Oleh: Chanif Ainun Naim*
Almunawwir.com – Muslim Indonesia ketika melaksanakan shalat tarawih bulan Ramadhan, baik di masjid atau surau, lazim kita temui pula adanya bilal (munadi; penyeru) yang melafalkan tasbih, shalawat dan taradhi di antara dua rakaat tarawih sedangkan jamaah menirukan dan menjawab seruan tersebut. Kalimah thayyibah semacam itu yang berfungsi sebagai penjeda di antara dua rakat shalat dan juga untuk menandai rakaat shalat tarawih tersebut berbeda-beda menurut tradisi yang berkembang atau berdasarkan arahan kiai setempat.
Lalu, sebenarnya bagaimana hukum pembacaan tersebut menurut para ulama? Dan fadhilah apa yang ada di balik pembacaan kalimah thayyibah tersebut? Untuk itu, mari kita pilah satu persatu.
- Sunah membaca shalawat secara umum dalam waktu, tempat dan kondisi apapun
Dalam kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah li Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ketika ditanya mengenai hukum membaca shalawat di antara dua rakaat shalat tarawih, beliau menjawab:
وسئل العلامة ابن حجر الهيتمي رحمه الله تعالى: هل تسن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بين تسليمات التراويح أو هي بدعة ينهى عنها؟
“Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahumullah ditanya apakah disunnahkan membaca shalawat di antara dua rakaat shalat tarawih atau hal itu merupakan bid’ah yang dilarang?
(فأجاب): بقوله: الصلاة في هذا المحل بخصوصه لم نر شيئاً في السنة ولا في كلام أصحابنا فهي بدعة ينهى عنها من يأتي بها بقصد كونها سنة في هذا المحل بخصوصه دون من يأتي بها لا بهذا القصد، كأن يقصد أنها في كل وقت سنة من حيث العموم بل جاء في أحاديث ما يؤيد الخصوص إلا أنه غير كاف في الدلالة لذلك. انتهى.
“Beliau menjawab: Membaca shalawat jika dalam waktu tersebut secara khusus kami tidak menemukan dasarnya dari sunnah (nabi) dan juga tidak ditemukan anjuran dari perkataan para sahabat. Jika demikian, maka hukumnya bid’ah yang dilarang jika seseorang secara khusus membaca shalawat diantara dua rakaat tarawih tersebut. Akan tetapi, jika seseorang membaca shalawat tersebut dengan meyakini bahwa diantara dua rakaat tarawih sebenarnya tidak harus membaca shalawat maka hal itu tidak dihukumi bid’ah yang dilarang, seperti dengan berniat bahwa membaca shalawat hukumnya sunnah dalam waktu apapun, kapanpun secara umum. Ada beberapa hadits yang mengkhususkan membaca shalawat dalam waktu tertentu namun hal tersebut belum mencukupi sebagai penguat dalam pembacaan shalawat diantara dua rakaat tarawih” (Fatawa Kubra Fiqhiyyah jilid 1 hal 186 Cet. Dar Fikr).
Dari penjelasan Syaikhul Islam Ibu Hajar Al-Haitami tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil membaca shalawat di antara dua rakaat tarawih secara khusus belum ditemukan. Akan tetapi, membaca shalawat tersebut diperbolehkan selama tidak meyakini adanya tuntutan secara khusus dari hadis Nabi Muhammad atau atsarus shahabat.
Adapun dalil secara umum yang menghukumi sunah membaca shalawat di waktu apapun ada banyak sekali. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad dengan perintah secara mutlak di dalam Surah Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [الأحزاب: 56]
Perintah (amr) secara mutlak tersebut mengindikasikan bahwa perintah bershalawat berlaku di tempat, waktu dan kondisi yang umum, sehingga membaca shalawat di sela-sela pelaksanaan tarawih pun juga boleh berdasarkan dalil ini.
Dalam hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, ada banyak sekali dalil perintah atau anjuran membaca shalawat, seperti dalam risalah ringkas yang umum dipelajari di pondok-pondok pesantren yaitu kitab Lubabul Hadits Lil Allamah Al Fadhil Jalaluddin As-Suyuthi dalam babab ke empat Fi Fadhilatis Shalati Alan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dicantumkan hadis-hadis tersebut.
- Bacaan Taradhi (radhiyallahu anhu) bernilai ibadah
Dalam kitab Fatawa Ramadlan li As-Sayyid Abdullah Mahfudz Al-Haddad disebutkan bahwa mengucapkan taradhi kepada para sahabat Al-Khulafaur Rasyidun dan dilanjutkan dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di setiap setelah empat rakaat shalat adalah hal yang lazim dilakukan umat Islam di berbagai negara.
Dalam konteks Hadramaut, taradhi dalam tarawih dapat menjadi strategi syariat, mengingat di sana kelompok yang membenci sahabat. Sehingga taradhi tersebut mampu menjadi sarana untuk mensyiarkan penghormatan kepada para sahabat, khususnya Al-Khulafaur Rasyidun dan bukan merupakan bid’ah dlalalah.
وأما الترضّي على الخلفاء الأربعة رضي الله عنهم أثناء صلاة التراويح ـــ بعد كل أربع ركعات ـــ المعتاد فعله في بعض البلدان , فذكر السيد العلاّمة عبد الله بن محفوظ الحدّاد أن الترضّي عن الخلفاء الأربعة في صلاة التراويح رتَّبه علماء حضرموت لأغراض دينية, وجعلوه من السياسة الشرعية, لأن حضرموت مرَّت بفترة حكمها فيها بعض أهل الفِرَق ـــ الشيعة الأباظية كما جاءت بها مراجع التاريخ . ــــ الذين ينتقصون بعض الصحابة , فرتَّبوا ذلك بين ركعات التراويح لتثبيت إحترام الصحابة, وهو فعل ٌ حَسَن ٌ وليس هو بدعة ضلالة, ولا أنّه سُنّة, فَمَن ْ فعله فقد أحسن, ومن تركه فلا إثم عليه, والترضّي عن الصحابة دعاءٌ يُثابُ عليه. أ . هـ ” . فتاوى رمضان للسيد عبدالله محفوظ الحدّاد ص 66 .. فيما عدا الذي بين العارضتين ..”
.وأما المراد من قولهم : (رضي الله عنه ونفعنا به في الدنيا والآخرة), فهو الدعاء للصحابي المذكور يطلبون له الرضى من الله تعالى
Sedangkan maksud membaca taradhi (radliyallahu anhu) adalah mendoakan sahabat yang telah disebutkan sebelumnya dan mengharap ridha Allah terlimpah kepada para sahabat tersebut. Selain itu, bacaan tersebut dapat menjadi penanda jumlah rakaat shalat tarawih yang telah dilaksanakan (Fatawa Ramadlan li As-Sayyid Abdullah Mahfudz Al-Haddad, hal. 66).
Baca Juga: KH Zainal Abidin Munawwir: Sang Pencinta Fikih Sepanjang Hayat
- Disunahkan istirahat Sejenak diantara dua rakaat shalat tarawih
Membaca taradhi dan shalawat atau beserta tasbih dan kalimah thayyibah lain juga menjadi istirahat sejenak dalam melaksanakan rangkaian shalat tarawih. Hal ini juga selaras dengan pengertian tarawih yang berarti beberapa istirahat, karena jumlah rakaat yang cukup banyak. Syaikh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:
وسميت تراويح؛ لأنهم لطول قيامهم كانوا يستريحون بعد كل تسليمتين
“Dan disebut tarawih, karena para sahabat (ketika mulai dikumpulkannya pelaksanaan qiyam ramadhan), sebab lamanya berdiri, mereka beristirahat setelah tiap dua salam (empat rakaat),” Syaikh Zainuddin Al-Malaibari, Fathul Muin hal. 32.
- Sunah memisah dua shalat
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin li Al- Habib `Abdur Rahman al-Masyhur disebutkan bahwa disunahkan memisah antara dua shalat, baik fardu maupun sunah dengan berpindah tempat, supaya sebidang tanah tersebut menjadi saksi (di hari kiamat) bagi musholli:
مسألة : ك) : يندب الفصل بين كل صلاتين فرضاً أو نفلاً بالانتقال إلى موضع آخر لتشهد له البقاع)
Namun, mengingat shalat tarawih biasanya dilaksanakan dengan berjamaah, maka ashlus sunnah (asal kesunahan) fashl baina shalatain tersebut dapat diperoleh dengan kalam insani, ucapan tertentu seperti keterangan dalam kitab Fathul Muin li Asy-Syaikh Zainuddin Al-Malaibari ini:
ويندب أن ينتقل لفرض أو نفل من موضع صلاته ليشهد له الموضع حيث لم تعارضه فضيلة نحو صف أول فإن لم ينتقل فصل بكلام إنسان وأن يكون انتقال المأموم بعد انتقال إمامه
Apabila asal kesunahan tersebut dapat diperoleh dengan berbicara, maka alangkah lebih baik jika ucapan untuk memisah antara dua shalat tarawih tersebut menggunakan kalimah thayyibah, seperti tasbih, dzikir dan doa.
Kesimpulannya, setidaknya terdapat empat fadhilah yang terkait dengan pembacaan taradhi, shalawat dan tasbih di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih. Dengan mengetahui fadhilah-fadhilah tersebut, maka akan semakin banyak pula pahala yang kita peroleh untuk mengharap ridha Allah dan sebagai bentuk pengamalan hadits “man qaama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi”.
Wallahu A’lam.
*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L
