Almunawwir.com – Selesai sudah rangkaian acara Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara 2022 yang digelar di Pondok Pesantren Al-Munawwir pada Kamis (17/11). Acara ini meninggalkan kesan khusus, terutama bagi keluarga besar Al-Munawwir, selaku tuan rumah. Serangkaian acara tersebut termasuk di dalamnya tiga Panel Session; sesi pertama, kedua, dan ketiga.
Pada panel session 3 ini mengangkat tema Desain Kurikulum Wasathiyah Pendidikan Al-Qur’an, dengan menghadirkan tiga pemateri (16/11). Satu di antaranya, yaitu beliau Ibu Nyai Hj. Maftuhah Minan dari Pondok Pesantren Nurul Qur’an, Kajen. Beliau memiliki khas tersendiri dalam mendidik santri tahfidz dalam menghafal Al-Qur’an, sehingga bacaannya sangat fasih dan tartil. Hal tersebut bahkan dimulai ketika santri masih dalam usia dini.
Jadi dari awal, semua santri baru harus melalui tahsin bin nadzor sampai khatam, dalam arti disetorkan kepada guru atau pengurus boleh, tetapi di awal kali disetorkan ke pengasuh.
Terangnya.
Baca juga: Prof. Qurash Shihab Sampaikan Makna Wasathiyah Layaknya Sepak Bola
Beliau menambahkan bahwa setiap satu minggu sekali diadakan pembinaan tajwid. Ini karena kurangnya pemahaman para santri atau bahkan belum mengetahui bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Ketua Umum Pimpinan Pusat JMQH ini menerapkan standarisasi kelayakan bacaan Al-Qur’an bagi para santri untuk menuju kelas tahfidz, dari segi bacaan maupun lagunya (tartil). Standarisasi kelayakan ini harus di-pakem, di mana pun, baik di pondok maupun di kelas.
Walaupun dia (santri) ndak khatam ketika setoran, tetapi bacaannya sudah bagus dan cepet nyantol, maka dia akan naik.
Imbuh Nyai Maftuhah.
Selain itu, senior juga diberi jatah untuk menyimak para santri, setidaknya membutuhkan dua senior di tiap-tiap kelas. “Jadi, sebelum para santri setoran ke pengasuh, maka terlebih dahulu ke senior,” jelasnya.
Motivasi Ibu Nyai Maftuhah sebagai Penghafal Al-Qur’an
Banyak sekali barokah yang mengalir ketika mau belajar Al-Qur’an, semua akan dimudahkan, dilancarkan, dan dicukupkan oleh Allah Swt. di berbagai urusan.
Pokoke nek nduwe Qur’an, senajan ora nduwe opo-opo, iku rasane ati koyo nduwe opo-opo
begitu rumus yang dijadikan pegangan oleh Nyai Maftuhah.
(Pokoknya kalau punya Qur’an, meskipun tidak punya apa-apa, akan merasa punya segalanya)
Lebih lanjut disampaikan oleh beliau, dari abahnya, jika memang banyak sekali fadhoil–fadhoil dari para penghafal Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an itu pasti mberkahi.
Pokoke Qur’ane dirumati. InsyaAllah ora usah nyambut gawe, rezeki moro dewe
ceritanya
(Pokoknya Qur’an-nya dijaga, tidak usah bekerja pun rezeki akan datang sendiri)
Beliau mengajak untuk membaca Al-Qur’an tidak hanya ketika sempat saja. Tetapi, perlunya menjadikannya sebuah keharusan sebelum melangkah menuju kerjaan keduniawian. Artinya, Al-Qur’an adalah pegangan atau sesuatu yang memang dibutuhkan. Tidak perlu jimat apapun, asal membawa Al-Qur’an maka akan diliputi ketenangan dan keberkahan.
Baca juga: Regeneralisasi Metode Al-Qur’an Di Era Perkembangan Zaman
Terlepas dari itu semua, Ibu Nyai Maftuhah membagi tips, kapan sih waktu yang tepat untuk membaca Al-Qur’an? Beliau menjelaskan bahwa ketika membaca Al-Qur’an waktu yang tepat adalah jangan sampai lewat sebelum matahari terbit, dan jangan mengambil waktu untuk Al-Qur’an ketika sedang sibuk.
Hal ini dapat dibiasakan, misalnya sebelum melakukan aktivitas apapun, muqadimah dulu dengan membaca Al-Qur’an.
Harapan Ibu Nyai Maftuhah terkait Pelaksanaan Multaqa’ untuk Perkembangan Tahfidz di Indonesia
Saya itu seneng, bahagia sekali atas terlaksananya Multaqa. Selama ini di Indonesia tidak punya manajemen atau kurikulum yang jelas, baik di sekolah, pondok pesantren, dan berbagai jenjang, tetapi masing-masing punya ciri khasnya sendiri. Adanya Multaqa ini, yang sama-sama diharapkan adalah adanya perkembangan. Berfase-fase, misal memunculkan keseragaman kurikulum, mencetuskan bahwa hafidz/ah jangan malas, dan melahirkan program tafsir Al-Qur’an.
Ungkapnya
Pada program tafsir Al-Qur’an ini, Ibu Nyai Maftuhah menambahkan bahwa ada tahapan-tahapan untuk mencetuskan ide yang mudah diterapkan di mana pun Lembaga Pendidikan. Karena jika melihat fenomena hari ini, mayoritas hafidz/ah itu hanya sebatas datang-duduk manis-nderes-selesai-pulang.
Baca juga: Gus Baha: Pentingnya Mengaji dan Barokah Orang yang Tidur
Siklus itulah yang sampai saat ini masih saja terulang. Sehingga tidak ada ghiroh atau semangat yang kuat untuk meningkatkan kualitas ilmunya.
Beliau yang merupakan ketua umum JMQH, memaparkan beberapa program yang ada di dalamnya, seperti membaca Al-Qur’an dengan tartil, membuka kajian tafsir Al-Qur’an, dan program generasi muda yang disebut buah tahfidz, yang saat ini sedang beliau gaungkan.
Program buah tahfidz ini menghadirkan gagasan menarik, yaitu setiap keluarga yang anggota di dalamnya bergelar hafidzah, maka harus melahirkan satu generasi penghafal Al-Qur’an.