Renungan Ramadan: Ketika Ali bin Abi Thalib Berdagang dengan Tuhan

Renungan Ramadan: Ketika Ali bin Abi Thalib Berdagang dengan Tuhan

Almunawwir.com – Suatu senja di bulan Ramadan, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain bersama-sama sedang berkumpul di rumah untuk menanti waktu berbuka. Mendadak al-Haris mengetuk pintu, merajuk mengutarakan maksud kedatangannya sembari mengisahkan kondisi perutnya yang belum kemasukan apa-apa selama dua hari. Rajukan itu berujung pada harapan untuk ikut buka bersama keluarga itu. Padahal, keluarga itu pun “belum” mempunyai apa-apa.

Usai mendengar kisah al-Haris, Ali dan Fatimah bersipandang. Belas kasih tidak mengukur keterbatasan keluarga itu hingga akhirnya Fatimah memberikan selembar kain—hadiah dari ayahandanya yang semula dipakai untuk berlebaran—kepada Ali untuk dijual. Hasil penjualan kain itu nantinya dirupakan kurma dan roti buat santapan buka bersama keluarga.

Segera Ali mendatangi sebuah pasar dan menjajakan kain itu. Tak berselang lama, kain itu laku dengan harga enam dirham. Belum juga membelikan roti, Ali didatangi fakir miskin yang meminta sedekah. Ali yang merasa kasihan, lalu memberikan enam dirham tersebut kepada sang fakir yang meminta sedekah.

Ali pun memutuskan tetap pulang meski dengan tangan kosong sembari mereka-reka jawaban untuk Fatimah, sang istri tercinta. Berada di ujung pengharapan yang memilukan, secara tiba-tiba—entah dari mana—muncul seseorang dengan seekor unta mencegat Ali. Dia menawarkan untanya itu seharga seratus dirham. Tetapi, mana mungkin Ali membelinya?

Orang itu pun memberikan alternatif, “Karena saya tidak bisa melakukan perjalanan lagi, tolong jualkan unta saya dengan harga berapa saja. Yang jelas, saya nanti meminta seratus dirham.”

Sekali lagi, karena kasihan dan mengharap keuntungan, Ali pun menyanggupi dan berangkat juga. Blok demi blok dia lalui. Di tengah perjalanan, dia dicegat seseorang. Dia langsung menawar unta yang dituntun Ali. Kemuadian orang itu menawar seratus enam puluh dirham. Tanpa ayal, langsung disetujui oleh Ali dan jual beli pun berlangsung.

Baca Juga: Renungan Ramadhan: Orang-Orang Rakus

Ali pun bergegas menemui pemilik unta dan memberikan hasil penjualan senilai seratus enam puluh dirham. Akan tetapi, sang pemilik unta hanya mengambil seratus dirham. Sesuai akad pertolongan di awal. Sedangkan sisanya, diberikan kepada Ali.

Lalu Ali menempuh perjalanan pulang dengan ‘sangu’ enam puluh dirham. Setibanya di rumah, uang itu diserahkan kepada Fatimah, sembari berkata, “Saya telah berdagang dengan Allah. Kain kamu laku enam dirham, tetapi saya sedekahkan kepada fakir peminta-minta. Dan, Allah mengganti dengan kelipatan sepuluh. Enam puluh dirham!”

Dari kisah diatas dapat kita petik hikmahnya, bahwa kebaikan sekecil apapun yang ditujukan guna untuk menolong sesama memiliki ganjaran yang tak ternilai. Selain itu, memberikan arti hidup bahwa di dalam rezeki yang kita peroleh terdapat sebagian rezeki milik orang lain. Lantas, bangunan kedekatan emosional yang tersusun atas perasaan tersebut membuat kita mengerti masing-masing kebutuhan sekaligus mengerti tanggapan orang lain terhadap kita. Migunani lan tumrepang marang liyan.

*diolah dari kitab Mawaidh Ushfuriyyah.

Afrizal Qosim

Afrizal Qosim

AfrizalQosim

22

Artikel