Almunawwir.com – K.H. Zainal Abidin Munawwir bin KH. Muhammad Munawwir Al-Hafidz Al-Muqri bin KH Abdullah Rosyad. Salah satu kiai yang mashur dalam memegang teguh ilmu fikih. Mbah Zainal, begitulah sapaan akrab bagi para santri. Tidak hanya tutur katanya yang lembut dan penuh kehati-hatian namun juga keistiqomahannya membuat santrinya dan masyarakat begitu kagum dan ta’dhim pada Beliau.
Lahir di Bantul, 31 Oktober 1931 M/18 Jumadil Akhir 1350 H. Beliau adalah putra ke sembilan dari pasangan KH Muhammad Munawwir dan Ny. Hj. Khodijah (Sukistiyah). Kiai Zainal mempersunting Nyai Hj. Ida Fatimah binti KH Abdurrahman dari Bangil, Pasuruan, Jawa timur.
Besar dan menempuh pendidikan di Krapyak, tak ayal tidak membuat beliau merasa tinggi dan hebat. Bermodal keistiqomahan, beliau mengaji di pondok yang diasuh oleh ayahnya sendiri serta dibantu oleh kakak iparnya, KH Ali Maksum. Kedua sosok tersebut yang membuat Kiai Zainal menjadi orang yang benar-benar alim terutama dalam keilmuan fikih dan dirasah islamiyah.
Kealimannya tidak dibayar dengan murah. Di bawah asuhan KH Ali Maksum, semenjak kecil perkembangan keilmuan beliau ditempa dengan sangat ketat dan disiplin. Bahkan tak jarang beliau mendapat hukuman jika melakukan kesalahan.
Hal yang sama juga diberlakukan kepada saudara-saudara beliau yang lain. Menurut Kiai Zainal sendiri, jika terhadap ‘ahlul bait’, KH Ali Maksum memang sangat keras. Tidak ada waktu santai. Semuanya diharuskan untuk bisa menguasai kitab-kitab kuning yang beliau ajarkan. “Jangankan dimarahi, disabet, dan dilempar sandal. Saya bahkan sudah pernah hingga diikat di kayu. Ibu kadang menangis melihatku seperti itu, tapi kalau Kang Ali tidak seperti itu, entah saya akan jadi apa?” cerita Alm. KH Warson Munawwir (Allahu yarham, adik KH Zainal Abidin pengarang Kamus Almunawwir)
Selain mashur keilmuan fikihnya, Kiai Zaenal juga terkenal dengan karya-karyanya yang telah banyak dibukukan dan hampir semuanya menjadi kitab wajib yang dikaji di pondok pesantren krapyak diantaranya; Wadhaifu al-Muta’allim, al-Muqtathofat, al-Furuq, Tarikhu al-Hadharati al-Islamiyyah, Kitaabu al-Shiyam, Masaailu al-Waqi’iyyah, Majmu’u al-Rasail, al-Ta’riifu bi Ahli al-Sunnati wa al-Jama’ah, Manaasiku al-Hajjakan.
Banyak cerita, kisah dan juga kenangan yang tidak mudah dilupakan dari beliau baik bagi, istrinya Nyai Hj. Ida Fatimah, santrinya maupun orang-orang luar yang mengenal beliau.
Usai menyelesaikan pendidikan di pesantrennya, tenggang berapa tahun beliau kemudian menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak sekaligus Ma;had ‘Ali, Salafiyah II dan V (1989-2013). Sisa hidup beliau dedikasikan untuk pemberdayaan pesantren. Menjadi pengajar yang penuh keistiqomahan dan juga disiplin.
Banyak cerita mengenai keistiqomahannya dalam mengajar, salah satunya adalah sewaktu beliau tengah mengajar di komplek Ma’had Aly, malam itu istri beliau–Nyai Ida Fatimah datang ke kelas mengajar dan memberitahukan jika ada tamu penting yang tengah berkunjung. “Pak wonten tamu,” (Pak, ada tamu) tutur istrinya malam itu.
Kiai Zainal hanya mengatakan “Yo nko sek,” (Ya, nanti dulu). Mendapat jawaban itu, kemudian Ibu Nyai Hj Ida Fatimah kembali ke ndalem. Selang beberapa menit, sang istri merasa resah, ketika Kiai Zainal belum datang. Bu Nyai Ida memutuskan untuk kembali mendatangi kelas mengajar sang suami. Pada kedatangannya yang kedua ini, sekali lagi Kiai Zainal mengatakan “Yo nko sek,” tak urung hal itu membuat sang istri kesal. Nyai Ida Fatimah mengerti dan kembali lagi ke kediamannya.
Setelah menunggu agak lama, Ibu Nyai Ida Fatimah kembali lagi ke kelas mengajar sang suami. Pada panggilan ketiga ini Kiai Zainal sudah bersiap untuk keluar kelas. Kemudian menemui tamu penting tersebut.
Selang waktu, setelah tamu tersebut pergi. Kiai Zainal mengajak mengobrol sang istri, “Bu, ngerti ora kenopo mau aku ora geru nemoni tamu?” (Bu, mengerti tidak, kenapa tadi saya tidak langsung menemui tamu?)
Sang istri hanya menggeleng kemudian kata Kiai Zainal, “Itu karna aku malu pada pengarang kitab. Sudah tinggal membacanya masa ditinggal-tinggal bertemu orang ditinggal ngobrol. Malu sama mualifnya (pengarangnya).”
Begitulah sepenggal kisah beliau. Sang ulama fikih yang penuh keistiqomahan dalam mengajar. Kiai Zainal memang begitu menghargai dan menghormati para pengarang kitab. Sampai-sampai beliau tidak pernah absen dalam mengajar di manapun tempatnya sekalipun memiliki acara dengan jam yang sama. Baginya mengajarkan kitab seperti bentuk penghormatan dan penghargaan bagi para mualif kitab.
Pernah suatu ketika salah satu murid Ma’had Aly bercerita, “Mbah Zainal iku nek ngajar mbok murid e mong siji semangat ngajare tetep koyo pas ngajar murid seng isine akeh.” (Mbah Zainal itu, kalau mengajar, meskipun muridnya hanya satu, semangat mengajarnya tetap sama seperti ketika mengajar murid banyak). (Afqo)