“Dari tiga belas seminar bertema pranikah yang pernah saya ikuti, seminar ini yang paling detail dan memberikan gambaran jelas bagi saya mengenai bagaimana menyongsong pernikahan,” ujar Arnia. Salah satu peserta dalam Seminar Pranikah bertajuk “Merajut Keluarga Maslahah Ala Ahlussunnah wal Jamaah” yang dihelat di PP Al Munawwir Komplek Q Yogyakarta, Minggu (28/01).
Seminar ini dihadiri oleh 150 peserta perempuan dengan mencoba untuk mengupas beberapa hal krusial terkait persiapan pernikahan yaitu; positive parenting, perencanaan keuangan keluarga, hingga kiat-kiat memilih pasangan dan mewujudkan keluarga harmonis.
Seminar yang didukung oleh Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PWNU DIY ini dibagi menjadi tiga sesi. Pada sesi pertama, tampil Nurmey Nurulchaq, Psikolog, sebagai pembicara. Dengan penyampaian yang ekspresif, perempuan yang akrab disapa Ruly itu memperkenalkan enam pilar dalam positive parenting atau pengasuhan positif.
Pertama, partnership parenting, yang berarti relasi antara anak dan orangtua harus setara sehingga anak merasa diperlakukan sebagai teman. Kedua, jurus 4B atau belai, bicara, bermain, dan berpikir perlu dijadikan pegangan dalam melakukan pendekatan pada anak.
Ruly menjelaskan, membelai anak dengan lembut memberikan dampak yang luar biasa bagi anak. “Empat kali membelai, anak akan dapat survive; delapan kali membelai, tumbuh kembang anak akan berjalan optimal; enam belas kali membelai, anak akan dapat menghadapi dunia dengan lebih positif,” ujarnya.
Ketiga, anak harus diajarkan mengenai konsistensi terhadap aturan sehingga, perlu ada kesepakatan dalam melaksanakan kedisiplinan. Ruly menambahkan, usia untuk menanamkan karakter disiplin pada anak maksimal pada usia sembilan tahun.
baca juga : Halaqah Jurnalistik Mengetuk Nurani Baca-Tulis Santri”
Keempat, memahami emosi negatif anak sejak dini. Orangtua harus tahu kapan anak akan bersikap emosional dan harus pula menekankan pada anak bahwa mereka harus tahu penyebab mengapa mereka marah.
Menggunakan gaya bahasa positif menjadi poin penting nomor lima. “Menurut penelitian,” kata Ruly, “orang lebih mudah menangkap kata sifat. Jadi, orangtua jangan mengatakan pada anak, ‘jangan nakal’ karena kata yang akan ditangkap oleh anak adalah ‘nakal’,” lanjutnya.
Pada poin terakhir, Ruly menekankan bahwa orangtua juga perlu menanamkan pola asuh tanpa hukuman untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri anak.
Memasuki sesi kedua, peserta diajak membuat perencanaan keuangan keluarga dan berkenalan dengan investasi oleh Afif Fatkhurrohman, fasilitator LKK PWNU DIY. Menurut Afif, perencanaan keuangan keluarga ini penting karena seseorang tidak akan pernah tahu kejadian yang akan terjadi esok.
“Perencanaan keluarga menjadi krusial karena adanya tujuan yang hendak dicapai, biaya hidup yang terus naik, kehidupan ekonomi yang tidak bisa diprediksi, dan resiko-resiko yang semakin besar seperti sakit, kehilangan pekerjaan, usaha bangkrut, maupun hutang piutang,” ujarnya.
Sementara itu, investasi menjadi strategi yang bisa dilakukan untuk mengimbangi inflasi atau biaya hidup yang terus naik. Afif mengatakan bahwa menabung saja tidak cukup dapat membuat sebuah keluarga mengejar laju inflasi, apalagi jika pendapatan yang diperoleh stagnan.
“Tujuan investasi adalah untuk mendapatkan hasil dari pertumbuhan nilai aset yang dimiliki,” tambahnya. Ia menyebutkan beberapa instrumen investasi seperti deposito, emas/logam mulia, valuta asing, obligasi, dan reksadana.
Afif berpesan, “Sebelum memilih instrumen investasi, pertimbangkan terlebih dahulu target, kebutuhan, serta kemampuan Anda.”
Di sesi terakhir, KH. Hilmy Muhammad berbagi tentang kiat-kiat memilih pasangan. Beliau mengatakan, “Kita tidak bisa memilih dilahirkan dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa menentukan akan membangun keluarga seperti apa.”
Pembantu Rektor III UNU Yogyakarta ini menuturkan, prinsip keluarga yang maslahah adalah suami istri harus sadar terhadap peran dan kedudukan.
Dalam rumah tangga, suami berkedudukan sebagai kepala keluarga. Hal ini sejalan dengan QS. An-Nisa ayat 4 yang berarti, “Suami merupakan pemimpin bagi istri.” Meski demikian, keduanya memiliki peran yang sama, saling menjaga dan saling menghormati.
baca juga : Al Quran, Perempuan, dan Insan Kamil”
KH. Hilmy Muhammad menjelaskan, memilih pasangan bisa didasarkan pada bibit, bobot, dan bebet seperti halnya dalam falsafah Jawa. Bibit artinya melihat latar belakang calon pasangan. Sedangkan, bobot berarti memilih calon pasangan dengan pengetahuan dan pengamalan agama yang baik.
Menurut beliau, kesalihan harus menjadi dasar utama dalam memilih calon pasangan. Memilih imam dengan pengetahuan yang kurang, akan menjurus pada praktik-praktik yang melanggar syariat dalam rumah tangga. Beliau menegaskan,
[su_quote]“Pilihlah suami yang kuat agamanya, meskipun parasnya tidak tampan, meskipun fakir, atau memiliki kekurangan fisik sekalipun. Itu akan lebih baik daripada memilih seseorang yang tidak memiliki pengetahuan agama.”[/su_quote]
Sementara, yang dimaksud bebet adalah berpenampilan baik, artinya jika dipandang menyenangkan. Hal ini penting sebab, “Penampilan Anda akan membuat Anda dihormati sebelum Anda berbicara,” tutur salah satu anggota Dewan Pengasuh PP. Al-Munawwir Krapyak tersebut. (Asmak Anisah, Khalimatu Nisa)
