Oleh: Munawwir Aziz*
Di antara kenangan yang tidak pernah lekang bagi santri adalah kisah-kisah panjang mengaji kepada gurunya. Krapyak memberi saya kenangan yang tidak bisa hilang, kisah-kisah pengabdian yang turut membentuk hidup saya sebagai santri.
Mengaji kepada MbahYai Zainal Abidin memberi bekas mendalam kepada saya. Beliau sosok kiai idola: fokus mengajar, disiplin, sederhana, sangat wira’i, serta terus merawat ilmu hingga akhir hayat. Bersalaman dengan beliau sehabis shalat jama’ah dan mengaji–tentu salim wolak-walik cium tangan beliau–merupakan keindahan.
MbahYai Nadjib Abdul Qadir merupakan sumber ilmu yang tidak pernah kering. Beliau mengajarkan santri-santrinya agar benar-benar bisa, benar-benar mumpuni, ketika belajar. Teringat mengaji sambil memijit asta beliau. Suatu ketika, mengaji dari habis Isya sampai menjelang jam 3 pagi. Keringat sampai nggobyos, tapi pantang berhenti, kebut terus. Indah sekali, nikmat. Tentu saja kenikmatan ini juga dirasakan sedulur-sedulur santri yang lain, yang lebih berkesan, lebih paripurna daripada sahaya ini.
Gus Hilmy Muhammad sosok guru yang keren. Beliau mengajarkan santri harus pede dengan ilmunya. Bagaimana bisa pede? Ya harus sangat menguasai, harus di atas bisa, lebih daripada paham.
Di antara kenangan itu, saya sering digojloki ketika ngaji, dengan kisah-kisah lucu khas beliau, yang membuat ramai. Juga, yang menarik, kisah-kisah beliau tentang Mbah Ali Maksum. Dari beliau, kisah-kisah Mbah Ali saya tulis tangan di secarik kertas yang saya selipkan di tiap-tiap kitab ketika ngaji dengan Gus Hilmy. Kisah-kisah itu masih tersimpan di kitab-kitab penuh coretan makna gandul.
Beberapa kali, saya dipanggil. Di antara perintah beliau, keinginan untuk membukukan tulisan Mbah Ali Ma’shum yang terbit di Majalah Bangkit. Kalau tidak salah, pada Majalah Bangkit PWNU Jogja dikomando Mas Imam Aziz (KH Imam Aziz-Red.).
Bersama Kang Muhammadun, saya melunasi tugas itu, dengan mengkompilasi, mengedit, melacak referensi, sekaligus mematangkan tulisan-tulisan itu, sebelum kemudian diperiksa detailnya oleh Gus Hilmy. Dengan teliti, Gus Hilmy membaca semua naskah itu.
Gus Hilmy ini sangat istiqamah memperjuangkan sesuatu. Beberapa kali saya sowan, juga ketika bertemu di forum NU, beliau cerita perjuangan mendirikan, merawat dan membesarkan UNU Jogja.
*alumni Pesantren Krapyak