“Apakah kalian juga menyanyi?” Tanya Laura kepada kami selepas menyaksikan mahallul qiyam Maulid Diba’ di aula komplek Ribathul Qur’an wal Qiraah.
“Ya, kami juga menyanyikannya setiap Kamis malam. Ini semacam syair Islam.”
“That’s beautiful.” Ujar perempuan Spanyol itu.
Malam itu Kamis (27/7), Laura dan rombongannya diajak berkeliling melihat suasana dan bangunan-bangunan komplek di PP. Al Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sejumlah santri, termasuk saya dan seorang kawan santri putri, berkesempatan menyambut para tamu tersebut. Laura datang bersama tujuh orang lainnya sebagai delegasi dari Parlemen Eropa (European Parliament). Dalam kunjungannya selama sepuluh hari di Indonesia, mereka bertandang ke empat kota: Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Bali. Lawatan yang diprakarsai oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI ini merupakan bagian dari program Indonesian Interfaith Scholarship 2017. Para peserta yang berasal dari berbagai negara Uni-Eropa seperti Estonia, Polandia, Spanyol, Hungaria, Inggris dan Irlandia itu diajak mengenal kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Nasib Kebergama(a)n di Indonesia
Usai berkeliling pesantren, para tamu disilakan menikmati jamuan makan malam yang dilanjutkan dengan dialog. Menjadi pemandu dalam dialog tersebut anggota dewan pengasuh PP. Al-Munawwir Krapyak, Dr. KH. Hilmy Muhammad, M.A. dan alumni sekaligus Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Dr. Phil. Sahiron Syamsudin. Acara yang dihelat di Aula PP. Al-Munawwir Krapyak itu dihadiri pula oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag DIY, staf Kemenag RI, serta staf Kedutaan Besar Brussel.
Di mata dunia, Indonesia dikenal sebagai negara multikultur dengan toleransi yang tinggi. Namun belakangan, beragam isu intoleransi mengguncang Indonesia sehingga menimbulkan pertanyaan global, benarkah telah terjadi pergeseran di Indonesia? Kegelisahan tersebut menjadi pembuka dialog yang dilontarkan oleh para delegasi European Parliament.
Menjawab pertanyaan tersebut Dr. Phil. Sahiron Syamsudin menegaskan bahwa warga Indonesia hidup bersama secara damai di bawah Pancasila yang pluralistik. Secara legal-formal Indonesia mengakui enam agama. Di samping itu, ada pula kepercayaan-kepercayaan lokal yang dianut oleh sebagian masyarakat. Ada konflik-konflik yang terjadi, namun lebih banyak didorong oleh faktor ekonomi dan politik.
“Pancasila menyerupai Madinah Charter,” lanjut Sahiron. Di era Nabi Muhammad Saw, Madinah Charter dibuat sebagai pemersatu antara bermacam suku dan agama di Yastrib. Begitu pula dengan Pancasila, ada asas ketuhanan yang tunggal dan mewadahi beragam kepercayaan. Perbedaan tidak hanya eksis pada tataran agama, namun juga kelompok-kelompok dalam agama. “Dalam Islam, agama yang dianut mayoritas warga negara Indonesia, juga terdapat banyak organisasi,” ujar Sahiron. Ia menjelaskan, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menerima asas Pancasila sebagai ideologi negara.
Gerakan terorisme yang kerap diasosiasikan dengan kelompok Islam juga menjadi pertanyaan para delegasi. Mungkinkah suatu saat kecamuk perang dan serangan teroris akan melanda Indonesia sebagaimana di Timur Tengah? Sahiron mengatakan, terorisme dan radikalisme dikecam di Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa sebagian kecil kelompok garis keras menggunakan Islam untuk melakukan aksi teror dan tindakan intoleran. Namun, terorisme bukanlah Islam.
Islam Indonesia adalah Islam yang moderat. Penghormatan terhadap umat kepercayaan lain dirawat melalui kultur yang saling melebur. Sahiron memberi contoh, praktik sosial-keagamaan di Indonesia di antaranya adalah adalah bersama-sama mendoakan orang yang sudah meninggal atau mendoakan kandungan bayi berusia tujuh bulan. Dalam budaya pesantren, ada peringatan kematian tokoh agama secara tahunan yang disebut dengan haul. Peringatan ini diselenggarakan secara akbar dan inklusif, tidak menutup kemungkinan bagi orang-orang dengan agama yang berbeda untuk turut serta. Kultur-kultur ini merupakan kekhasan Islam moderat Indonesia yang tidak ditemui di negara-negara dengan penganut Islam lainnya.
Poin penting dari ciri Islam Indonesia adalah akulturasi budaya yang berhasil. “Ini lantaran kejeniusan ulama-ulama terdahulu,” tandas Sahiron. Para ulama yang menjadi pembawa ajaran Islam di Indonesia mendidik murid-muridnya dengan perantara budaya lokal. Kontekstualisasi ajaran dilakukan dengan mengambil budaya lokal yang relevan sebagai sumber hukum lokal, sesuai dengan kaidah al ‘adatu muhakkamah. Upaya ini tak pelak membuat Islam bersemi secara damai di Indonesia, tanpa perlu bersitegang dengan agama dan keyakinan lainnya.
Islam Moderat ala Pesantren
Di bawah NU, bernaung 30.000 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. PP. Al-Munawwir Krapyak merupakan salah satu pesantren tertua dan terbesar di Indonesia. Sejak pendiriannya di tahun 1911 hingga sekarang, telah banyak perkembangan dialami oleh pesantren yang memiliki konsen pada bidang tahfidzul qur’an ini.
“Di antaranya adalah penggabungan antara kurikulum madrasah dengan kurikulum nasional,” jelas Hilmy. Dengan kombinasi tersebut, tak hanya belajar ilmu agama dari kitab-kitab kuning, santri juga mendapat pelajaran seputar Pendidikan Kewarganegaraan dan Kewiraan. Oleh karenanya, nasionalisme dan multikulturalisme bukan merupakan barang asing lagi di pesantren.
“Bagi kami, Pancasila adalah ideologi yang sudah final,” terang Hilmy. Ia melanjutkan, sejarah perjuangan nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran ulama-ulama terdahulu. Semangat bela negara itu pun masih terus diwariskan hingga kini. Antara lain dengan menjaga agar kehidupan keberagamaan berlangsung damai. “Maka tak heran jika guru-guru di pesantren memiliki pandangan moderat terhadap Islam,” lanjut Kepala Madrasah Aliyah Ali Maksum tersebut.
Moderatisme tersebut diaplikasikan secara nyata di pesantren. Meskipun tidak ada pelajaran khusus mengenai agama-agama lain dikarenakan padatnya kegiatan, santri tidak dilarang untuk mengenal ragam agama dan keyakinan yang ada di sekitarnya.
Hilmy menjelaskan, tidak ada larangan bagi santri untuk pergi ke candi atau ke gereja. Sebagian santri yang sudah lulus sekolah menengah diberi ruang untuk mempelajarinya di kampus. Kesempatan untuk belajar di luar lingkup pesantren ini diakui menjadi upaya mencetak santri-santri yang berpikiran luas, mengakui serta menghormati eksistensi agama dan keyakinan lain.
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, tidak ada konflik keagamaan yang terjadi antara pesantren dengan masyarakat beragama lain di sekitarnya. Pesantren tidak memaksa warga sekitar yang beragama lain untuk menjadi muslim. “Kecuali jika ada yang menginginkan, bisa dididik,” ujar Hilmy.
Secara umum, hubungan keduanya berjalan baik dan seringkali pesantren dan masyarakat umum terlibat dalam kegiatan bersama. Menurut Hilmy, keberadaan pesantren justru memberi ‘berkah’ tersendiri bagi warga di sekitarnya. Hal ini di antaranya tampak dari munculnya potensi-potensi ekonomi akibat keberadaan santri yang mencapai jumlah ribuan. [Khalimatu Nisa]
