“Zainal adalah cagaknya langit. Selama dia masih hidup, kiamat gak ‘ngarah’ akan datang”.
Begitulah riwayat ngendiko KH. Ali Maksum saat mendeskripsikan KH. Zainal Abidin Munawwir. Tak bisa dipungkiri bahwa Mbah Zainal -begitulah akrabnya para santri menjuluki beliau- memiliki imej sebagai pribadi yang mumpuni, tidak neko-neko, dan sangat menjaga dirinya. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Mbah Zainal adalah sosok yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang murabbi, Mbah Zainal selalu menanamkan hal-hal yang substansial kepada santri-santrinya. Beliau dikenal sedikit dalam ngendikan, tapi selalu menonjolkan dalam haliyah-nya. Sebagai seorang pemikir, beliau termasuk orang yang progresif. Masyhur bahwa beliau adalah peletak dasar pendidikan tingkat Ma’had Aly di Pondok Pesantren Al-Munawwir, yang tercatat sebagai Ma’had Aly tertua kedua di Indonesia. Tak hanya itu, beliau sendirilah yang mendesain sistematika kurikulum Madrasah Salafiyah. Tak ketinggalan, sistematika kurikulum Ma’had Aly pun didesain hingga tuntas oleh beliau. Beliau membentuk Ma’had Aly dengan sistem modern tanpa meninggalkan aspek kesalafannya. Dalam kuliah perdana yang dilaksanakan setiap awal tahun ajaran baru, beliau selalu menyampaikan SKS muqayyad, mawad indadiyah, hingga mawad idhafiyah yang terangkum dalam al-kutub al-muqarrarah.
Mbah Zainal adalah sosok dengan tradisi literasi yang sangat kuat. Hal ini terlihat saat mengarang setiap kitabnya, beliau selalu mencoba model-model ta’lif (pengarangan) yang sedang berkembang. Sebagai contoh adalah penggunaan model ta’lif taqrirat –yaitu model tulisan dengan metode memberi komentar pada karya yang sudah ada– pada kitab al-Furuq yang banyak diambil dari kitab al-Asybah wa al-Nadzair dan penggunaan model ta’lif ikhtiyarat –yaitu model tulisan dengan metode pilihan, dalam hal ini pemilihan hadis–pada kitab al-Muqtathafat yang diambil dari kitab Faid Al-Qadir Syarh Jami’ al-Shaghir. Pada metode ikhtiyarat ini, Mbah Zainal menunjukkan kepiawaian beliau dalam memilih hadis yang dinilai memiliki nilai lebih sekaligus menghimpunnya dalam bentuk kitab karya beliau sendiri. Bukan hanya menggunakan metode-metode yang sudah ada, Mbah Zainal juga mengembangkan metode ta’lif yang beliau susun sendiri. Ini terlihat dari kitab karya beliau yang berjudul Wadzaif al-Muta’allim.
Beberapa mahakarya Mbah Zainal yang sudah dijadikan kitab setidaknya ada sepuluh. Pertama adalah kitab Wadzaif al-Muta’allim yang menjelaskan tentang tugas santri dalam perkara ngaji, baik sebelumnya maupun sesudahnya. Kedua adalah kitab al-Furuq, yang memaparkan berbagai perbedaan dalam hukum fiqih. Ketiga adalah Kitab al-Shiyam yang berisi tentang hal yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Keempat adalah Insya’ yang memuat tentang kaidah nahwu dan sharaf. Kelima adalah Tarikh al-Hadharah yang berisi tentang penjelasan al-awwaliyat (siapa dan apa saja yang pertama kali). Keenam adalah al-Muqtathafat yang berisi tentang hadis-hadis pilihan. Ketujuh adalah Majmu’ al-Rasail yang berisi catatan-catatan Mbah Zainal tentang masalah fiqih dan permasalahan-permasalahan lain. Kedelapan adalah Ahkam al-Fiqh yang berisikan tanya-jawab seputar fiqih. Kesembilan adalah Manasik Haji yang berisikan tata cara untuk melaksanakan haji dan umrah. Kesepuluh adalah Khutbah al-Jumu’ah yang berisi tentang catatan-catatan khutbah Jum’at Mbah Zainal yang disampaikan pada masyarakat.
Walaupun Mbah Zainal sudah sangat mahir dalam intelektual, beliau tidak menghentikan aspek mudzakarah-nya. Beliau tetap rajin belajar dan belajar. Tiada hari bagi beliau tanpa melakukan muthala’ah kitab dan mudzakarah. Rasa ingin tahu beliau pada ilmu begitu besar. Hal inilah yang mendasari beliau untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan muthala’ah. Dapat dirasa bahwa khidmah beliau terhadap ilmu sangatlah besar. Perilaku Mbah Zainal ini agaknya mengingatkan kita pada dhawuh yang dirujukkan terhadap Imam Syafi’i “Tanalul ‘ilmi bil mudzakarati wa naf’uhu bil khidmati (Cara memperoleh ilmu adalah dengan cara mudzakarah dan kemanfaatan ilmu dengan cara khidmah)”.
Mbah Zainal bukanlah sosok yang neko-neko. Hal ini terlihat dari kesederhanaan beliau dalam menjalani hidup. Beliau juga pribadi yang tidak suka menyia-nyiakan waktunya untuk berbicara sesuatu yang tidak dianggap penting. Kiranya bukan hal yang berlebihan jika Mbah Zainal disebut sebagai representasi dari maqalah “Lisanul Hal Afshahu min Lisanil Maqal”. Kepribadian seperti ini menurut penulis adalah salah satu ciri kepribadian orang yang mempunyai wawasan ilmu tinggi, yakni lebih suka untuk menunjukkan melalui keteladanan dan praktik konkret daripada melalui ucapan yang belum tentu diterima oleh semua orang.
Mbah Zainal di mata santrinya adalah sosok kurikulum berjalan. Beliau selalu membawa ilmu kapan pun dan dimana pun. Keberjalanan beliau pun menjadi ruh bagi santri-santrinya. Walaupun raga beliau tidak ada di samping kita semua, namun ilmu dan keteladanan beliau masih dan akan tetap abadi sehingga menumbuhkan cendekiawan-cendekiawan dari kalangan santrinya. Aamiin…
*sumber disarikan dari hasil catatan atas kegiatan Temu Alumni dan Sarasehan dalam rangka peringatan haul ke-8 KH. Zainal Abidin Munawwir
Penulis: Arina Al-Ayya