Almunawwir.com-Madinah, tahun ke-2 Hijriyah. Di sebuah masjid kecil, kaum Muslimin sedang melaksanakan salat. Imam mereka masih menghadap ke Baitul Maqdis di Yerusalem, kiblat yang selama ini mereka gunakan sejak berhijrah dari Makkah. Di tengah-tengah rukuk, ada seorang lelaki datang dan berseru, “Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku telah solat bersama Rasulullah Saw dengan menghadap ke arah Makkah.”
Mendengar itu, imam pun berputar 180 derajat dalam kondisi rukuk. Para makmum mengikuti. Dalam satu gerakan sederhana, sejarah berubah. Peristiwa ini tidak hanya mengalihkan arah shalat kaum Muslimin, tetapi juga menandai babak baru dalam perjalanan Islam.
Islam yang Mandiri: Tidak Meniru, Tidak Bergantung
Sejak tiba di Madinah, kaum Muslimin diperintahkan untuk berkiblat ke Baitul Maqdis. Salah satu hikmahnya adalah membangun kedekatan dengan kaum Yahudi, yang juga menghadap ke sana dalam ibadah mereka. Namun, alih-alih melihat ini sebagai bentuk kedekatan, banyak orang Yahudi justru mengejek Islam sebagai sekadar tiruan dari ajaran mereka. Mereka mengatakan demikian, “Muhammad dan para sahabatnya tidak mengetahui ke mana arah kiblat mereka sampai kami memberi petunjuk kepada mereka,” kata mereka dengan sinis.
Saat perintah berpaling ke Ka’bah turun, segalanya menjadi jelas. Islam tidak bergantung pada tradisi sebelumnya. Islam bukan cabang dari Yahudi atau Nasrani, tetapi wahyu yang berdiri sendiri. Ini adalah deklarasi kemandirian spiritual dan identitas agama yang utuh.
Ka’bah bukan sekadar bangunan batu di tengah padang pasir. Itu adalah rumah pertama yang didirikan untuk ibadah kepada Allah, didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Rumah ibadah yang dimuliakan secara turun-temurun sejak didirikannya. Perintah menghadap ke Ka’bah adalah ajakan untuk kembali ke akar tauhid yang murni.
Baca Juga:
- Keutamaan Bulan Sya’ban: Selawat sebagai Teknik Psikoterapi dan Menyadari Kedudukan Manusia sebagai Makhluk Transendental
- Tafsir Q.S. Al-An’am[6] ayat 99: Keagungan Ilahi dalam Penciptaan Tumbuhan
Ujian Keimanan: Siapa yang Tetap Taat?
Tidak semua orang menerima perpindahan kiblat ini dengan mudah. Bagi sebagian sahabat, perubahan kiblat terasa membingungkan. Memang, mereka mematuhi perintah pengalihan kiblat ini, tapi hati mereka diliputi rasa keheranan.
Kaum Musyrikin pun menjadikannya bahan ejekan, “Muhammad bingung dengan agamanya,” kata mereka. Kaum Munafik juga ikut berkomentar, “apa mau Muhammad itu, mengalihkan kita ke arah sana, ke arah sini.”
Namun, bagi orang-orang beriman, perintah ini adalah ujian. Allah sudah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 143:
“Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.”
Yang benar-benar beriman tidak mempertanyakan perintah ini. Mereka tahu bahwa esensi ibadah bukanlah sekadar arah fisik, tetapi kepatuhan pada kehendak Allah. Bagi mereka, menghadap ke mana pun tidak penting, selama hati tetap tertuju kepada-Nya. Pada akhirnya, jelaslah siapa yang taat dan siapa yang membelot.
Kiblat Batin: Sebuah Refleksi
Para sufi menafsirkan peristiwa ini dengan cara yang lebih dalam. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan bahwa Allah hanya memerintahkan “wajah” untuk berpaling, bukan hati dan pikiran.
Hati dan pikiran hendaklah mengarah kepada Allah swt. Hati dan isinya adalah sesuatu yang gaib, maka sesuai dengan sifatnya itu, ia pun harus mengarah kepada Yang Maha Gaib, sedang wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia pun diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya nyata, yaitu Ka’bah di Masjidil Haram itu.
Kiblat lahiriah bisa berubah. Orang bisa berpindah rumah, kehilangan pekerjaan, menghadapi situasi baru yang tak terduga. Tetapi selama hatinya tetap mengarah kepada Allah, ia tidak akan tersesat.
Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada perubahan besar. Namun, peristiwa perpindahan kiblat mengajarkan satu hal penting: arah fisik bisa bergeser, tetapi kiblat hati harus tetap teguh. Seperti kaum Muslimin yang berputar tanpa ragu ketika wahyu turun, kita pun harus selalu siap mengubah langkah jika itu berarti semakin dekat dengan-Nya.
Jadi, pertanyaannya bukan sekadar “Ke arah mana kita menghadap?” melainkan: “Apakah hati kita telah benar-benar menghadap kepada Allah?”
