Sebelum Tahun 1985 Ponpes Krapyak adalah Pesantren khusus laki-laki, kecuali Komplek Nurussalam yang diasuh oleh Mbah KH. Dalhar Munawwir.
Saat itu kemanapun anda memandang, yang nampak di sudut Pesantren hanyalah Makhluk ‘Pecisan’ dan ‘Sarungan’, yang kadang-kadang ‘ora celonoan’ atau tidak pakai celana. Bahkan kalau ada makhluk berkerudung masuk Pesantren. Tanpa dikomando akan terdengar suara; Suit…Suiiit… Paket… Pakeeeet… Suara itu saling bersautan dengan sangat nyaring.
Waktu itu sempat aku berfikir, “Kenapa kok tidak menerima Santri Putri ya?. Terutama Madrasah Tsanawiyah dan Aliyahnya yang menurutku, kecuali telah tersohor, juga mempunyai SDM yang lebih dari cukup. Pengasuhnya pun ‘alim-‘allamah. Ustadz dan Gurunya sama halnya, sama-sama ‘alim-‘allamah (kecuali yang nulis ini, dari dulu ilmunya cuma segitu).
Akan tetapi bila bicara tentang Pendidikan Anak, bukankah kelak seorang Ibulah yang akan menjadi “Madrosatul Ula” , tempat belajar pertama bagi Anak!.
Secara diam-diam, gagasan ide untuk menerima “Santri Putri” itu aku lontarkan kepada beberapa teman Ustadz. Tapi tidak ada yang berani merespon. Nihil.
Akupun memakluminya, karena masalah itu adalah kewenangan dari pemegang otoritas Pesantren yaitu Kiai dan Ahlen. Lagi pula, pada saat itu, sudah ada Pondok Putri tapi belum ada Madrasah Tsanawiyahnya.
Dalam diri, aku memegang pegangan atau motto hidup, gagasan yang positif harus bisa direalisasikan dengan usaha yang maksimal , dengan catatan kecuali Allah Swt menghendaki lain.
Akhirnya, kuberanikan diri untuk sowan menghadap ke Mbah Ali Maksum (Allahu Yarham). Menyampaikan wacana tersebut. Dengan harapan beliau menyambut dengan baik. Tapi apa jawab beliau? Ya, Beliau hanya menjawab :“Terserah kamu.”
Lantas saja, jawaban itu aku anggap sebagai Green Light. Sesegera mungkin aku buat Spanduk dengan uang hasil honorku mengajar. Sengataj aku pasang di area jalan depan Pesantren (seingatku yang bantu pasang Pak Tamam Hasyim Cs). Berharap seluruh elemen pesantren membacanya, terutama Mbah Kiai Dalhar Munawwir, Allahu Yarham.
Bunyi spanduk itu demikian; “Madrasah Tsanawiyah Krapyak siap menerima Santri Putri.”
Selain spanduk, Ikhtiar lain yang aku lakukan adalah; aku setengah mengancam kepada Pak Suhaimi Gresik (Cak Kemi) untuk mencari calon santri dari daerahnya. Dan Alhamdulillah, berkat perjuangan Cak Kemi Beliau mendapatkan 6 calon santri putri (Fadhilah, Nurlaila dkk).
Sementara itu belum ada kamar santri putri. Sehingga mereka aku titipkan di Ndalem Bu Nyai Badri (Ibunya Pak Muhtarom Busyro).
—
Ketika hari pertama mau masuk sekolah aku galau karena jumlah santri putri yang cuma sedikit. Ditambah lagi dengan tempatnya yang agak terpencil, yakni memakai komplek Diniyah. Serasa mereka sangat terkucilkan. Aku khawatir dengan enam santri putri itu, bila mereka nggak kerasan, merasa menjadi “Kelinci Percobaan”. Mengantisipasi kekhawatiran tersebut, aku berinisiatif; sementara untuk ruang belajar, mau saya gabung dengan santri putra.
Wacana penggabungan antara santri putra dengan putri ini, kepada semua yang kumintai pendapat, malah angkat tangan. Dengan alasan yang hampir sama; tidak berani ambil resiko, terutama tanggung jawab moral kepada para Kiai Sepuh. Sebab kemungkinan akan dianggap tabu, haram dan lain sebagainya.
Akhirnya karena didesak waktu dan harus ada keputusan. Aku nekat sowan lagi ke Mbah Ali Maksum untuk meminta pendapat tentang permasalahan tersebut.
Begitu sowan menghadap Beliau, belum sempat matur aku ditanya duluan:” Santrimu cewek dapat berapa?” Langsung kujawab :”Enam Kyai.”.
Tanpa kuduga beliau langsung ngendiko :”Kasihan itu kalau dijadikan sekelas. Gabung, campur saja dengan santri putra untuk sementara. Haadza.. Qod yubaaghu lilkhaajah (ini asli kalimat Beliau) ini diperbolehkan karena hajat kebutuhan.”
Allohu Akbar… hatiku bergetar, bibirku ndak bisa ngomong seolah-olah Mbah Ali sudah ma’rifat pada problemku. Langsung pamit kucium tangan Beliau yang harum.
Hari pertama masuk, Alhamdulillah santri putra dan putri dalam satu kelas terasa gayeng dan ada tanda-tanda kehidupan. Proses belajar mengajar berjalan dengan lancar.
Tapi ceritanya jadi berbeda, ketika hendak Akhirussanah; tutup tahun. Secara diam-diam enam santri putri PIONIR itu dilatih Samroh Qosidahan oleh Cak Muiz (KH Abdul Muiz Haidar, Pengasuh Ponpes Sukamiskin Bandung), dan dijanjikan akan tampil di Panggung Akhirussanah yang bertempat di depan Ndalem Mbah Kiai Zaenal, yang sangat kuhormati. Beliau juga begitu hati-hati dalam permasalahan Fiqih.
Ributlah para Guru dengan komentarnya masing-masing. Ntah itu tabulah. Haram Mugholladhoh. Karena hanya satu faktor, yakni belum pernah ada di halaman Pesantren yang sakral itu perempuan bermain Qosidah terus dilihat lawan jenisnya, bahkan nanti akan dirawuhi para Kiai.
Berita “Penolakan” ini, tak disangka, sampai ke telinga enam Santri yang semangat mau Tampil itu. Langsung mereka bereaksi; MOGOK mau BOYONG pulang ke kampungnya dan tidak akan kembali ke Pesantren. Sempat aku tengok kamar mereka, ternyata benar, masing-masing sudah pada mengemasi barang ke dalam koper.
Melihat peristiwa itu, aku ketularan bingung bin mumet. Dalam kebingungan itu, tetiba ada info bahwa Mbah Zainal akan memberikan izin. Alhasil, Enam Cewek: Manja Group dari Gresik bisa tampil.
Kemudian aku beranikan diri sowan Mbah Zaenal. Aku , maaf, “Ngapusi” Beliau dalam rangka meminta izin bila nanti pas waktu akhirussanah ada santri putri yang mau naik panggung untuk menerima hadiah “dan lain-lain”. Yang kumaksud dengan “dan lain-lain” adalah Qosidahan Cewek.
Beliaupun mengangguk sambil memandang panggung yang ada di depan Ndalem Beliau.
:”Yah… Nggak masalah, cuma nanti di panggung dikasih Pot Bunga atau apa gitu'”. Pesan Beliau.
Aku langsung nyauti: “Nggih bila perlu nanti pas santri putri naik panggung, lampu saya matikan!”.
Mbah Zaenal menimpal :”Ya jangan gitu. Yang penting tidak menyolok!”
Terasa legah. Langsung aku pamit kucium dalam-dalam asto Mbah Zaenal.
Kabar itu, langsung aku sampaikan kepada enam santri cewek itu. Mereka girang bukan kepalang. Konon kabar mereka malam hari itu tampil luar biasa (aku tidak nonton, pergi dari rumah karena nggak tega melihat apa yang terjadi). Sebab belum pernah ada tontonan seperti itu dalam sejarah Pesantren Krapyak.
Makanya semenjak itu sampai saat menulis ini. Kalau ada undangan Akhirussanah Putri aku tidak pernah datang. Sebab trauma.
Setahun kemudian aku sowan Mbah Zaenal, Syawalan di Ndalem untuk minta Do’a dan maaf lahir batin. Aku cengar cengir ketika Beliau ngendiko : “Yoo tak maafkan dosa salahmu termasuk ketika kamu menipu aku tentang santri putri Qosidahan dulu!”
Allohummaghfir lahu… Warkhamhu….
Tanbiihun/Peringatan : Jika enam cewek; Manja Grup termasuk Cak Kemi dan Pak Muhtarom Busyro membaca tulisan ini. Segera hubungi aku. Kalianlah Pionir adanya Santri Putri di MTS dan MA Ali Maksum Krapyak. Semuanya akan aku kasih hadiah Sepeda, tapi aku tak minta dulu sama Pak Jokowi.
Krapyak 12 Agustus 2017.
(Tulisan dari Pak Kiai Henry Sutopo. Copas dari group SKP – Santri Krapyak Peduli)
Editor : Afrizal
