Oleh : K.H. Hilmy Muhammad
#NgajiTafsir (Surat an-Nisa` (4) ayat 34):
[su_heading size=”20″]وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي المَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ[/su_heading]
Bersikap lemah lembut pada istri menjadi keharusan bagi suami yang menginginkan kebaikan dalam mengelola rumah tangga. Masalahnya adalah bagaimana sikap itu diterapkan terhadap istri yang dianggap tidak patuh, sementara ayat di atas mengajarkan suami tentang langkah-langkah penyelesaian melalui dari tahapan menasehati, kemudian menghindari tempat tidur mereka, hingga diperbolehkannya memukul. Imam asy-Sya’rawi memberikan penafsiran menarik terkait tahapan-tahapan tersebut, yang ringkasannya sebagaimana berikut:
Upaya pertama adalah menasehati istri dengan halus dan lembut. Antara caranya adalah memilih waktu dan momentum yang tepat saat memberi nasehat.
baca juga : Ngaji Jalalain : Upaya Mengenali Dosa beserta Dampak-Dampaknya”
Yang kedua adalah menghindar dari tempat tidurnya. Ungkapan ini luar biasa detail karena hanya menyebut “tempat tidur”. Ini tidak harus bermakna “pisah ranjang” atau tidur di ranjang yang berbeda, tapi bisa dilakukan dengan cara suami tidur mungkur atau menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah tidur istri, sekedar menunjukkan sikapnya yang sedang “mangkel” atau marah terhadap istri.
Ungkapan ayat ini tidak menyuruh kita menghindari istri dari “rumah” atau “kamar” yang menjadi tempat tinggalnya. Ini memberi pengertian, sehebat apapun konflik antara suami-istri, sebaiknya masalah itu dilokalisir hanya di tingkat ranjang mereka berdua. Maksudnya, sebisa mungkin konflik itu tidak melebar ke mana-mana. Biarkan ini menjadi masalah privasi keduanya.
Bayangkan bila gara-gara marah kepada istri, suami kemudian pergi dari kamar atau rumahnya, tentu akan menjadikan seisi rumah menjadi tahu. Dan bila orang lain tahu, kemungkinan masalah akan semakin runyam dan semakin rumit penyelesaiannya.
Ketiga adalah memukulnya dengan ringan dan tidak menimbulkan luka. Bagaimana ukurannya? Antara ulama berpendapat, memukulnya dengan siwak, sekedar menunjukkan ketidaksukaan suami terhadap sikap sang istri.
baca juga : Ngaji Jalalain : Pentingnya Iman Kepada Allah dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar”
TELADAN NABI AYYUB
Allah juga mengajarkan hal ini kepada kita melalui kisah Nabi Ayyub ‘alayhis-salam saat bersumpah akan memukul istrinya 100 kali, gara-gara istrinya yg kurang mengurus beliau ketika sakit. Saat sudah sembuh, beliau menyesal telah bersumpah seperti itu. Allah kemudian berfirman kepadanya:
[su_heading size=”20″]وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثاً فَاضْرِب بِّهِ وَلاَ تَحْنَثْ[/su_heading]
(Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.) [Surat Shad (38): ayat 44]
Artinya, memukul ya memukul, tapi tidak merusak dan justru membikin hubungan semakin berantakan. Wewenang memukul sesudah tahapan-tahapan itu memang diberikan, akan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan sebagai penghukuman dan penghinaan, tapi sebagai upaya perbaikan dan pembinaan.
