Kajian Semantik Kata “Majnun” dalam Al-Qur’an

Kajian Semantik Kata “Majnun” dalam Al-Qur’an

Pengertian Semantik

Almunawwir.com- Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah studi analisis untuk menyingkap sebuah pandangan dunia yang menghasilkan pengertian konseptual (Weltanschauung) melalui analisis semantik terhadap kosa kata atau istilah-istilah kunci yang ada di dalam Al-Qur’an. Berdasarkan studi linguistik, analisis semantik merupakan upaya untuk memahami makna sebuah kata atau frasa dalam konteks bahasa tertentu.  

Analisis semantik bertujuan untuk memberikan cara baru dalam penafsiran Al Qur’an dengan pendekatan yang lebih obbyektif, ini dilakukan dengan cara memeriksa data yang tersedia dalam Al Qur’an, tujuannya adalah untuk mempermudah pemahaman makna dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu, pemahaman mengenai konteks dan kata-kata yang ada di dalam Al Qur’an itu sangat penting dalam menangkap pesan yang ingin disampaikan. Salah satu kata yang menarik perhatian yakni kata “Majnun” yang dikenal dengan makna “Gila”.

Makna Dasar

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gila diartikan dengan sakit ingatan (kurang beres ingatannya), sakit jiwa (syarafnya terganggu), dan tidak biasa (berbuat yang bukan-bukan). Lafadz majnun merupakan bentukan dari tiga huruf, yakni jim (ج), nun (ن), dan nun (ن). Majnun adalah isim maf’uldari kataجَنَّ، يَجُنُّ،جَنَّا , setiap kata yang terdiri atas tiga kata tersebut, bermakna tersembunyi. Maka, majnun berarti orang yang kehilangan akal atau tersembunyi akalnya. (Aidh al-Qarni, 2008:189).

MenurutManzur (2006:92) kata al-majnun adalah terbitan dari kata “جن” yang bermakna dinding, hijab atau pelindung. Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir mengemukakan kata جَنَّ berarti menjadi gila. (Ahmad Warson Munawwir, 2020:215).

Kata lain yang lazim digunakan dan memiliki makna tersembunyi di antaranya adalah kebun yang lebat pepohonannya sehingga menutup pandangan, dinamai jannah. Surga juga dinamai jannah karena hingga kini masih tersembunyi dan tidak terlihat oleh mata (Quraisy Shihab, 2006: 29-30).

Manusia yang tertutup akalnya dinamai majnun, sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu, karena ketertutupannya oleh perut dinamai janin. Ada juga kata Al-junnah adalah perisai karena menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik fisik maupun non-fisik.  Kata janna (جَنَّ) dalam QS. Al-an’am: 76, yang berarti menutup.

. فَلَمَّاجَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰكَوْكَبًاۗ قَالَ هٰذَارَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآاُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ 

Artinya: Ketika malam telah menutupinya, dia (Ibrahim as) melihat bintang. (Q.S.Al-An’am: 76)

Analisis Kata Majnun

Salah satu aspek dari perubahan bahasa yang dikaji dalam semantik adalah perubahan makna. Perubahan makna dapat berubah karena pengaruh penggunaan dan masanya. Perubahan makna ini dapat berupa perluasan, pembatasan, atau penyimpangan pada kata tersebut, dan semantik berperan penting dalam hal tersebut.

Memahami lafadz majnun yang memiliki arti gila dapat menyebabkan kesalahpahaman. Secara historis konteks gila bagi masyarakat Indonesia sekarang berbeda dengan konteks gila bagi masyarakat Arab dahulu saat ayat-ayat Al Qur;an diturunkan. Saat ini lafadz majnun mudah dipahami sebagai gangguan jiwa atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba, sedangkan dalam sejarah masyarakat Arab, majnun adalah istilah bagi orang yang menerima bisikan supranatural seperti jin, roh, dan dewa-dewa.

Bisikan tersebut diyakini dapat menambah kekuatan mereka saat berperang dan memenangkan pertandingan bersyair. Mereka menganggap mendapat bisikan tersebut adalah sebuah keuntungan yang besar. Seorang penyair hebat yang sering disebut majnun justru sangat dihormati oleh masyarakat Arab, namun di Indonesia orang yang memiliki gangguan mental justru memiliki status sosial yang rendah dalam pandangan masyarakat.

Baca Juga: Kajian Semantik Kata “Khalifah” dalam Al-Qur’an

Berdasarkan analisis semantik, lafadz majnun memiliki dua makna yang berbeda. Dalam konteks Nabi Muhammad Saw yang masyarakatnya penuja sastra, majnun bermakna kesurupan jin. Sedangkan konteks para rasul selain Nabi Muhammad Saw, majnun bermakna mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dipahami. Sebab, para rasul menyampaikan ajaran-ajaran ketauhidan, berita-berita akhir, dan juga balasan-balasan amal perbuatan manusia.

Lafadz majnun dalam QS. Al Hijr: 6 dan QS, At Takwir: 22 mengandung ejekan kaum kafir quraisy terhadap Nabi Muhammad, mereka mengklaim bahwa Nabi Muhamad kesurupan jin. Maksudnya mereka mengira Nabi Muhammad hanya menyampaikan ayat-ayat Al Qur’an karena terpengaruh oleh bisikan jin, mirip dengan yang dialami oleh para penyair pada masa jahiliyyah.

Al Qur’an juga dituduh sebagai puisi seperti halnya puisi yang dipercayai oleh masyarakat Arab dulu. Meskipun masyarakat Arab memahami seni syair dengan baik, mereka sebenarnya mengakui bahwa Al Qur’an bukan hanya sekedar puisi atau kata-kata seorang peramal dan tukang sihir. Namun mereka tetap menolaknya karena ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw bertentangan dengan ajaran nenek moyang mereka.

Dalam penafsiran Departemen Agama, lafadz majnun juga diartikan sebagai “gila”. Namun, perbedaan konteks masa dan pengguna menyebabkan adanya perbedaan makna. Oleh karena itu, pemaknaan gila pada lafadz majnun tidak relevan bagi masa sekarang. Analisis semantik historis dapat memberikan panduan untuk memahami setiap kata sampai dengan pemahaman yang benar, ini berlaku untutk kata majnun yang sebenarnya mengandung makna tersirat yakni “kesurupan jin”.

Penulis: Maulidatuz Zu’ama (Mahasiswa S1 IAT Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Editor: Redaksi

Redaksi

Redaksi

admin

536

Artikel