Cerpen Ramadhan: Kutukan 135 Arwah

Cerpen Ramadhan: Kutukan 135 Arwah

Almunawwir.com – PUASA MEMBUAT MANUSIA rela tenggelam dalam hiruk-pikuk jalanan ketika langit justru sedang enak-enaknya dipandang. Alasan utamanya adalah rasa lapar seharian yang menyuarakan dengung keroncong di perut, menuntut hak untuk sesegera mungkin dikenyangkan.

Jalanan yang semula sepi, kini menjadi lapangan utama bagi para pemain-pemainnya: penjaja sempol, batagor, darlung, pentol sampai es oyen.

Ilustrasi: dokumen pribadi

Tumpukan sampah tak dapat dihindarkan. Barang yang terkenal tak berguna dan tengik itu menjadi penyambung nyawa utama bagi sepasang pemulung Kuncoro dan Deva.

Pekerjaan Kuncoro dimulai setelahnya. Segumul manusia itu bubar ketika pengeras suara mengeluarkan suara azan. Kuncoro mulai menjumputi satu persatu sampah untuk dimasukkan ke mulut karung.

Baca juga:

Ia membiarkan Deva yang dibuat sibuk oleh barang yang baru saja ditemukannya: koran bekas kacang rebus.

Pengalaman memulung membuat Kuncoro tak lama-lama bersikotor dengan sampah. Segera setelah menyetor sampah pada juragan dan mendapat upah. Ia sudah dapat ditemukan di burjo dekat kompleknya dengan kopi hitam panas, bersama Deva dengan es teh manis. Sementara Deva masih sibuk memelototi koran ketika Kuncoro menyulut kreteknya.

Didasari rasa penasaran, Kuncoro mencuri pandang ke koran Deva. Tampak di sana gambar yang paling besar: pria tua botak mengenakan setelan jas yang mukanya. Menurut Kuncoro, sama sekali bukan muka orang Kulonprogo.

Di bawahnya, kali ini lebih kecil, gambar sekumpulan remaja menampilkan raut sedih, dengan mengenakan seragam bola berwarna merah. Sedang di kiri-kanannya, terdapat dua bendera yang, hemat Kuncoro, bukanlah bendera negaranya.

“Pa, mengapa anak-anak ini sedih?” Deva menunjukkan koran pada bapaknya.

Kuncoro menghela napas, kecewa pada dirinya sendiri yang buta huruf. Namun demi harga diri di hadapan semata wayangnya, ia ambil koran itu dan bersiap menebaknya. Ia tampilkan lagak seorang pembaca ulung.

Berkali-kali ia membasahi telunjuknya dengan mendaratkannya di lidah yang menjulur sedikit berlebihan, bersamaan dengan membolak-balik kertas koran setengah yakin.

Air keringat mulai mengucuri pelipisnya, sebuah reaksi alami tubuh untuk menghibur otak yang mulai panas.

“Oh, ini… Lihatlah, anak-anak muda ini sedih karena sepakbola sementara diliburkan lantaran bulan puasa, Nak”

“Lalu paman tua itu siapa? Wajahnya jahat.”

Baca juga:

“Eh, kau tak boleh menilai seseorang dari tampilannya,” Kuncoro lanjut mengarang. “Paman tua ini adalah orang baik, dia adalah donatur pertandingan sepakbola ini. Tanpa paman itu, pertandingan tak akan berjalan sebab tak ada uangnya”

“Donatur itu apa?”

“Donatur itu pemberi uang”

“Oh, seperti Om Ganjar?” Deva menyebut nama calon lurah yang kebetulan kemarin blusukan ke kompleknya.

“Ya, seperti Om Ganjar”

“Wah, keren sekali paman tua!”  Kuncoro lanjut pura-pura membaca.

“Lalu ini gambar apa, Pa?” telunjuk mungil Deva menunjuk bendera Israel dan Palestina secara bergantian.

“Itu adalah lambang tim yang akan bertanding,” mungkin, tambah Kuncoro dalam hati.

Setelah merasa tak ada yang mau ditanyakan lagi, Deva menarik koran dari bapaknya dan kembali menenggelamkan diri dalam gambar-gambar. Kuncoro lanjut bersantai.

Ia meraih kretek baru, mengapitnya dengan jari telunjuk dan jempol, kemudian memantiknya.

Tak lama kemudian Hamyah datang. Ia adalah tetangga Kuncoro, pemulung termuda setelah Deva di Komplek Pemulung Pengasih Wates. Pemuda itu langsung duduk di samping Kuncoro, memesan nasi telur dan es teh.

Baca juga:

Dilihat dari wajahnya yang sumringah dan penuh gairah, Hamyah sepertinya menyetorkan banyak sampah hari ini.

“Kau tampak bahagia, Ham. Berapa kilo hari ini?”

“Cukup, Bang,” Hamyah senang ia ditanya.

“Tapi sebenarnya bukan itu alasanku bahagia, Bang.” Mulai ia menjelaskan. Ia mendengar kabar bahwa akan diadakan acara lomba sepakbola internasional di beberapa kota di Indonesia, salah satunya di Kota Jogja.

Nama acaranya adalah piala dunia. Dengan diadakannya acara seperti itu, pemulung seperti mereka bisa mengambil “harta-harta” yang berserakan untuk nantinya dikilokan.

Biar orang-orang tenggelam dalam hingar-bingar sepakbola, di mata pemulung, piala dunia tak jauh berbeda dengan tempat memulung lain seperti jalan raya petang tadi. Hanya saja sampahnya boleh jadi level mancanegara. Dan boleh jadi lebih mahal dari sampah lokal. 

Maka ketika Hamyah menyampaikan berita itu, Kuncoro tersenyum lebar, dan membayangkan: dengan uang yang diperoleh dari pengumpulan sampah di piala dunia itu. ia akan mengajak Deva dan ibu anak itu untuk makan di Rumah Makan Padang Nanggulan. Atau, ia akan membelikan mereka pakaian baru. 

Tiba-tiba saja kata “sepakbola” terus mengusik dan memenuhi kepala, kemudian dada Kuncoro. Lamunan indahnya hilang dalam sekejap. Berganti menjadi suasana yang tak tenteram. Hati Kuncoro masygul.

Baca juga:

Langit sempurna hitam, menyisakan bulan sebagai satu-satunya penerang utama yang alami, dibantu sedikit percik cahaya bintang. Setelah Kuncoro memastikan bahwa yang tersisa di gelasnya hanya ampas kopi belaka, ia pamit pada Hamyah dan mengajak Deva pulang.

Dimeseminya pemilik warung itu dengan sok manis demi mendapat balasan mesem yang teramat kecut, dan catatan nama di sebuah buku tulis. Setelah pemilik warung usai mencatat, bapak-anak itu melangkah pulang.

Koran Deva yang tertinggal menarik perhatian Hamyah yang tengah menikmati tembakau filternya. Berbeda dengan pemulung lain, Hamyah cukup cakap dalam membaca, meski masih terbata-bata.

Ia angkat koran itu dalam jarak pandang yang pas, dan mulai membacanya dalam hati. Sejurus kemudian, mendadak ia naik pitam.

Biyajingaaaaan

Pikiran mengenai sepakbola terus menghantui Kuncoro. Berkali-kali dia berdoa pada Gusti Yesus minta tidur, namun belum juga berhasil. Ia angkat tubuhnya untuk duduk. Dan mulai melamun.

“Berapa harga bola ini, mas?”  

Baca juga:

Pertanyaan itu begitu membuat Kuncoro merinding. Kengerian yang sudah lama tersimpan rapi dalam laci paling tersembunyi di benaknya, kini menjelma seekor singa yang dengan mudah menghancurkan laci kayu yang rapuh itu.

Hal yang terjadi berikutnya adalah singa itu mengacak-acak benak Kuncoro. Rasanya berantakan saja kurang tepat untuk mengistilahi keadaan yang diciptakan sang singa.

“Mas, kok melamun? Ayolah. Saya tergesa-gesa sebab pertandingan sudah menjelang kick off. Saya sudah tidak sabar memberikan selamat untuk kemenangan tim tuan rumah ini”

Singa itu semakin nyata. Wujudnya semakin detail. Tampaklah bahwa sebenarnya singa itu adalah mayat yang kembali hidup. Seperti menuntut sebuah balas, entah atas kejadian apa yang telah menimpanya di masa lalu.

“Sepertinya Masnya tidak niat menjual bola ini. Ayolah! Sebelum petugas mengunci pintu masuk dan kita tertinggal di luar,” ucap teman di sebelahnya.

“Tapi aku teringat adikku, pikirku ini adalah oleh-oleh yang cocok untuknya”

“Ayolah, Kawan. Ini hanya sebuah bola. Kau kan cukup perlente, berapalah harga sebuah bola ini?”

Singa ini lagi-lagi semakin nyata. Tubuhnya berwarna biru. Ia porak-porandakan jiwa Kuncoro, dan keluar menjelma tetes tangis yang semakin lama semakin deras.

Baca juga:

“Mas, Masnya kenapa?”

Mereka berdua mendudukkan Kuncoro, mencoba menenangkannya.

“Ada apa, Mas?”

Tak ada jawaban. Hati Kuncoro terasa demikian ngilu sebab pertanyaan-pertanyaan pelanggan itu. Atau, hati Kuncoro sedang menyimpan sesuatu yang menuntut dikeluarkan, namun tubuhnya tak mampu mengutarakan.

Tak ada yang tahu, Kuncoro hanya terus menutup wajahnya dengan kedua tangannya…

Kuncoro tersentak. Terdengar istrinya membangunkannya dengan penuh khawatir. Setelah dirasa hatinya cukup tenang, segelas air diberikan istrinya.

Perlahan, Kuncoro tersadar dari mimpi yang sangat panjang dan jauh. Mimpi tentang kejadian di masa lalu, yang membuatnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya menjaga toko olahraga dan menjadi pemulung.

Di malam panjang yang dinginnya menusuk-nusuk itu, kala para pejabat dan agamawan ramai-ramai menolak kedatangan suatu kaum, diam-diam 135 arwah tak henti-hentinya mengutuk negeri yang ditinggali Kuncoro.

AD Darmawan

Abdillah Danny Darmawan

Abdillah Danny Darmawan

AbdillahDarmawan

4

Artikel