Almunawwir.com – Selepas dari kesibukan mengasuh pondok, KH M Moenawwir tak pernah mengesampingkan pendidikan dan perhatian terhadap keluarga. Setelah salat Subuh merupakan waktu khusus untuk mengajarkan al-Qur’an baik kepada anggota keluarga maupun pembantu rumah tangga. Ketentraman, ketenangan, kerukunan dan kewibawaan keluarga begitu nampak sehingga tidak sembarangan orang keluar masuk rumah tanpa izin beliau.
Begitu pula halnya dengan kesejahteraan putra-putri dan istri-istri beliau. Nafkah dan waktu gilir untuk istri-istri beliau sangat diperhatikan. Bagi istri yang kebetulan belum sampai gilirannya, KH M Moenawwir mengutus santri untuk menjaganya. Beliau juga menugaskan kepada salah seorang santri untuk merawat putra-putri beliau yang masih kecil.
Pergaulan KH M Moenawwir terhadap santri-santri selain dilakukan dengan melibatkan mereka secara langsung, baik dalam urusan rumah tangga, maupun dalam urusan yang bersifat pribadi dan tidak formal. Seperti potong rambut, memanggil santri hanya untuk diajak bicara dan hal-hal lain yang beliau lakukan dengan suasana santai dan kekeluargaan. Dalam kesempatan seperti inilah beliau memasukkan nilai-nilai pendidikan.
Sikap adil yang diterapkan KH M Moenawwir dalam keluarga juga tercermin dalam segala perbuatan yang dilakukan terhadap santri. Beliau tak segan-segan memanggil langsung ke rumah dan menasehati santri yang bersangkutan. Nasehat bisa meliputi antara santri dengan santri, santri dengan orang lain, bahkan antara santri dengan putra beliau sendiri.
Suatu ketika seorang santri dari Bumiayu (Dimyathi, adik H Suhaimi) bersengketa dengan putra beliau Raden H Abdullah Affandi. Persengketaan yang membawa nama Haji Suhaimi ini menimbulkan suasana hubungan yang tidak enak bagi kedua belah pihak. Namun begitu KH M Moenawwir mengetahui, baik santri (Dimyati) maupun putra beliau sendiri, dipanggil dan dinasehati dengan penuh kearifan. Akhirnya perselisihanpun berakhir.
Kesabaran, kedermawanan dan kepedulian terhadap santri merupakan pelajaran yang selalu disampaikan lewat perbuatan nyata. Wejangan-wejangan dan ilmu-ilmu yang beliau sampaikan tidak hanya lewat lisan, namun juga melalui tindakan. Tak jarang beliau memberi “sangu” santri yang pamit pulang atau santri yang menghadiri undangan tetangga untuk membaca al-Qur’an. Pertimbangan beliau yang kedua ini selain lelah, santri juga dirugikan dengan meninggalkan pengajian.
Kunjungan (silaturrahim) kepada keluarga santri juga sering kali dilakukan KH M Moenawwir, terutama bagi yang rajin mengaji dan banyak berkhidmah. Sesekali beliau minta pendapat santri, lebih-lebih mereka yang giat mengaji dan salat berjamaah. Beliau sering mengajak mereka untuk ikut bepergian, juga meminta kepada para santri untuk ikut menemui tamu.
Baca Juga: Meneladani Kepribadian KH M Moenawwir
Keberhasilan sikap KH M Moenawwir dalam bergaul tidak hanya terwujud dalam lingkungan keluarga dan santri. Namun terhadap tetangga, tamu, kiai dan pejabat tak pernah membedakan tamu yang datang apakah mereka orang kaya atau miskin, rakyat biasa atau pejabat tinggi dan sebaginya. Semua disambut dengan penuh penghormatan. Mereka dianggap sebagai keluarga sendiri.
Beliau melakukan kunjungan kepada KH Suhaimi di Bumiayu. Beliau juga banyak menerima kunjungan dari ulama lain, misalnya kunjungan dari murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah. KH Said (Gedongan, Cirebon), KH Hasyim Asy’ari (Jombang), KHR. Asnawi (Kudus), KH Ma’shum (Lasem), KH Ahmad Dahlan (Yogyakarta) bahkan beliau juga berkenan meresmikan Madrasah Huffadz yang beliau namakan Tamrinis Shibyan.
Seperti halnya dengan santri, KH M Moenawwir juga bergaul akrab dengan tetangga. Beliau menghormati dan menghargai mereka. Beliau gemar mengunjungi rumah-rumah mereka. Beliau tak pernah membedakan status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, misalnya dalam hal memenuhi undangan. Baik kaya atau miskin, baik acara walimah atau khitan. Semua beliau hadiri dengan penuh rasa gembira.
*Referensi Tulisan Djunaidi A. Syakur, dkk., “Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta” (Yogyakarta: Almunawwir Press, 2001)