Mbah Dalhar, Lebih dari Sekadar Kiai

Mbah Dalhar, Lebih dari Sekadar Kiai

Oleh: Wahyu Salvana
BAPAK. Begitu aku biasa memanggilnya. Tak hanya aku, puluhan santri lainnya pun begitu. Bapak memang bukan siapa-siapaku. Bapak tak hanya kiai-ku, tapi juga sebagai orangtuaku ketika aku ngangsu kaweruh. Banyak yang memanggilnya “mbah, simbah, mbah yai, ataupun pak kiai”. Tapi aku memanggilnya ‘Bapak’.

Tetap ‘Bapak’. KH Dalhar Munawwir. Bapak bagiku dan teman-temanku. Tiap hari, ada saja santri yang didangu. Selalu berganti yang ditimbali. Tak ada pembedaan perilaku. Yang ada hanya iri di antara santri. Pun dengan aku ini.

Ada saja cara Bapak untuk mengenal santri. Tak ada santri khusus yg ditugasi. Bapak selalu membagi. Ketika lelah, dan Bapak ingin dipijat. Banyak santri yang berharap-harap cemas. Kapan waktunya ditimbali. Awalnya memang takut. Ada juga yang mengeluh. Takut karena tak bisa memijat. Mengeluh karena tak biasa memijat.

“Namamu siapa? Sekolahmu dimana? Rumahmu dimana? Saudara kandungmu ada berapa?” Begitulah kira-kira pertanyaan Bapak saat aku mulai memijat samparan-nya. Dialog sederhana antara kiai dan santri seolah tak terbatasi. Candaan Bapaklah yang membuatku semakin asik. “Wis, wis, aku tak turu sik. Sinau sing sregep ya!” Pesan itu yang selalu Bapak selipkan.

Hampir setiap pagi Bapak berkeliling komplek. Tak jarang gothakan pun ditengoknya juga. Memang, terkesan ketat dan menakutkan. Tapi tidak untuk Bapak. Dengan begitu, aku dan santri yang lainnya bisa setiap saat mencium tangan beliau ketika hendak berangkat sekolah maupun kuliah.Bahkan, Bapak pun seringkali menunggu santri-santri yang pulang sekolah dan kuliah. Meski hanya mengawasi dari ruang tamu.

Mas Mahmudi, santri senior yang hafal Qur’an dan bersuara ‘empuk, ahli puasa, serta pengajar ‘terbang’ (rebana) pertama di Krapyak yang biasa mencukur rambut Bapak.

“Mas Mahmudi boten wonten Pak!”

“Yo wis kowe wae!”

“Nggih!” jawabku singkat.

“Aku pengen cukur!”

Terang saja aku kaget. Diutus Bapak apapun, insyaAllah aku siap. Namun tidak untuk kali ini. Karena tidak biasa dan tidak bisa memotong rambut. Apalagi memotong rambut Bapak. Mau tidak mau, dengan terpaksa aku menyanggupinya. Karena aku sudah menjawab “Nggih!” Meski dalam hati terus deg-degan.

“Mas Mahmudi iki ning ndi to!” Bapak yang pirso aku tengah grogi, langsung menghibur dengan candaannya yang khas.

“Dipotong sing pendek yo. Ojo nganti dadi dowo!” Aku pun hanya bisa menahan tawa. Sambil mbatin.

“Bapak, Bapak!”. Setelah peristiwa itu, teman-teman sebayaku banyak yang memintaku untuk memotong rambutnya.

Putra Bapak

MAS. Begitu aku dan puluhan santri lainnya biasa memanggil putra-putra Bapak. Memang terasa janggal. Bukannya njangkar. Tapi memang itu yang terujar. Panggilan itu membuatnya merasa nyaman. Aku pun terasa aman. Bukan orang lain. Seolah sebagai kakak-ku sendiri.

Mas Fuad seorang guru yang sabar. Mas Iton yang setia mengajakku bermain adu biji sawo kecik. Mas Uzi yang tak pernah bosan menasehatiku. Mas Isol yang mengajariku badminton dan pingpong. Mas Fahmi teman petak umpet-ku. Mba Fanny yang jarang ketemu.

Ah, bagitu banyak –dan masih banyak lagi– pengalaman serta kenanganku saat di Nurussalam.

Ketika Aku Hendak Menikah

Satu hal yang terus teringat. Ketika aku hendak menikah. Aku di-impeni Bapak. Beberapa hari setelahnya aku sowan. Memang sudah aku rencanakan sebelumnya. Saat sowan, Bapak gerah. Tapi Bapak berkenan menemuiku. Subhanallah..! Aku matur dan menceritakan rencana dan kegundahanku selama ini. Bapak menjawab singkat dan tegas.

“Iku tandane lawange wis dibuka. Nek nduwe niat apik, ndang lakonono!”.Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam.

Beberapa minggu jelang acara pernikahan. Kembali aku sowan Bapak, sembari menyampaikan undangan. Berharap Bapak bisa rawuh. Kondisi kesehatan Bapak saat itu semakin menurun. Bapak sedang istirahat berbaring di kamar.
Setelah meletakkan undangan, aku bergegas pamit. Pikirku, tak apalah tak bisa bertemu Bapak, yang penting kesehatan Bapak segera pulih.

Aku kaget. Saat hendak pamit, Bapak mios dari kamarnya. Aku langsung mencium tangan lembut yang penuh baluran doa itu. Lama sekali Bapak memegang dan membaca undangan warna biru itu. Aku hanya menunduk. Lagi-lagi, aku mbatin. “Bapak kok kerso nemoni wong kados kulo sing ndableg niki!”.

“Mugo-mugo acarane lancar.Mugo-mugo dadi wong sing opo anane. Ora lali karo dulur lan kanca-kancane. Ojo mandeg sinau. Ojo dumeh. Ojo gumedhe. Tetep dadi wong, nek iso dadi wong apik. Apik karo sopo wae, apik karo opo wae. Mugo-mugo berkah sekabehane!” Aku masih dan hanya menunduk saat Bapak ngendikan.

Setelah selesai, aku pamit pulang. Saat kedua tanganku memegang kursi untuk beranjak, tiba-tiba Bapak ngendikan lagi. Kali ini, aku lebih kaget lagi. Bapak ngendikan sambil menangis. “Ojo lungo, ning kene wae, ngancani aku!”

Spontan, aku pun ikut menangis. Aku cuma bisa tertunduk lemas. Cukup lama di ruangan itu tak ada suara. Hanya isak. Lalu aku menghela nafas panjang. Setelah sedikit tenang. Aku pamit. Sungkem, dan memeluk Bapak. Bapak hanya terdiam. Memang berat harus beranjak dari hadapan orang yang menyayangiku dengan ikhlas, mengajariku huruf demi huruf dengan penuh kesabaran.

Pelan-pelan aku menunduk dan perlahan mundur. “Assalamu’alaikum..!”

Rembang, 23 Oktober 2014

 

Redaksi

Redaksi

admin

536

Artikel