Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.A
Tidak sedikit perkara yang kita anggap sebagai hal yang wajar, umum, lumrah, biasa, sejak awal seperti itu. Contoh dalam konteks Alquran, bacaan riwayat Hafsh. Pada masa kini, hampir 85% dari masyarakat Muslim dunia membaca dengan riwayat itu, padahal dahulu di Mesir, Hijaz, Syam, Irak dan yang lain bacaan Hafsh tidak menjadi bacaan mayoritas. Bahkan Tafsir Jalalain yang dibaca di pesantren tidak ditulis berdasarkan riwayat Hafsh. Begitu juga soal titik di tulisan mushaf Alquran.
Mungkin sebaliknya, jika sekarang ada penerbit yang mencetak Alquran tanpa titik, ada yang komentar: (wah, ini penerbit yang mau menyesatkan umat Islam). Sejak awal ada pendapat dari beberapa sahabat yang tidak setuju jika tulisan mushaf Alquran ditambahkan titik, sebut saja Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar dari kalangan sahabat, dan Qatadah, Ibn Sirin dari kalangan Tabi’in.
(Kosongkan Alquran, jangan mencampurkan dengan hal yang bukan dari Alquran) seperti ini bunyi beberapa riwayat. Kekhawatiran mereka adalah: jangan sampai masyarakat nanti mengira bahwa titik-titik ini bagian asli dari Alquran. Kata Naqth di sini mencakup tanda-tanda ta’syir (diambil dari kata ‘asyarah/sepuluh, tanda untuk menunjukkan sepuluh ayat, karena ada riwayat yang menerangkan bahwa sahabat belajar Alquran sepuluh ayat, tidak pindah ke sepuluh ayat selanjutnya kecuali sudah paham dan mengamalkan sepuluh ayat pertama), nama surat, tanda harakat/syakal (I’rab).
Sedangkan ulama yang membolehkan menambahkan titik pada tulisan mushaf mengharuskan warna titik itu dituliskan dengan warna yang beda dengan warna tinta tulisan Alquran yang ditulis dengan tinta warna hitam, di antara warna yang umum digunakan untuk tanda-tanda lain adalah merah, kuning, dan hijau.
Penambahan titik sebagai tanda harakat/syakal (fathah, kasrah, dahmmah dan lainnya) dikarenakan banyak orang yang salah dalam membaca Alquran, khususnya harakat I’rab di akhir kata.
Bentuk titik ini akan mengalami perubahan seperti yang dijelaskan di pertemuan lalu. Sehingga mushaf yang kita baca sekarang, tulisan ayat Alquran, titik pembeda huruf yang bentuk tulisannya sama (naqth al-‘ijam), syakal/harakat (naqth al-I’rab), tanda waqaf dan lainnya semua ditulis dengan tinta warna hitam. Alhamdulillah tidak ada yang protes meminta harus dicetak sesuai model tulisan generasi ulama salaf, titik warna-warni.
Wallahu A’lam