yang sangat saya hormati.
Baca Juga: Ampunan yang Bermula dari Belas Kasih terhadap Anjing yang Kehausan
Lahu Alfatihah…
Krapyak 4 Januari 2021
*Pengajar di Pesantren Krapyak dan Muballigh Kondang