Pengantar Ilmu Qira’at (8): Hubungan Qiraat dengan Istinbat Hukum

Pengantar Ilmu Qira’at (8): Hubungan Qiraat dengan Istinbat Hukum

Oleh: Ust. Abdul Jalil Muhammad, S.Th.i., M.Si.

(bi-ikhtilaf al-qira’at yazhhar al-iktilaf fi al-ahkam) dengan adanya perbedaan dalam qiraat Alquran, akan muncul perbedaan pendapat ulama dalam masalah hukum.

Begitu disebutkan di dalam buku-buku ulumul Quran. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat hukum, salah satu penyebabnya adalah adanya ayat yang zhahir fil hukum, atau ayat yang bunyi tekstualnya secara langsung berkaitan dengan hukum. Ada pula ayat yang bunyi tekstualnya tidak secara langsung berkaitan dengan hukum.

Terdapat kesepakatan ulama bahwa qiraat shahihah dapat dijadikan dasar dalam istinbat ‘penetapan’ hukum, sedangkan qiraat syadzah ulama berbeda pendapat mengenainya sebagai dasar istinbat. Mazhab Hanafi misalnya, mereka dapat menerima riwayat qiraat syadzah sebagai hujjah dalam hukum dengan syarat riwayat tersebut bersetatus masyhur. Qs. al-Ma’idah: 89 menjelaskan bahwa jika seseorang bersumpah, lalu dia melanggar sumpahnya maka wajib membayar kafarat ‘denda’.

Salah satu kafarat tersebut adalah puasa tiga hari (fa-shiyam tsalatsati ayyam), ulama beda pendapat apakah puasa tersebut secara berturut-turut atau tidak. Dalam mazhab Hanafi puasa tersebut dilakukan secara bertutu-turut, berdasarkan qiraat sahabat Abdullah bin Mas’ud yang dinilai masyhur (fa-shiyam tsalatsati ayyam mutatabi’at). Sementara, Ibn Hazm dari mazhab Zahiri tidak menerima qiraat syadzah sebagai dasar hukum.

Contoh pengaruh qiraat shahihah terhadap istinbat hukum terdapat dalam al-Ma’idah: 6, kata kaki dalam ayat tersebut dapat dibaca dengan (arjulakum, arjulikum). Secara umum ulama fikih terbagi ke dalam dua kelompok, yang pertama cenderung kepada qiraat dengan kasrah huruf lam karena di-‘athaf-kan kepada (bi-ru’usikum) yang juga berharakat kasrah, dengan demikian mereka berprinsip dalam berwudu kaki wajib diusap tidak dicuci.

Kelompok kedua cenderung kepada qiraat yang membaca dengan harakat fathah pada huruf lam karena di-‘athaf-kan kepada wujuhakum wa aidiyakum yang juga berharakat fathah. Jadi, menurut pendapat ini, wajib mencuci kaki, tidak sah wudu dengan mengusapnya.

Contoh pengaruh qiraat syadzah terhadap istinbat hukum terdapat dalam al-Ma’idah 38, hukuman yang dijatuhkan kepada seorang pencuri adalah potong tangan (fa-qtha’u aidiyahuma), lalu tangan mana yang dipotong? Ulama berpendapat bahwa yang dipotong adalah tangan kanan, diriwayatkan dalam qiraat Abdullah bin Mas’ud (fa-qtha’u aimanahuma).

Perlu dijelaskan bahwa istinbat hukum tidak semudah itu, tidak hanya melihat qiraat shahihah atau syadzah lalu bengambil hukum berdasarkan qiraat, tetapi qiraat merupakan salah satu istimdad dalam pengambilan hukum.

Bacaan tambahan dalam bahasa Indonesia: disertasi Hasanuddin AF, “Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbat Hukum dan Romlah WIdayati, “Implikasi Qiraat Syadzdzah terhadap Istinbat Hukum”. wa Allahu a’lam.

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel