Membahas tentang perempuan, nampaknya tidak akan ada habisnya. Gerakan emansipasi yang digalakkan oleh RA. Kartini perlahan menembus batasan zaman. Hal ini berarti perempuan-perempuan semakin sadar akan perannya.
Apalagi, suara perempuan saat ini mulai didengar di ranah publik. Diketahui bersama, dahulu RA. Kartini pernah nyantri di Kiai Sholeh Darat.
Nyantri-nya RA. Kartini merupakan wujud dari semangat memperjuangkan eksistensi dan keadilan perempuan yang saat itu hanya dipandang sebelah mata, tidak memiliki kebebasan, dan bergerak di bawah kuasa laki-laki.
Kartini menjadi contoh bagi perempuan pesantren bahwa mereka hidup di pesantren bukan untuk menutup diri, tetapi untuk menempa diri dengan seluas-luasnya wawasan.
Sehingga dari pesantren diharapkan akan lahir perempuan-perempuan yang nantinya mampu membawa perubahan terhadap peradaban dengan lebih baik lagi, dari sisi intelektual maupun keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, pesantren ikut berkontribusi besar dalam dunia pendidikan, terlebih pendidikan keagamaan.
Tidak hanya perempuan yang memperjuangkan hak atas perempuan, tetapi seorang ulama pesantren pun demikian, KH. Ali Maksum misalnya. Cara pandang Kiai Ali (sapaan akrab beliau) terhadap pendidikan keagamaan bagi kaum perempuan, mampu memberikan deskripsi tentang pendidikan perempuan kala itu dan perkembangannya dari masa ke masa.
Lalu bagaimana bentuk pendidikan agama ala Kiai Ali dalam memperjuangkan eksistensi perempuan di masa itu?
Baca juga:
Kiai Ali merupakan salah satu ulama khos, yang terkenal dengan pemikirannya yang moderat. Moderat dalam gender, Kiai Ali memandang bahwa laki-laki dan perempuan memiliki status dan peran yang sama.
Beliau telah menekankan keadilan gender melalui pengajaran sederhana, di tengah polemik kedudukan perempuan yang masih diperdebatkan sampai saat ini.
Jika laki-laki diberikan keleluasaan belajar, maka perempuan juga memiliki hak atas pendidikan, terlebih dalam hal agama. Pesantren telah menyediakan ruang bagi perempuan untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Ruang untuk memberdayakan diri pada hal-hal yang positif.
Perempuan di pesantren ini dididik untuk memperjuangkan kemanfaatan, agar dari pesantren lahir perempuan yang mampu menebar kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Mereka diberi peluang lebih luas untuk berkiprah dalam kemasyarakatan.
Hal sederhana dalam pendidikan keagamaan bagi perempuan ala Kiai Ali, tergambar ketika beliau sering mengajak adik-adik perempuannya untuk mempelajari kitab-kitab kuning, belajar membaca dan menulis huruf latin. Kiai Ali sangat memperhatikan ruang pendidikan keagamaan perempuan, seperti dengan membangun madrasah banat bagi para santri perempuan.
Madrasah perempuan yang dibangun Kiai Ali ini dikembangkan sejak tahun 1951, dengan tenaga pengajar yang melibatkan saudara-saudara perempuan dari pihak istrinya. Madrasah perempuan tersebut masih terus berkembang sampai sekarang dan lebih dikenal dengan Pesantren Al-Munawwir Komplek Nurussalam.
Jiwa kepedulian Kiai Ali terhadap peran perempuan tidak direalisasikan dengan hanya menggembleng santri putri di lingkup pesantren saja. Akan tetapi, bergerak meluas di lingkungan masyarakat sekitar, melalui pengajian Jumat Leginan yang beliau rintis.
Kiai Ali memberikan kelonggaran kepada para santriwati untuk mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki melalui berbagai kegiatan yang telah mentradisi di pesantren, seperti haul masyayikh, peringatan hari besar Islam, majelis sholawat dan tahlil, akhirussanah, rihlah, maupun pembinaan bakat dan lomba serta kegiatan lain, seperti roan.
Pelbagai kegiatan tersebut bersifat mendidik kepribadian, juga inovasi dan kreatifitas perempuan pesantren dalam memberdayakan diri. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Ali memberikan ruang peran simbolis bagi perempuan pesantren dengan sangat memperhatikan status dan peran perempuan dalam ranah sosial-keagamaan.
Baca juga:
_____
Editor: Irfan Fauzi