Pengantar Ilmu Qira’at (2): Sejarah Perkembangan Ilmu Qira’at

Pengantar Ilmu Qira’at (2): Sejarah Perkembangan Ilmu Qira’at

Oleh: Ustadz Abdul Jalil Muhammad

Mempelajari sisi sejarah suatu ilmu, konsep, tradisi dan lainnya merupakan hal yang sangat penting. Meskipun ada sebagian orang yang tidak setuju jika dikatakan (Sejarah Qiraat) karena qira’at itu talaqqi dari Rasulullah saw, merupakan sebuah riwayat, tidak berkembang. Sama halnya tatkala ada suara penolakan atas istilah (Sejarah Alquran). Namun tak bisa dielak, salah satu bagian penting dalam penulisan sejarah adalah membuat periodisasi.

Terdapat beberapa versi dalam memperiodisasi “Qira’at”, sebut saja ‘Abd al-Qayyum al-Sindi dalam kitab Shafahat fi ‘ilm al-Qira’at, ‘Abd al-Halim Qabah dalam Disertasinya tentang al-Qira’at al-Qur’aniyyah, atau Arthur Jeffery (w. 1959) dalam pendahuluan kitab al-Mashahif. Di sini sejarah ilmu qira’at akan dibagi dalam tiga periode: (1) Qira’at di masa Nabi dan Sahabat, (2) Qira’at pasca kodifikasi mushaf di masa sahabat Utsman, dan (3) Qira’at di masa kodifikasi dan penulisan ilmu qira’at. Tiga masa ini terkait dengan perkembangan sikap dan respon masyarakat dalam menerima suatu qira’at.

Pada masa Nabi saw., jika kita membaca riwayat-riwayat mengenai perbedaan qira’at di antara para sahabat, akan sering ditemukan pertanyaan: (kamu belajar/dapat bacaan ini dari siapa?), lalu sahabat akan menjawab: (saya belajar dari Nabi saw.). Ini disebut “isnad”, bacaanya disandarkan kepada Nabi saw.

Tapi muncul pertanyaan setelahnya, apakah posisi Nabi benar-benar membacanya sedemikian rupa (iqraa’) atau Nabi hanya membenarkan bacaan sahabat (iqrar). Silahkan membaca kitab karya Abd al-Shabur Syahin: Tarikh al-Qur’an (Mesir: Dar al Fikr, 1966). Begitu pula pasca wafatnya Nabi saw, ketika tabi’in berbeda dalam bacaan Alquran mereka akan berkata: (bacaanku, saya dapati dari sahabat A atau B).

Tolak ukur diterimanya suatu bacaan adalah “sanad”, atau sumber bacaan itu sendiri. Tidak ada yang mengacu pada rasam mushaf (belum ada mushaf yang utuh), tidak ada yang mempertanyakan kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab (sebab bahasa Arab sebagai disiplin ilmu belum muncul pada masa itu).

Baca Juga: Pengantar Ilmu Qira’at (1): Ruang Lingkup Ilmu Qira’at

Setelah kodifikasi mushaf Al-Quran di masa sahabat Utsman, masyarakat Muslim mulai mempertanyakan (apakah bacaan ini sesuai dengan rasam mushaf Utsmany atau tidak?), perlu diingat bahwa mushaf yang ditulis pada masa Utsman lebih dari satu, bahkan di antara mushaf-mushaf tersebut terdapat sedikit perbedaan.

Salah satu ungkapan tentang pentingnya suatu bacaan sesuai dengan rasam mushaf dapat ditemukan di kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah (w. 276H). Bahkan seorang peneliti mengatakan bahwa penilaian terhadap suatu Qira’at sebagai syadz itu muncul pasca kodifikasi mushaf.

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) dianggap oleh sebagian Ulama sebagai orang pertama yang menghimpun beberapa qira’at dalam satu buku. Sayangnya buku ini tidak sampai ke kita. Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat karya Ibnu Mujahid (w. 324H) menjadi di antara titik sentral dalam sejarah qira’at.

Dari karya ini kita kenal tujuh Imam yang masyhur sampai sekarang. Memang Ibnu Mujahid adalah seorang ulama besar dalam ilmu Qira’at, bahkan Imam al-Dzahabi berkata: saya tidak tahu seorang guru qira’at yang muridnya melebihi murid-murid Ibnu Mujahid. Pengaruh konsep “qira’at tujuh” sangat besar. Ini terlihat dari perkataan Ibnu Jinni (w. 392H) dalam kitab al-Muhtasib bahwa dapat dikatakan Qira’at Syadzah, atau bacaan yang asing atau tidak umum, di masa kami adalah Qira’at selain “qira’at tujuh”. Sampai sekarang, dari segi jumlah, kita kenal: al-Qiraat al-Sab’, al-Qiraat al-‘Asyr, dan al-Arba’ ‘Asyar. Selain kitab al-Sab’ah masih banyak kitab-kitab penting yang nanti akan dibahas dalam pengantar ini. wa Allah A’lam

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel