
Tulisan ini bersumber dari tulisan KH Ali Maksum (1915-1989) sendiri yang berjudul “Referen Santri”. Tulisan itu tersusun dengan rapi dalam sebuah buku berjudul “Ajakan Suci” yang terbit tahun 1993. Sengaja kami ketik ulang mengingat pemahaman keagamaan tekstualis yang keluar dari pakem yang kini kian menguat.
Di mata saya, al Maghfurlah KH Bisri Mustafa (1915-1977) adalah ulama besar yang mempunyai kepribadian istimewa. Meskipun ada juga kiai lain yang menganggap beliau bukan ulama besar sekaliber KH Kholil Harun atau KH Chamzai misalnya, sebab beliau belum nampak khusuk, belum tertib puasa senin-kamis, tidak ikut tarekat manapun, malahan kalau ngobrol kuat semalam suntuk.
Tapi kalau kita hayati dari segi lain, maka sesungguhnya sampai hari ini (21 Desember 1982, ed.) kita belum bisa menemukan tokoh seperti dia.
Kiai Bisri adalah orang Alim dan mendalam pengetahuan agamanya, juga mengasuh pesantren yang cukup besar, lihai berpidato dan selalu penuh sentilan tapi juga humoris.
Baca Juga : Dari Lasem ke Krapyak : Membaca Transisi Mbah Ali Maksum
Yang paling mengagumkan adalah dalam kesibukan seperti itu banyak sekali buah penanya. Ini sulit kita temukan gantinya. Terkadang pandai berpidato, tapi tidak bisa menulis, atau sebaliknya. Terkadang lihai berpidato, tapi tidak mahir ilmu agamanya—yang ini marak di era kekinian, ed.
Tapi Kiai Bisri memiliki keahlian itu semua. Dan insyaallah inilah amal saleh dan pusaka yang nyata manfaatnya serta keramatnya. Dalam hal-hal tertentu saudara Bisri tampil dengan penuh wibawa, menggetarkan, tapi juga membuat orang terpingkal-pingkal. Dia sanggup meluncurkan peluru berbisa dengan cara yang penuh rayuan dan buaian.
Apalagi kalau kita mengingat kitab-kitab tulisannya, walaupun sebagian besar merupakan kitab terjemahan, tapi jelas mempunyai pengaruh yang besar. Misalnya, terjemahan Alfiyah, kami kira setiap santri mengenalnya, demikian juga dengan terjemahan Alquran yang berjudul Al-Ibriz. Saking bagus dan enaknya dibaca, maka orang berani mengajar tafsir di depan para santri. Mesti saja sambil melirik Ibriz-nya Kiai Bisri. Dengan demikian, agaknya tidak salah jika dianggap mencocoki ayat :
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ
“Adapun buih itu maka musnah tak berbekas. Tapi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, maka ia kekal di muka bumi.” (Qs. Ar-ra’du;17)
Baca Juga : Mbah Ali, Pesantren dan Sepakbola
Dengan diterbitkannya terjemahan Kiai Bisri yang berbagai macam itu, orang-orang yang tadinya mencela kitab-kitab pesantren dan menyebutnya kitab kuning sekaran menjadi mengenal isinya dan sedikit demi sedikit mengakui bobot isinya. Dengan begitu Kiai Bisri turut andil besar dalam membuktikan dengan nyata bahwa mereka yang mencela kitab pesantren itu karena kebodohan mereka, belum tahu isinya. Kiai Bisri dengan buku-buku terjemahannya telah membuka mata mereka yang tadinya membabi buta karena kejahiliannya.