Ketidakadilan Gender terhadap Hukum Waris, Mitos atau Fakta?

Ketidakadilan Gender terhadap Hukum Waris, Mitos atau Fakta?
Sumber: afi.unida.gontor.ac.id

Zaman sekarang, banyak digemborkan istilah keadilan gender, yaitu suatu pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang sesuai haknya dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka. Ada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, hak-hak, sumber daya, dan kuasa.

Semarak yang menyuarakan keadilan gender ini didorong oleh kesadaran manusia atas penindasan hak-hak dan kesempatan yang bersifat non-kodrat, seperti pendidikan, label sosial, dan sebagainya. Bentuk-bentuk ketidakadilan berbasis gender bermacam-macam, seperti subordinasi (penomorduaan), marginalisasi (peminggiran), beban ganda, kekerasan, dan pemberian label (stereotip) negatif.

Dikatakan tidak adil apabila tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya tidak mungkin antara perempuan dan laki-laki selalu sama. Namun yang diperjuangkan di sini adalah bagaimana perempuan dan laki-laki mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminalitas.

Gender sendiri dimaknai sebagai peran yang dibentuk masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) juga sebagai pemecah problematika umat yang selalu relevan di setiap zaman. Dengan Al-Qur’an (firman Allah Yang Maha Adil) sebagai kitab suci umat Islam, bukankah sangat tidak valid jika dikatakan bahwa ajaran-ajarannya membawa ketidakadilan?

Dalam bab mawaris (pembagian waris), Allah menyebutkan: لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ (Q.S. An-Nisa’: 176) bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat dari perempuan. Hal ini dimaknai sempit oleh orang awam sebagai ketidakadilan gender. Mengapa tidak sama antara bagian laki-laki dan perempuan? Mengapa bagian perempuan lebih sedikit?

Kemudian dengan tergesa-gesa mereka mengambil konklusi bahwa hukum waris dalam Islam membedakan hak laki-laki dan perempuan dengan berhenti pada potongan ayat tersebut. Padahal pada ayat yang lain telah diatur pembagian waris sedemikian rupa. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi peluang bagi oknum-oknum yang tidak menyukai Islam untuk memperburuk pemahaman mereka terhadap Islam.

Untuk menangkal pemikiran sempit tersebut sekaligus mengedukasi orang awam, Syekh Ali Jum’ah–seorang mufti mesir–menerangkan pada kitabnya “Al-Mar’ah fi al-Hadlarah al-Islamiyah” (bab 1, mitos dan fakta perihal warisan perempuan) bahwa anggapan tidak adilnya pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan tidak sesuai dengan sifat Allah yang Maha Adil. Seperti dalam firman-Nya:

(وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا) الكهف : 19، (وَلاَ يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً) الإسراء : 72، (وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ) الحج : 10، (إِنَّ اللهَ لاّ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ) النساء : 41

Beliau menegaskan bahwa adanya perbedaan pembagian waris, bukan disebabkan gender atau faktor kelamin, beliau mengemukakan tiga faktor yang dapat menjadi hikmah adanya perbedaan dalam pembagian waris:

Derajat kedekatan antara ahli waris dan orang yang mewariskan (orang yang meninggal)

Laki-laki maupun perempuan, siapapun dari mereka yang memiliki kedekatan secara nasab, pasti mendapat bagian lebih dari yang jauh kekerabatannya. Misalnya, seorang perempuan yang meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan putri semata wayangnya. Putrinya mendapat ½ bagian dari hartanya dan suami mendapatkan ¼ dari harta istrinya.

Jika dikatakan bahwa perempuan selalu mendapatkan bagian yang sedikit dari laki-laki, bukankah hal ini bertentangan dengan kasus di atas? Maka dikatakan bahwa sedikit banyaknya bagian warisan itu sebab kedekatannya, bukan sebab perbedaan jenis kelamin. Allah berfirman :

(…آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا) النساء : 11

Artinya: “…Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. Itu adalah ketetapan Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Mempersiapkan generasi

Generasi yang ada di bawah (anak-cucu) biasanya lebih banyak mendapat bagian daripada generasi di atas (nenek/kakek & buyut). Karena mereka yang akan meneruskan perjuangan hidup dan membawa beban kehidupan di masa mendatang. Seperti bagian seorang anak perempuan akan lebih banyak daripada neneknya.

Tanggung jawab materi

Dalam hal ini, terdapat disproporsi antara laki-laki dan perempuan. Namun disproporsi tersebut tidak lantas menjadikan suatu ketidakadilan, karena dinamakan ketidak adilan jikalau tidak menempatkan sesuatu sesuai tempat (kodrat)-nya.

Seorang laki-laki memiliki kewajiban dan tanggung jawab material yang lebih besar daripada perempuan, antara lain: memberi mahar dan memberi nafkah. Itu merupakan karunia dari Allah Swt. Maka dari itu laki-laki mendapat bagian yang lebih besar daripada perempuan bukan sebab jenis kelamin atau gender, namun karena tanggung jawab materi yang dibebankan kepada laki-laki.

Beliau–Syekh Ali Jum’ah–menyatakan bahwa pemahaman ketidakadilan gender dalam Islam, utamanya dalam hal mawaris adalah mitos yang hanya didasarkan oleh pemahaman yang sempit. Bahkan beliau berkali-kali menyerukan dalam kitabnya bahwa perbedaan kodratiyah yang terjadi antara laki-laki dan perempuan bukan untuk merendahkan derajat perempuan seperti apa yang beberapa orang katakan. Malah hal itu dipandang sebagai kehormatan bagi perempuan karena Islam menempatkan perempuan sesuai dengan kodrat diciptakannya perempuan itu sendiri.

Secara tersirat, beliau juga mengajak pembaca untuk berpikiran luas dan kritis. Jangan sampai hanya karena terangnya bintang, membuat kita buta terhadap langit yang turut menggelapkan dirinya. Artinya, jangan sampai pemikiran kita terhadap satu sisi, lantas melupakan sisi yang lain.

Namun kembali lagi, perihal pembagian waris adalah murni ketetapan dari Allah yang harus kita yakini dan kita jalankan sebagai umat muslim. Adapun statement logis di atas merupakan bentuk pembenaran dan pengakuan dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.

Oleh: Syarafina Az (Santri Komplek R2)

Editor: Irfan Fauzi

Sumber Kitab “Al-Mar’ah fi al-Hadlarat al-Islamiyah” karya Syekh Ali Jum’ah.

Redaksi

Redaksi

admin

535

Artikel