Almunawwir.com-Setiap memasuki bulan Rajab yang merupakan salah satu dari empat bulan yang sangat dimuliakan ini, yang terbesit pertama kali di benak kita sebagai seorang muslim pastilah peristiwa Isra Mikraj. Sebuah peristiwa agung yang dialami manusia teragung, Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan diabadikan oleh Dzat Yang Maha Agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mukjizat teragung Al-Qur’an.

Al-Qur’an begitu apik mengabadikan bagaimana peristiwa yang sulit dijangkau akal manusia pada umumnya itu benar-benar terjadi. Bagaimana tidak, perjalanan jauh dari Masjid al-Haram, Mekkah, menuju Masjid al-Aqsa, Palestina, kemudian dilanjutkan menuju Sidratul Muntaha, hanya ditempuh dalam waktu kurang dari satu malam.
Maka tak heran, ketika pertama kali Baginda Nabi mewartakan apa yang baru saja dialaminya itu di depan publik Quraisy, mereka bukan hanya menyangsikan dan menolak percaya, tetapi juga mencemooh dan mengolok-olok beliau sebagai pendusta. Hanya Sayyidina Abu Bakar yang tampil sebagai pembenar sehingga kemudian layak mendapat gelar As-Shiddiq.
Namun seiring berjalannya waktu, selain merupakan salah satu mukjizat besar sekaligus perjalanan penuh hikmah yang selalu ditulis dan dibahas oleh para ulama dalam karya-karyanya, Isra Mikraj tidak hanya menyisakan kekaguman dan pelajaran-pelajaran berharga, melainkan juga meninggalkan pertanyaan yang kemudian berkembang menjadi perdebatan ilmiah.
Salah satu yang paling sering menjadi topik perbincangan dalam Isra Mikraj adalah perihal apakah Nabi menempuh perjalanan itu dengan ruhnya saja? Atau jasadnya saja? Atau keduanya sekaligus?
Ada banyak cendekiawan muslim yang telah memaparkan ragam pendapat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun penulis ingin memfokuskan dan melihatnya dengan memakai kacamata tafsir. Dimulai dari apa yang dipaparkan oleh salah satu pakar Tafsir terkemuka, Imam Fakhruddin ar-Razi. Dalam kitabnya, At-Tafsir al-Kabir wa al-Mafatih al-Ghaib, beliau secara detail menjelaskan titik pembahasan yang selama ini diperdebatkan.
Pertama-tama Ar-Razi menjelaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam di-isra’-kan dengan jasadnya. Sedangkan minoritas mengatakan hanya ruhnya, dengan berlandaskan pada apa yang pernah diceritakan oleh beberapa sahabat seperti Sayyidina Hudzaifah, Sayyidina Muawiyah dan juga Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah—Radliyallahu ‘anhum.
Selanjutnya beliau membeberkan pendapatnya yang mendukung pendapat pertama, dengan argumentasi melalui makna yang dimaksud lafadz عبد pada ayat pertama surat Al-Isra’ adalah mencakup ruh dan jasad sekaligus. Hal ini semakin diperkuat ketika meninjau kata عبد dalam beberapa ayat lain. Di antaranya surah Al-Alaq ayat 9-10 dan Al-Jin ayat 19 yang mana masing-masing menunjukkan makna sama yang mengarah pada kesimpulan ketidakterpisahan antara ruh dan jasad.
Tidak hanya menyoroti dari sisi kata عبد, Ar-Razi juga meninjau kalimat setelahnya dalam ayat yang sama, yaitu لِنُرِیَهُۥ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ. Menurutnya, faedah adanya peristiwa ini adalah “untuk melihat tanda-tanda kebesaran Kami (Allah).” Dari sini lah kemudian dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ru’yah (melihat) itu adalah memandang dengan mata kepala secara langsung, bukan sebatas mimpi.
Beralih ke nama lain, salah seorang ulama kontemporer asal Suriah, Syekh Wahbah Zuhaili. Dalam tafsirnya yang bertajuk At-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa as-Syariah wa al-Manhaj, beliau juga memiliki pendapat yang kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan Ar-Razi sebelumnya: Baginda Nabi di-isra’-kan dengan jasadnya.
Adapun hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Muawiyah, menurutnya, tidak bisa ditetapkan keshahihannya. Dan sekalipun dinilai shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Setidaknya karena beberapa alasan, di antaranya bahwa dua sosok itu tidak menyaksikan langsung kejadian sebenarnya, karena saat peristiwa itu terjadi Sayyidah Aisyah masih kanak-kanak, dan Sayyidina Muawiyah belum memeluk Islam.
Selain itu, dalam kesimpulannya beliau menambahkan, ada dua ayat yang merekam peristiwa bersejarah ini. Pertama, ayat pembuka surat Al-Isra’ yang sudah dibahas sejak awal yang menunjukkan perjalanan Nabi dari Mekkah menuju Baitul Maqdis (Isra). Kedua, ayat 13-18 surat An-Najm yang membuktikan kebenaran Nabi melanjutkan perjalanan dari Baitul Maqdis menuju Sidratul Muntaha (Mikraj).
Referensi:
- 1. At-Tafsir al-Kabir wa al-Mafatih al-Kabir, Imam Fakhruddin Ar-Razi, (Dar Al-Fikr)
- 2. At-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa as-Syariah wa al-Manhaj, Syekh Wahbah Zuhaili, (Dar al-Fikr)
Baca Juga:
Editor: Redaksi
