Gus Baha: Tradisi Keilmuan itu Harus Dijaga dengan Hujjah dan Pembukuan
Almunawwir.com – Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta meyelenggarakan peringatan Haul ke-32 KH Ali Maksum pada Rabu (23/12). Di puncak haul ini menghadirkan tiga kiai kondang KH Abdul Ghafur Maimoen pengasuh Pesantren Al-Anwar III Sarang, KH Agus Maftuh Abegebriel Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) pengasuh Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Rembang. Ikut hadir secara virtual KH Miftachul Akhyar pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, yang memberikan sambutan atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Acara yang hanya diikuti oleh keluarga dan santri-santri mukim Krapyak ini berlangsung khidmat dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Pengajian haul juga disiarkan secara virtual melalui akun resmi Krapyak TV.
Di kesempatan haul ini KH Baha’uddin Nursalim yang akrab disapa Gus Baha menyampaikan kekagumannya terhadap sosok KH Ali Maksum lewat karya monumental Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menurutnya, Mbah Ali adalah kiai yang fair ataupun moderat, dalam arti tidak apriori terhadap pendapat ulama tertentu, bahkan terhadap Ibn Taimiyyah. Mbah Ali misalnya memuji Ibn Taimiyyah dalam soal qiro’atul qur’an tanfa’ul mayyit. Sementara mengkritiknya dalam bab ziarah kubur. “Saya nggak akan bosen-bosen belajar kitabnya Mbah Ali (Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah). Memang benar-benar belajar, artinya menikmati. Diantara yang saya kagumi, ketika orang lain apriori dengan Ibn Taimiyyah, Mbah Ali itu ya kadang muji Ibn Taimiyyah tapi ya kadang ngritik,” terangnya.
Baca Juga: Tafsir QS. Al-Ahzab Ayat 53: Unggah-Ungguh Sowan Kiai dalam Tradisi Pesantren
Beliau membuka kajian dengan cerita tentang tradisi hujjah ulama-ulama zaman dahulu yang membuka wawasan perihal bagaimana ulama dulu itu pengagum ilmu, bukan pengagum perbedaan. Gus Baha mengambil tamsil dari riwayat cerita KH Hasyim Asy’ari dan KH Faqih Maskumambang.
Dimana kedua ulama tersebut sempat beradu argumen tentang halal-haram kentongan. KH Hasyim Asy’ari dengan karangan kitabnya Al Jasus Antahrimin Naqus (Al Jasus fi Bayani Hukm Naqus) yang mengaharamkan kentongan. Sementara itu, bertolak belakang terhadap argumen tersebut, KH Faqih Maskumambang justru mengarang kitab Hazzur Ru’us Antahrimin Naqus (Ru’us fi Radd Jasus ‘an Tahrim Naqus).
Kedua ulama yang berposisi sebagai Rais Akbar (KH Hasyim Asy’ari) dan Wakil Rais Akbar (KH Faqih Maskumambang) Nahdlatul Ulama tersebut beda argumen mengenai hukum kentongan, namun keduanya melakukan kritik argumen tersebut secara ilmiah dengan berdasar ilmu, yakni dengan mengarang kitab.“Dulu ulama itu kelihatan sederhana, tetapi ketika berargumen itu hebat. Sehingga tradisi keilmuan itu harus dijaga dengan hujjah dan pembukuan,”jelasnya.