Membentuk Intelektual Ulama

Membentuk Intelektual Ulama

Oleh : KH Ali Maksum

Apabila kita berbicara masalah pendidikan di Indonesia, memang sedikit pun tidak bisa lepas dari kepesantrenan. Bukan saja karena pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang tertuta di Indonesia, tetapi juga karena pesantren itu mempunyai berbagai fungsi. Dan karenanya maka sesungguhnya sistem pesantren adalah sistem yang terbaik.

Pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan, mendidik kepribadian yang luhur dan menuntut pengalaman ilmu tersebut; pesantren tetap memimbing alumninya setelah pulang, kendatipun berada di tempat yang jauh.
Pesantren menjadi kekuatan spiritual, kubu pertahanan dakwah Islam. Pesantren menciptakan konsepsi, mendadar dan menguji konsepsi tersebut sekaligus memimpin operasionalnya; pesantren menanamkan jiwa yang militant dengan penuh disiplin.

Sudah barang tentu, fungsi-fungsi sebanyak itu sulit terkumpul menjadi satu pada lembaga pendidikan Islam selain pesantren. pemerintah sekalipun, dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam MTsN, MAN. Kami belum melihat di situ apa yang dimiliki pesantren.

baca juga : Urgensi Sikap dalam Perjuangan”

Berdasar itu semua, kami sangat menyesal, mengapa akhir-akhir ini para santri mengalami kesulitan masuk IAIN, padahal ketangkasan memahami kitab-kitab yang seluruhnya tersusun dalam bahasa Arab adalah kunci pokok guna meningkatkan mutu sarjana IAIN; dan kunci pokok yang satu-satunya ini pada umumnya telah dikantongi secara cukup oleh para santri. Setiap orang di Indonesia yang mahir dalam memahami kitab-kitab ulama salaf pasti dulunya dididik di pesantren.

Yang kami sesalkan di sini bukan makin sulitnya santri masuk IAIN itu sendiri, sebab bagi santri, bisa masuk IAIN ya syukur kalau ternyata tidak bisa ya tidak jadi soal. Toh santri selalu siap untuk segala-galanya, selalu mengawali usaha dari titik nol.

Tetapi yang kami sesalkan adalah mutu yang dihasilkan oleh IAIN itu. Jika Departemen Agama mengharapkan lahirnya mufasir, muhadis, ataupun mujtahid dari IAIN, maka setiap mahasiswa harus dibekali dengan berbagai ulumul qur’an (ilmu-ilmu Alquran termasuk ilmu tafsir, asbabun nuzul, dan sebagainya), ulumul hadis (ilmu-ilmu hadis termasuk ilmu makna hadis, ilmu riwayat hadis, dan sebagainya). Juga ilmu-ilmu lain sebagai bekal ijtihad (misalnya ushul fikih, ilmu bahasa Arab, sejarah, dan sebagainya). Lalu, mungkinkah mereka mampu memahami ilmu-ilmu sebanyak itu secara luas dan mendalam jika tidak memahami bahasa Arab, dalam arti seluas-luasnya (?) (termasuk; nahwu, balaghoh, syi’ir-syi’ir jahily, naqdul adab, dan sebagainya). Mungkinkah orang melakukan ijtihad hanya mengenal terjemahan fiqhus-sunah saja?

baca juga : NU, Ulama dan Umara”

Lebih memprihatinkan lagi adalah timbulnya sikap sk pandai di kalangan sarjana yang sebetulnya belum tahu apa-apa. Mereka bilang melakukan ijtihad, padahal ABC-nya Islam saja belum tahu; mengkritik Imam Syafi’I, Imam Ghazali, dan ulama-ulama lain, padahal membaca kitab karangannya belum bisa, bahkan melihat saja belum pernah. Akibatnya mereka akan sampai di “jurang kesesatan” yang penuh dengan “tebing kekeliruan”, karena tidak disinari dengan cahaya ilmu agama yang cukup. Akhirnya mereka merubah ajaran Islam sebagai suatu hidayah menjadi suatu sistem filsafat saja; mereka memahami agama tidak dengan tuntunan agama, akibatnya sampailah pada sekulerisasi.

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel