Almunawwir.com – Acap kali para pemuka agama melontarkan nasihat-nasihat dalam koridor pengajian di pesantren tentang keutamaan berpuasa di bulan Ramadhan.
Padahal di hari-hari biasa pun para santri banyak yang bertirakat, baik puasa mutih, nderes hafalan, sampai ngalong di malam hari sambil muthala’ah kitab.
Jadi sejatinya santri sudah sangat tangguh secara fisik maupun mental di kehidupan sehari-harinya.
Berangkat dari singgungan di atas, benarkah “puasa bukan hal istimewa” bagi kalangan santri? Dalam pengertian sekadar menahan lapar dan haus. Atau bagaimana kira-kira maqom atau level puasa yang seharusnya bagi santri?
Sebagai santri, tentu kita tidak asing dengan trilogi Islam, yakni: Islam, iman, dan ihsan. Rukun iman setidaknya ada enam, yaitu: Iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, Nabi Allah, Hari Akhir, dan qadha-qadar.
Baca juga: Kontemplasi Ramadhan: Dahsyatnya Menghadiri Majelis Ilmu
Sedangkan rukun Islam ada lima, yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan pergi haji bila mampu. Khusus untuk ihsan, para ulama tidak memiliki kesepakatan layaknya iman dan Islam di atas. Adapun pembahasan puasa, ini terdapat dalam rukun Islam ke empat.
Sejauh ini, sangat banyak sekali umat Muslim meletakkan konsepsinya terhadap puasa hanya sekadar menahan makan-minum, jimak, dan lainnya yang membatalkan puasa secara lahiriah (physical).
Tetapi sepatutnya umat perlu meningkatkan pemahamannya bahwa puasa bagi seseorang memiliki stratanya masing-masing.
Kategorisasi Puasa
Tentang adanya strata dan kategorisasi dalam puasa, Kiai Sholeh Darat as-Samarani (1820 M-1903 M) pun juga memecah puasa menjadi tiga kategori dalam kitab Sir al-Asrar, yakni: (1) puasa syariat, (2) puasa tarekat, dan (3) puasa hakikat.
Puasa syariat atau puasa zahir, bagi Sholeh Darat mengacu pada menahan haus dan lapar saja. Memilah-milah makanan apa yang baik dan tidak sehat untuk dicerna.
Dan segala kecondongan niat pada kesehatan jasmani, dan bukan ruhani, ini merupakan pagar batas puasa syariat.
Puasa tarekat atau puasa batin, memberi aksentuasi pada lonjakan-lonjakan frekuensi ambisius, sifat mau yang berlebihan, atau segala sesuatu syahwat yang berkonotasi negatif. Puasa tarekat/thariqah ini merupakan tingkatan yang lebih “sulit” daripada sekadar puasa zahir.
Lebih lanjut, puasa hakekat dalam konteks pemikiran Sholeh Darat menuju pada titik kulminasi, yakni “puasa ruh”.
Eskalasi puasa ruh ini mencakup puasa tariqah, melampaui segenap maqamat (level-level) dari jenis puasa lainnya, fokusnya tertuju ke hanya satu tujuan: Allah semata.
Baca juga: Renungan Ramadhan: Guru, Pengekang Hawa Nafsu
Tidak lagi peduli dengan “iming-iming” bidadari surga, pahala, atau jenis-jenis obralan surgawi lainnya yang dijumpai pada maqam puasa zahir dan puasa batin.
Puasa ruh memiliki tingkat komprehensi yang sangat tinggi. Di satu sisi menganjurkan untuk menjaga makan-minum dan mengendalikan syahwat, di sisi lain juga wajib mempertautkan hatinya untuk shalat (connecting/tersambung) kepada Allah Swt.
Otomatis koridor Tuhan, manusia, dan alam terikat dengan rapih sebagai suatu kelengkapan yang serasi dalam semua sudut.
Rajutan-rajutan poin di atas menghasilkan setidaknya tiga nilai, yaitu: (1) korelasi manusia dengan Tuhan, (2) manusia dengan sesama manusia, dan (3) manusia dengan alam.
Meskipun puasa perkara yang identik dengan praktik keagamaan (manusia-Tuhan), namun seseorang tidak boleh berlebihan, alias tetap memperhatikan interaksi antarsesama manusia (social interaction).
Di satu sisi juga mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan alam dengan mengendalikan porsi makan (terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan). Tidak boleh dikotomisasi antara agama dengan manusia, atau agama dengan alam. Semua harus berjalan secara proporsional.
Santri: Integrasi-Interkoneksi
“Jawara al-Qur’an” asal Yogyakarta, Kiai Zainal Abidin Munawwir (1931 M-2014 M) dalam karyanya Wazaif al-Muta’allim sejak jauh-jauh hari “menggaungkan” pentingnya integrasi-interkoneksi dalam mempelajari suatu ilmu.
Dalam kitab Wazaif halaman 27, di sana Mbah Zainal menerangkan bahwa antara ilmu satu dengan ilmu lainnya saling berkaitan dan saling memompa.
Seperti ilmu fikih yang tidak dapat berdiri independen tanpa menyandarkan pada ilmu hadis (‘ulum al-hadis) ataupun ilmu tafsir (‘ulum at-tafsir).
Pandangan Mbah Zainal berawal dari kritiknya terhadap dualitas (pendikotomian) antara satu ilmu dengan ilmu yang lain. Tidak boleh memisah dan tidak boleh juga mereduksikan ilmu menjadi satu, melainkan “saling mengikat”.
Kiai Zainal Abidin mengklasifikasi ilmu secara keseluruhan menjadi tiga tipe: (1) ‘ulum ad-diniyyah, (2) ‘ulum al-lisaniyyah, dan (3) ‘ulum al-hayawiyyah.
Baca juga: Nuansa Ramadhan di Pesantren Krapyak
Petama, ‘ulum ad-diniyyah atau ilmu-ilmu agama adalah ilmu fikih, hadis, tafsir, dan kalam. Kedua, ‘ulum al-lisaniyyah atau ilmu bahasa adalah ilmu syair (‘arudh), sastra (balaghah), nahwu, sharaf.
Ketiga, ‘ulum al-hayawiyyah atau ilmu-ilmu kehidupan seperti ilmu kedokteran, antropologi, geografi. Tentu dari tiga kategori ilmu tersebut, ilmu agamalah yang wajib menjadi titik utama (centre point) pergerakannya.
Perincian-perincian di atas bertujuan untuk “merakit” manusia, khususnya santri yang berintelektual dan memiliki akhlak mulia. Intelektual artinya memiliki daya berpikir yang kuat, kritis, jernih, moderat.
Sedangkan akhlak mulia merupakan koridor praksis agar santri dapat seimbang antara ilmu yang tinggi dan amal (perilaku) yang luhur. Jelas sekali bahwa seharusnya seorang santri itu memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Epilog
Berdasarkan uraian-uraian di atas, tentu idealnya santri menjalankan seluruh aktivitasnya, baik duniawi maupun ukhrawi, berada pada taraf maksimal dan terkendali dengan baik.
Menurut Kiai Sholeh Darat, puasa terpecah menjadi tiga kategori: puasa syariat, puasa tarekat, dan puasa hakikat.
Lalu Kiai Zainal Abidin memaparkan bahwa sepatutnya ilmu-ilmu itu dipertautkan, integrasi-interkoneksi, yakni: ilmu agama, ilmu bahasa, dan ilmu kehidupan.
Santri, yang menjadikan tirakat sebagai “makanan sehari-hari”, masihkah menganggap puasa (menahan lapar dan haus saja) sebagai suatu hal yang istimewa?
Tentu tidak. Santri harus berada pada taraf maksimal pada seluruh koridor ukhrawi dan duniawi. Minimal membangkitkan kembali tubuh Islam yang sudah cukup lama terkapar jatuh di jurang “kemandekan”.