
#Pengantar_Sejarah_Alquran (9)
Oleh: Ust. Abdul Jalila Muhammad, M.A
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Alquran di masa khalifah Usman masih belum atau tanpa titik dan harakat. Fakta itu menimbulkan pertanyaan, apakah para sahabat belum mengenal titik, harakat atau tanda-tanda lain dalam penulisan kata dan kalimat?. Keraguan itu terjawab dari beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa sahabat sudah mengenal al-Naqth dalam penulisan. Akan tetapi tidak ada penjelasan detail mengenai hal ini. Misalnya, diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu Umar tidak suka penulisan “al-naqth” pada mushaf. Begitu juga diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Jangan campurkan dalam penulisan Alquran/mushaf dari selain Alquran”.
Namun, para sahabat yang menolak menyertakan al-naqth bukan tanpa alasan. Para sahabat berpendapat jika menulis mushaf tanpa titik supaya dapat mencakup qira’at yang diriwayatkan dari Nabi.
Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (7): Mushaf-Mushaf Sahabat Sebelum Kodifikasi Usman bin Affan
Adapun pembagian nuqath ada dua macam titik (Nuqath/Naqth) yaitu: Naqth al-I’rab dan Naqth al-I’jam. Yang dimaskud dengan naqth al-I’rab adalah titik sebagai simbol harakat (kita kenal sekarang dengan fathah, kasrah, dhammah), titik ini berfungsi untuk membedakan antar harakat akhir kata, seperti titik atas huruf untuk menunjukkan fathah, titik di bawah huruf untuk kasrah.

Sedangkan naqth al-I’jam adalah titik untuk membedakan antar huruf yang bentuk tulisannya sama. Seperti satu titik di bawah untuk huruf ba’, dua titik di atas untuk huruf ta’ dan seterusnya.

Ziyad bin Abih (w. 673) merupakan seorang Jenderal Besar dan administrator dari masa dinasti Umayyah meminta dari Abu al-Aswad al-Du’ali (w. 688) untuk membuatkan atau melakukan sesuatu dalam upaya menjaga bahasa Arab dan bacaan Alquran dari kesalahan. Amanah itu diterima dan Abu al-Aswad mulai melakukan sebuah usaha dengan menguji 30 orang dari kota Bashrah dan akhirnya memilih seorang dari kabilah Abd al-Qais, salah satu kabilah di Bashrah.
Abu al-Aswad membaca dan orang dari kabilah Abd al-Qais menulis titik dengan warna yang berbeda dengan tulisan mushaf. Titik satu di atas untuk fathah, titik satu di bawah untuk kasrah, titik satu di depan huruf untuk dhammah, dan dua titik untuk ghunnah. Semua titik ini hanya di akhir tiap kata saja. Ada yang berpendapat jika titik ini hanya di atas huruf yang musykil.
Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (8): Kodifikasi Alquran di Masa Kholifah Usman bin Affan
Ternyata penambahan naqth al-I’rab pada tulisan mushaf belum menyelesaikan masalah. Di masa al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (w. 714), seorang gubernur kota Irak di masa kekhalifahan Umayyah, problem terkait bacaan Alquran semakin bertambah. Oleh karena itu, dia meminta dari Nashr bin Ashim al-Laitsi al-Kanani (w. 89 H) untuk mencari solusi. Nashr bin Ashim menulis titik-titik di atas semua huruf, sesuai dengan kaidah atau cara Abu al-Aswad.
Pada tahap selanjutnya, dan masih di masa al-Hajjaj bin Yusuf, tim yang terdiri dari Ashim bin Nashr, Yahya bin Ya’mur, dan al-Hasan al-Bashri melakukan beberapa tambahan lagi, yaitu: 1) Mereka akan menambah naqth al-I’jam. 2) Titik-titik akan ditulis dengan warna yang berbeda, 3) Titik-titik ini tidak lebih dari 3 titik, 4) Titik ini berbentuk sama dengan titik Abu al-Aswad.
Tahap selanjutnya, kemunculan titik membuat kreasi untuk kemudahan dalam membaca. Di beberapa daerah menggunakan warna-warni yang berbeda dalam menulis titik, seperti Madinah, Irak, Andalusia, dan yang lain.
Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 789), pengarang kitab al-‘Ain dan guru imam Sibaweh itu melihat bahwa mushaf yang ada di masanya sudah penuh dengan titik-titik yang berwarna-warni. Lalu dia memutuskan untuk membedakan antar bentuk atau penulisan naqth al-I’rab dan naqth al-I’jam. Ada 10 tanda yang ditambah oleh al-Khalil: Fathah, dhammah, kasrah, syaddah, sukun, mad, hamzah wasahl/shilah, hamzah, raum, dan isymam sebagaimana kita kenal sekarang.
Wallahu A’lam
