Oleh : Muhammad Najib Murobbi*
Berbudaya kah kita?
Budaya tercipta dari sebuah kebiasaan hingga menjadi adat istiadat bahkan tidak sedikit menjadi sebuah “Hukum” wajib. Rasanya seperti pergi ke burjo, makan lalu merokok. Kurang mantap rasanya jika sehabis makan tidak merokok.
Merokok saja bisa dikatakan menjadi budaya, namun bukan sebuah adat istiadat. Ternyata budaya sendiri seperti mempunyai batasan, kira-kira kalau cocok dan pas boleh-lah menjadi adat istiadat. Berawal dari kebiasaan, budaya, hingga adat istiadat. Budaya di Indonesia, jangan tanya sudah berapa yang beraneka ragam.
Bahkan satu budaya saja bisa berbeda-beda namanya, namun substansinya sama. Masyarakat yang berbudaya berarti mempunyai kebiasaan, kebiasaan itu sendiri memunculkan sebuah nilai titik tertentu hingga menjadi simbol dan ciri khas masyarakat tersebut.
Dalam segi pemahaman standar budaya tidak memandang itu lurus dan bengkok (sesat) selama itu pantas, diterima menurut akal dan nyaman bagi masyarakat, ya sudahlah dilakukan. Tidak jarang mampu bertahan selama beratus tahun lamanya. Hingga melahirkan sebuah tradisi yang harus dilakukan bagi suatu masyarakat.
Budaya atau kebudayaan bersal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.[1] Jika kita melihat kebelakang –masyarakat primitif– cenderung lebih melakukan suatu hal yang bersifat mistis dan di luar daya nalar.
Tetapi menjadi budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Hingga masyarakat yang terbilang sudah berada di era modernisasi melakukan budaya tersebut, yang terlahir dari masyarakat primitif dengan daya nalar mistisnya. Itu semua dilakukan semata-mata menjadi sebuah budaya, tradisi, dan adat istiadat di masyarakat tersebut. Secara langsung dengan adanya sebuah budaya atau tradisi mereka dikenal dengan tradisinya.
Secara tidak langsung, menjadikan masyarakat tersebut hidup dalam keemasan, keanekaragaman dan terciptanya persatuan. Artinya mereka mempunyai nilai plus. Seiring berjalannya zaman, jauh sebelum ajaran samawi hadir di muka bumi. Budaya sudah terlebih dahulu menginjakan kakinya. Pada zaman Nabi Adam AS, manusia pertama di muka bumi terjadi suatu perkelahian pertama antara Habil dan Qabil.
Hingga pertumpahan darah terjadi yang merenggut nyawa. Maka salah satu di antara mereka melihat seekor burng gagak sedang menggali tanah yang hendak menguburkan gagak lain yang mati, lalu diikutilah hal tersebut olehnya, hingga sampai pada saat ini.
Lalu bagaimana Islam hadir di tengah kemajemukan budaya yang sudah merakarkan dirinya pada masyarakat. Jika kita melihat secara epistimologi islam sendiri, secara harfiyah sudah memberikan perdamaian dan persatuan. Kata Islam berasal dari “Aslama, Salima-Yaslamu” yang berdefinisikan selamat (dari bahaya), menghormati[2].
Jadi secara konsep Islam hadir di tengah kemajemukan budaya mengambil langkah kongkrit dan bijaksana. Yaitu dengan masuk dalam ranah budaya tersebut disertai nilai-nilai teologis dan historis. Hal ini sudah dilakukan oleh pendakwah di Indonesia yang kita kenal dengan “Wali Songo”.
Masyarakat di tanah Nusantara yang sudah kental dengan budaya dan tradisinya dijadikan sebuah jembatan para Wali Songo untuk menebarkan visi monoteis (ketauhidan). Tidak menghilangkan sebuah tradisi yang sudah lama berjalannya, karena jika Islam hadir dengan bermodal gagasan Wahabisme dengan takfiriyah-nya justru tidak akan mampu masyarakat Nusantara mampu menerima Islam.
Islam hadir laksana sebuah bohlam lampu yang mampu menyinari goa gelam, goa tersebut tidak dihancurkan untuk mendapatkan cahaya Bulan, melainkan dengan lampu kita bias nyaman dalam goa tanpa merusak goa tersebut.
Antara Islam dan Budaya
Sudah berjalan ratusan tahun Nusantara berkembang hingga menjadi negara Muslim terbesar di Dunia. Di sisi menjadi negara muslim terbesar, mempunyai kenanekaragaman suku, ras, budaya hingga Agama. Saat membicarakan Agama –pada era panas pilkada – agaknya menjadi terlihat sentiment. Agama menjadi sebuah alat untuk membenarkan sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
Padahal agama sendiri mengajarkan tentang ukhuwah Islamiyah, kebhinekaan, toleransi dan kasih sayang. “Padahal orang yang membawa-bawa agama sebenarnya tidak mencerminkan dia beragama”. Kembali pada budaya dan tradisi, Nusantara pada era ini dihadapkan dengan beberapa kelompok ekstrimeisme yang memberlakukan Agama sebagai alat upaya untuk kekeuasan semata.
Dengan tujuan menghilangkan tradisi Islam yang sudah lama di Nusantara dengan dalil-dalil ala kadar mereka. Bid’ah, kafir, munafiq, hingga tidak sedikit mengatakan sesat. Menurut Prof K.H Agus Sunyoto budaya dan tradisi adalah sebagai bentuk symbol suatu masyarakat agar mampu mempunyai perdaban[3].
Dengan adanya peradaban maka nilai-nilai kebudayaan akan menjadikan masyarakat menghormati, mengkasihi. Negara Spanyol. Selama 700 tahun lamanya menjadi negara dengan Islam terkuat, tetapi setelah di babat habis oleh kaum-kaum nasrani.
Mulai dari tradisi, budaya, adat itu semua dibumi hanguskan hingga sekarang Spanyol tidak mempunyai peradaban Islam karena hilangnya tradisi dan budaya yang sudah ada lamanya. Hal ini yang menjadi patut di prioritaskan untuk terus menjaga tradisi dan budaya Islam di Nusantara.
Tradisi dan Budaya yang ada di Nusantara sebenarnya sudah sesuai dengan tuntunan dan tatanan koridor Islam. Jelas isinya, tujuannya dan kenikmatannya, seperti Tahlilan, Manaqiban, Diba’an. Dapat teh hangat dan berkat gratis contohnya. Sudahlah kita ber – Islam di Nusantara dengan menjunjung kbhinekaan dan penuh rasa toleransi dan menguatkan tradisi – budaya kita. Islam nya yang dulu-dulu aja, tidak usah yang sekarang, membid’ahkan.
Allahuma Shollu a’la Sayyidina Muhammad
*Penulis adalah Santri Komplek Taman Santri
Krapyak, 16 April 2017 di Lantai 3 rumah Abah.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[2] Kamus Al-Munawwir, K.H Ahmad Warson Munawwir.
[3] Disampaikan pada seminar kebudayaan di Audituriom Kahar Muzakkir Universitas Islam Indonesia, Kamis 13 Aprl, 2017