Pesan Kiai Ali Maksum Agar Umat Islam Tidak Perlu Memperuncing Perkara Khilafiyah

Pesan Kiai Ali Maksum Agar Umat Islam Tidak Perlu Memperuncing Perkara Khilafiyah

 

Oleh: Muhammad Ainun Na’im*

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional harus diakui dalam sejarah bangsa tidak lepas dari peran serta kontribusinya dalam mengelola warisan tradisi salafi dan budaya lokal. Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari peranan seorang kiai atau pemimpin pesantren.

Dalam dunia pesantren kiai memiliki porsi pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan santrinya. Nasihat kiai kadang dijadikan doktrin dalam tindak tanduk santrinya, bahkan ketika dia tidak lagi tinggal di pesantren. Hal ini tidak lepas dari prinsip yang mengakar kuat tentang esensi ta’dim (taat) kepada kiai untuk memperoleh kemanfaatan ilmu.

KH Ali Maksum atau dikenal dengan sapaan Kiai Ali adalah pengasuh pondok pesantren yang mashur di Indonesia khususnya di Yogyakarta yaitu Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Beliau dikenal sebagai salah satu penggagas sistem pendidikan dengan model madrasi atau madrasah. Ketokohan penting Kiai Ali lainnya adalah terpilihnya dalam struktur kepemimpinan tertinggi NU, yaitu sebagai Rais ‘Am keempat setelah Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbulloh, KH. Bisri Syansuri. Kiai Ali terpilih sebagai Rais ‘Am (1980-1984) pada Munas NU pertama di Kaliurang.

Sebagai seorang ulama, pemimpin pondok pesantren dan sebagai pimpinan tertinggi dalam jajaran kepengurusan NU di Indonesia kala itu, tentu Kiai Ali dihadapkan dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan keagamaan. Hal tersebut mendorong beliau untuk memberikan pandangannya sebagai bentuk solusi atas persoalan tersebut, salah satunya adalah gagasan tentang ukhuwah atau persaudaraan.

Dalam berbagai kesempatan Kiai Ali memberikan pandangannya tentang kerukunan umat beragama yang dituangkan dalam konsep Ukhuwah Islamiyyah. Beliau berpendapat bahwa konsep ukhuwah sebenarnya telah diajarkan dalam Alquran. Menurut beliau “sesama mukmin itu bersaudara” dan juga memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana persaudaraan itu harus dibina. Buah dari persaudaraan nantinya adalah ishlah (perdamaian).

Selain itu, Kiai Ali juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan ishlah diperlukan adanya unsur kompromi atau akomodatif, tidak keras kepala menggunakan nalar logikanya sendiri. Usaha untuk mendamaikan (ishlah) menentukan tingkat ketakwaan dan rahmat seseorang atau kelompok. Hal tersebut merupakan cara untuk mewujudkan ukhuwah itu sendiri.

Masalah ukhuwah menurut Kiai Ali masih menjadi krisis besar di kalangan umat Islam. Beliau menyatakan bahwa seharusnya umat Islam mencari tentang sebab-sebab yang menjadikan berselisih paham, yaitu dengan mencari sumber konfliknya, bukannya malah mencari “perbedaan” yang justru akan memperuncing permasalahan.

Menurut Kiai Ali akar penyebab dari perselisihan tersebut adalah perbedaan dalam memahami sebagian ajaran Islam. Lebih pokok lagi Kiai Ali menandaskan bahwa perbedaan yang muncul sebagai akibat dari pemahaman yang berbeda tentang syariat Islam, sehingga dengan perbedaan ini memunculkan perbedaan-perbedaan lain yang semakin kompleks.

Perbedaan dalam memahami syariat, seharusnya tidak diiringi dengan rasa benar sendiri dan menyalahkan kelompok lain selama pemahaman tersebut memiliki dasar pijakan syar’i, justru perlunya menyadari akan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Istilah ukhuwah menurut beliau bukanlah hanya menggemborkan slogan “bersaudara”, lebih dari itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bahkan dari aspek filosofisnya. Upaya-upaya untuk memperkecil persolan khilafiyah perlu untuk terus diusahakan.

Dalam forum ukhuwah yang diselenggarakan di Yogyakarta oleh Panitia Penyambutan Abad XV H pada tanggal 11 Desember 1980 di Gedung PDHI Sasonoworo, Alun-Alun Utara Yogyakarta, Kiai Ali menyampaikan gagasannya tentang ukhuwah di hadapan 60 tokoh yang mayoritas dari ormas Muhammadiyah. Beliau berargumen bahwa “masalah mempersatukan umat adalah masalah besar, merupakan program raksasa. Namun,  kita tidak boleh mundur, harus kita hadapi dengan jiwa besar pula.”

Beliau juga menyatakan faktor dominan yang menyebabkan perpecahan adalah sikap apriori, ekstrim buta, gegabah dalam menentukan hukum agama, picik dalam berpikir, penggunaan akal tanpa menurut dasar hukum agama, dan ada pihak-pihak yang memanfaatkan perpecahan tersebut. Selain itu penyebab perpecahan dari segi sosial adanya sikap suka menjilat.

Solusi atas realitas tersebut menurut beliau adalah Pertama, umat Islam tidaklah perlu memperuncing masalah khilafiyah. Sebagai contoh indikasinya yaitu dengan memberikan keterangan sepihak kepada golongan tertentu. Seseorang harus bersikap objektif, bijaksana, ilmiah, dan mengetahui dasar-dasar yang dijadikan pegangan oleh kelompok tertentu.

Kedua, agar umat Islam terutama tokoh-tokohnya meninggalkan perbuatan atau ucapan yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas. Ketiga, kelompok-kelompok umat Islam agar berjiwa besar, yakni sanggup mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya, dan memperlakukan sebagaimana mestinya. Keempat, agar umat Islam memperluas cakrawala ilmiah.

Selanjutnya Kiai Ali menyatakan bahwa umat Islam harus menghilangkan sikap kaku terhadap agama lain. Lebih dari itu umat Islam harus dapat berakomodasi dengan pihak-pihak lain. Namun bertolak belakang dari sikap tersebut Kiai Ali sangat bersikap tegas tentang segala bentuk perilaku yang mengganggu ketentuan dasar dalam berakidah Islam. Beliau sangat menjunjung tinggi dan memperjuangkan akidah  Islam.

Beliau menegaskan “…inilah yang dinamakan idealisme sejati, tidak kompromi dengan hal-hal yang bathil…” dalam hal ini merujuk pada konteks sejarah Islam pada kehidupan Rasulullah tentang ajakan kaum kafir untuk menyembah berhala. Selain itu Kiai Ali juga melihat sejarah perjuangan Imam Syafi’i, Hambali dan Maliki yang tetap mempertahankan idealismenya meskipun terdapat berbagai rintangan dalam perjuangannya. (nm)

*Santri komplek Nurussalam Putra, naskah tulisan ini pernah disampaikan dalam MPSN 2019, Jakarta

(Sumber Utama: K.H. Ali Ma’shum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya dan Ajakan Suci)

Muhammad 'Ainun Na'iim

Muhammad 'Ainun Na'iim

MuhammadNa'iim

14

Artikel