Pengembaraan Dakwah bil Qur’an KH M Moenawwir

Pengembaraan Dakwah bil Qur’an KH M Moenawwir
Gerbang lama Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
Gerbang lama Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta

Setelah menempa pendidikan di beberapa kiai di daerah Jawa dan Madura, seperti: KH Abdullah, Bantul, KH Kholil Bangkalan, KH Sholih Ndarat, KH Abdurrrahman Watucongol, KH Moenawwir muda melanjutkan jihad keilmuannya ke negeri Arab Saudi pada tahun 1888 M, tepatnya di kota Mekah dan Madinah.

Di kedua kota itu beliau belajar keilmuan Al-Qur’an beserta cabang-cabangnya, baik Tahfiz, Tafsir, dan Qiroah pada syaikh-syaikh mashur yang mayoritas pernah menyandang gelar sebagai Imam Besar Masjidil Haram, seperti: Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Saikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Sayikh Abdus Sakur, Syaikh Mushthofa, dan Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Perjalanan jihad keilmuan yang beliau jalani di kedua kota tersebut, kurang lebih ditempuh selama 21 tahun.[i]

Setelah mengembara dalam misi pemenuhan hasrat keilmuannya, beliau kembali ke Tanah Air dengan membawa misi “memasyarakatkan Al-Qur’an dan meng-qurankan masyarakat”.[ii] Berpegang pada misi tersebut, pada tahun 1911 M, beliau mendirikan pesantren di daerah Krapyak, Yogyakarta. Karena berpijak di bumi Krapyak, pesantren itu kemudian dinamai dengan “Pesantren Krapyak”. Belakangan, pada tahun 1976 oleh KH Ali Ma’shum (pengasuh saat itu) nama Pesantren Krapyak berubah dengan penambahan “Al Munawwir” sebagai wujud penghormatan kepada pendirinya, yakni KH M. Moenawwir.

Perlu diketahui, sebelum pesantren berdiri, konstruksi sosio-kultural masyarakat sekitar masih terbilang riskan. Selain disebabkan lingkungan sekitar yang masih dirimbuni pepohonan dan hewan liar sebab hutan belantara yang mengakibatkan jenis peradaban yang cenderung primitif dan dalam cara pandang moralitas dikatakan dengan istilah; cacat nilai.

Kondisi Islam pada saat itu pun belum begitu mengental. Tradisi-tradisi keagamaan berbasis pesantren seperti tahlil, istighosah, dan shalawatan masih sangat jarang. Di samping sebagian dari masyarakat Krapyak masih asing dengan Islam, apa lagi mendengar lantunan orang membaca Al-Qur’an. Lingkar perjudian, minuman keras menjadi pemandangan degradatif masyarakat Krapyak. Sebelum KH Moenawwir datang, dan lantas tercium aroma perubahan sosial yang signifikan.

Melihat kondisi sosial masyarakat yang demikian, KH Moenawwir mencoba menyadarkan masyarakat dengan dakwah bil qur’an-nya secara aspiratif dan demokratis. Selain mengajarkan Al-Qur’an kepada para santri, strategi yang dipakai oleh beliau dalam memasyarakatkan Al-Qur’an adalah dengan mengadakan majlis-majlis pengajaran Al-Qur’an yang dikhususkan bagi masyarakat sekitar Krapyak.

Baca Juga: Sekilas Tentang KH Abdul Qodir Munawwir

Pengajian Al-Qur’an ini bertujuan untuk mengenalkan cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar kepada khalayak. Bahkan, tidak jarang, ia menyempatkan waktunya sekedar untuk mengunjungi rumah kediaman masyarakat yang pengin belajar Al-Qur’an kepadanya.

Fan keilmuan KH Moenawwir adalah penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat umum sebagai bentuk pengabdian ilmunya.

Selain itu, sanad keilmuan beliau dalam fan Al-Qur’an sampai kepada Rasulullah saw., hal ini mengindikasikan jika sanad Al-Qur’an Pesantren Krapyak termasuk sebagai sanad Al-Qur’an tertua di Indonesia, selain mendapat predikat sebagai pesantren Al-Qur’an tertua di Indonesia.

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, Pondok Pesantren Al Munawwir tidak lagi menghkhususkan pada bidang Al-Qur’an saja, melainkan merambah ke bidang ilmu-ilmu lain khususnya pendalaman kitab kuning.[iii]

Selain aktif dalam mendidik para santrinya, sebagai trah keturunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KH Moenawwir juga diangkat sebagai penghulu di Keraton. Peran tersebut diemban beliau hingga wafat.[iv]

Sepeninggal KH M Moenawwir, Pesantren Krapyak kemudian mengalami dinamika yang sedikit banyak mengubah kurikulum pendidikan dan norma aturan yang diterapkan di sana. Seperti pengajaran yang mulanya dikhususkan dalam pengajaran Al-Qur’an, belakangan diimbuhi dengan pengajaran kitab kuning dan ekstrakulikuler yang memfokuskan pada pengembangan potensi kemandirian santri.

Meski terjadi dinamika, akan tetapi perubahan demi perubahan yang terjadi di pesantren sedikit banyak tetap dipengaruhi oleh prerogratif kiai sebagai broker budaya (cultural brokers) menggambarkan peran sebagai peneliti, penyaring, assimilator terhadap aspek-aspek yang datang dari luar dunia pesantren, dari awal perkembangannya sampai saat ini sehingga mampu memasukkan nilai-nilai baru, mengawinkannya dengan tanpa merubah nilai-nilai lama yang telah berjalan.[v]

Sehingga posisi kiai sangat berpengaruh dalam proses perubahan sosial pesantren. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai dinamika perubahan Pondok Pesantren Al Munawwir, berikut penulis sebutkan periodesasi kepengasuhan pondok pesantren:

  • Periode K.H.M. Moenawwir (1910 M – 1942 M)
  • Periode K.H.A. Affandi, K.H.R. Abdul Qodir, K.H. Ali Ma’shum (1942 M – 1968 M)
  • Periode K.H. Ali Ma’shum (1968 M – 1989 M) Periode K.H. Zainal Abidin Munawwir (1989 M – 2014 M)
  • Periode K.H.R.M. Najib Abdul Qodir (2014 M – Sekarang)

 

[i] Djunaidi A. Syakur, dkk., “Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta” (Yogyakarta: Almunawwir Press, 2001)

[ii] Ungkapan ini kembali dipopulerkan oleh cucu beliau KH.R. Abdul Hafidz Abdul Qodir  di setiap ceramahnya.

[iii] Djunaidi A. Syakur, dkk., “Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta” (Yogyakarta: Almunawwir Press, 2001), hlm. 4

[iv] Djunaidi A. Syakur, dkk., “Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta” (Yogyakarta: Almunawwir Press, 2001), hlm. 10

[v] Chumaidi Syarif Romas, Kekerasan Di Kerajaan Surgawi: Gagasan Kekuasaan Kyai, Dari Mitos Wali Hingga Broker Budaya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003) hlm. 10

Afrizal Qosim

Afrizal Qosim

AfrizalQosim

22

Artikel