Almunawwir.com – Beragam peristiwa senantiasa terjadi di kota besar ini, yang oleh sebagian orang yang bekerja di sebuah divisi pariwisata dengan tugas menggaet pelancong disebut kota istimewa, sehingga tak ada lagi yang akan bertanya-tanya—maksudku akan banyak sekali yang luput dengan peristiwa seorang lelaki yang selalu menghilang di hari raya kurban. Meski nantinya peristiwa yang banyak orang luput darinya itu akan terjawab dengan sendirinya dengan jawaban yang teramat sederhana, namun otakku merasa bahwa ada potensi-potensi untuk menuangkannya ke dalam beberapa paragraf. Oh Dewa Penulis, maaf, maksudku Ya Allah, bantulah aku.

**
Sewon, 2023
Seorang pria kecil, sedikit berisi, dan lumayan tangguh, berwajah sayu, dengan mulut mungil nan murah senyum, mengenakan batik bermotif burung yang kurasa berasal dari Madura, berwarna maroon bercampur hitam khas gen z, dengan balutan kain bahan berwarna hitam yang dipoles habis-habisan oleh pembantu atau istri atau siapa pun itu, menjuntai melingkari kedua kakinya dan membentuk pipa, dan penglihatanku berakhir pada sepasang sepatu pantofel yang sedikit kotor sebab jalanan yang dipijakinya adalah tanah liat yang basah. Di sampingnya terdapat kambing dan sapi berbaris rapi. Tampaknya ia sedang menunggu kedatangan seseorang.
Sesekali kulihat ia mengeluarkan selembar kain yang dilipat kecil dari kantung bokongnya, kemudian menempelkannya pada mulut dan hidung di wajahnya yang semakin lama semakin merah.
“Pak Mochlis,” sapaku, “ingat saya?” sengaja aku memanggil dengan ‘Pak’ supaya mempertegas kehidupan kami yang kini bagiku sangat jomplang.
Tampak keningnya berkerut sebelum akhirnya, “Daruan Darmawan?” Ia buka tangannya dan bersiap memelukku. Terjadilah peristiwa dua orang pria berpelukan dengan canggung. Pria dengan batik berusaha memeluk erat sementara pria dengan kaus hitam dan jins sadar bahwa dahulu sekali mereka tak ‘seakrab itu’ sehingga harus berpelukan serapat ini.
“Aku mendengar,” kataku setelah lepas dari cengkeraman pelukannya, “Pak Mochlis—”
“Mochlis saja.” Tampak dari nadanya ia tak suka dengan panggilan Pak-ku.
“Tuntutan pekerjaan, Kawan. Jangan-jangan kau tak tahu bahwa aku seorang wartawan?”
“Tentu aku tahu.” Ia melanjutkan, “hanya saja terasa tidak enak mendengarmu berkata ‘Pak’ untuk sekedar memanggilku.”
“Baik. Jika itu maumu,” aku melanjutkan, “sebenarnya pertanyaanku tak memiliki hubungan dengan pekerjaanku. Atau sebenarnya aku tak memiliki niat bertanya. Aku hanya sedang iseng berjalan-jalan dan tiba-tiba bertemu denganmu yang—ya, aku sudah tahu, kini mendaftar menjadi bacaleg setelah 2 periode menjadi kades di desamu.”
“Ya-ya. Doakan saja supaya sukses. Insyaallah,” lanjutnya, “insyaallah dengan dukungan dari partai ini,” ia menyebut nama sebuah partai yang dulunya adalah sebuah pergerakan mahasiswa yang biasa marak di UIN-UIN, “aku bisa menang. Insyaallah.”
“Ya. Insyaallah.”
“Mau berbuka bersama?” tawarnya.
Sialnya aku lupa bahwa hari ini adalah hari arafah. Aku menyeringai dan menyipitkan mata. Ia tahu bahwa maksudku adalah maaf aku tidak berpuasa atau semacamnya.
“Baiklah,” katanya sambil merogoh kantung batiknya. Aku kontan membayangkan malam nanti hendak kuajak keluar ke mana anak dan istriku. Sepertinya es coklat di alun-alun kidul adalah pilihan tepat, kami sudah lama tak bersenang-senang. Namun bayangan itu segera hilang dan berganti dengan rasa senewen setelah melihat bahwa yang keluar dari kantung batiknya adalah kartu nama saja. Pikirku, orang miskin mana yang butuh kartu nama? Mengapa ia tak kunjung mengerti penderitaanku yang kian hari kian sedih, istriku ingin kuliah lagi, anakku mulai menginjak sekolah dasar, tulisanku selalu ditolak penerbit yang sangat-sangat menomorsatukan uang.
“Hubungi nomor ini, kudengar istrimu ingin kuliah lagi?” katanya dengan senyum yang seakan Tuhan sedang tidur santai di bibirnya.
“Ah, kupikir tidak usah…”
“Aku hanya mencarikan koneksi ke perguruan tinggi yang diinginkan istrimu, dan kubantu agar harganya sedikit masuk akal. Juga, Daruan,” lanjutnya, rupanya ia mengira bahwa tabiatku belum berubah, “aku tak membeli suaramu. Aku hanya membantumu sebagai teman. Kau tahu, tanpa suaramu sekalipun aku akan tetap menang jika bersama partai ini,” ia tertawa. Kami tertawa. Istriku di rumah akan juga tertawa, nanti setelah mendengar kabar ini. Anakku juga akan ikut tertawa melihat kedua orang tuanya tertawa.
Di depan pintu rumah kecil, sembari memegang sapu istriku tertawa-tawa. Anakku menyusul keluar dan ikut tertawa. Aku berdiri mematung setelah menceritakan kejadian petang tadi.
“Dia pikir dia siapa? Seenaknya merasa pahlawan,” keluhnya sambil tetap tertawa, “baguslah kau menolak, Sayang. Sebab selama presiden Indonesia bukan seorang perempuan dari Papua,” lanjutnya dengan nada serius dan tegas, “tak akan kuterima bantuan apa pun dari mereka semua, tanpa terkecuali.”
Aku memeluknya.
**
Setelah salat Idul Adha pagi tadi, aku berangkat ke lapangan dengan menenteng parang yang telah puas terasah. Bukan maksudku menyatakan perlawanan kepada Mochlis, yang aku tahu bahwa ia pasti hadir sebab ini adalah momen yang pas untuk orang-orang dengan pekerjaan seperti dirinya, dengan mengenakan kaos partai kompetitornya. Hanya saja, setiap orang waras yang ikut menyembelih pasti akan berpikiran bahwa mengenakan pakaian terburuk yang mereka punya adalah keputusan terbaik, dan kurasa aku adalah orang waras. Sebab lagi-lagi, setiap orang waras tahu bagaimana kualitas kaos partai, dan lagi-lagi kurasa aku adalah orang waras.
Lapangan tampak lebih ramai dari biasa. Kambing dan sapi berbaris-baris, para algojo juga tampak siap dengan parang terbaik mereka. Namun, kerumunan tak menghiraukannya dan lebih memilih mengerumuni sosok Mochlis yang mengenakan kaos kuning-biru dan celana hitam. Dan aku sama sekali tak terkejut ketika terdapat beberapa moncong lensa yang siap untuk menangkap potret Mochlis.
“Sebenarnya siapa yang hendak mereka sembelih, Mochlis atau para kambing dan sapi itu?” tanyaku pada kerumunan pembawa kamera. Mereka adalah kawanku juga.
“Kau tidak meliput, Daruan, sedang libur, ya?”
“Ya begitulah.”
“Jangan bilang kau dipecat. Katakan padaku, apa yang kautulis?”
“Tidak, Kawan. Sudah, kembalilah pada pekerjaanmu. Dan sebagai bayaran atas pertanyaan awalku yang belum kaujawab,” pintaku, “pastikan kau mengambil foto terbaikku saat sedang menggoroknya.”
“Menggorok siapa? Mochlis atau para kambing dan sapi itu?”
Setelah menghargai lawakannya yang tak begitu lucu dengan tawa yang sudah terlatih, aku berlalu.
Berikutnya aku menemukan diriku yang telah selesai dengan perkara persembelihan sedang membersihkan tangan dan parang di pancuran air. Kemudian mataku menangkap batu di sisi selatan lapangan yang sepertinya pas untuk bokong seorang jagal yang sedang letih. Setelah nyaman duduk, aku mulai melamun dan sesekali menghisap rokok yang baru saja kupantik. Melihat kesibukan orang-orang desa ini: menguliti, memotong, dan membagi-bagikan daging. Anak-anak menusuk-nusuk daging, dan sedikit ke barat terdapat batu bata berbentuk huruf u yang di perutnya terdapat arang panas. Para ibu sibuk membuat bumbu, dan mulut mereka tak bisa diam. Lihat pula istriku, meski diterpa terik, wajahnya tetap saja cantik. Setidaknya bagiku.
Tapi tiba-tiba lamunan itu rusak oleh seorang pria berkaus kuning-biru itu. Perhatikan raut wajahnya yang sangat terganggu itu. Tak bisakah kaupasang raut yang sedikit menghibur, Mochlis? Kemarin kau berkata bahwa jika disokong partaimu itu kau pasti menang, lantas untuk apa kau repot-repot blusukan begini? Ataukah ini tuntutan partaimu?
Astaga. Bagaimana bisa aku terlupa. Bukankah kau adalah Mochlis kawanku itu? Lihat dirimu, betapa malangnya: pria yang selalu menghilang setiap hari raya kurban kini dituntut harus menjadi pria yang paling terlihat.
Pertanyaanku masih sama seperti 20 tahun yang lalu: Apakah hal ini bukan sebuah masalah bagimu, Lis?
**
Sewon, 2003
Malam ini suara takbir menggema. Semua berkumpul di sini, entah itu manusianya, alat musiknya, makanannya, sampai kambing dan sapinya. Kecuali satu: Mochlis. Pria kecil yang kini menginjak semester lima itu selalu menghilang di hari raya kurban seperti ini, sejak semester pertamanya. Kawan-kawan sudah tahu-menahu dan maklum dengan peristiwa itu, sebab diketahui Mochlis adalah tipikal orang yang muntah ketika di jarak satu meter dengan dirinya tercium aroma sapi atau kambing. Namun mereka hanya sebatas tahu dan maklum. Tak ada yang mencari lebih lanjut terkait tempat lari atau sembunyinya Mochlis.
“Itu urusan pribadi, Kawan, kita tak berhak tahu,” kata mereka.
Seminggu berlalu dan tiba-tiba ketika terjaga di pertengahan malam untuk berlari ke kamar mandi membuang air kemudian cepat-cepat kembali sebab gelap, kudapati Mochlis tertidur nyenyak di atas sajadah.
“Apakah hal ini bukan sebuah masalah bagimu?” tanyaku saat kami usai sarapan. Tentu ia tak paham, maka aku melanjutkan. “Maksudku, apa pendapatmu soal Idul Adha?”
“Bagus. Mengapa?”
“Kau tahu, kau sedikit tak suka dengan aroma kambing dan sapi, bukan?”
“Ya, aku bukan lagi sedikit tidak suka. Aku sangat tidak suka.”
“Itu maksudku. Apakah Idul Adha bukan sebuah masalah bagimu?”
“Hei, tentu saja bukan. Naudzubillah. Masalahku,” lanjutnya, “adalah dengan aroma kambing atau sapi, bukan dengan Idul Adha.”
“Tapi dengan adanya Idul Adha, kau semakin terganggu, bukan?”
“Tanpa Idul Adha kurasa aku juga selalu terganggu dengan kambing dan sapi.”
“Perhatikan kataku. Se-ma-kin.”
“Hmm,” sejenak ia berpikir, “mungkin kaubenar, tapi aku tak ingin membenci Idul Adha, begitu.”
“Kau harus menghilang setahun sekali, wajar saja jika ternyata kau merasa kesal.”
“Aku ingin melakukannya dengan penuh keikhlasan dan ketulusan,” suaranya sedikit merendah, “bagaimana caranya?”
“Ya, kudoakan semoga kau tidak bisa membenci Idul Adha.”
“Amin. Atau semoga diriku ditakdirkan untuk mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan diriku untuk berdamai dengan Idul Adha.”
“Amin.”
Sewon 2023
A Danny Darmawan